Peradilan Tata Usaha Negara memiliki karakteristik sistem beracara yang berbeda dengan peradilan lainnya.
Dalam menjalankan roda keadilannya, peradilan tata usaha negara harus dapat menyikapi perkembangan hukum yang terus bergerak dinamis sehingga sistem beracara serta prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum pun harus dapat memberikan panduan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh Peradilan Tata Usaha Negara.
Hadirnya tahap Pemeriksaan Persiapan misalnya, menjadi pembeda Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan Umum maupun Agama.
Selain sistem beracara, terdapat prinsip dasar atau asas yang kemudian turut memberikan peran penting dalam mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri dalam menegakkan hukum dan keadilan, khususnya supremasi hukum dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat.
Warga masyarakat menjadi salah satu subjek utama dalam sengketa tata usaha negara dan dihadapkan dengan sebuah kekuasaan yang melekat pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahannya (selanjutnya disebut UU Peratun) Pasal 10 angka (1) yang menyatakan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut Pasal 1 angka 12 UU Peratun tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Terlihat dengan jelas ketimpangan “power” yang dimiliki oleh warga masyarakat sebagai Penggugat di hadapan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai Tergugat dalam proses berperkara.
Pertanyaan besarnya adalah apakah warga masyarakat sebagai Penggugat dapat mengimbangi kedudukan badan atau pejabat yang didudukkan sebagai tergugat selaku pemegang kekuasaan publik?
Melalui prinsip-prinsip dasar atau asas-asas hukum yang berlaku serta hukum acaranya, sistem peradilan tata usaha negara terus memberikan jaminan terpenuhinya rasa keadilan yang proporsional terhadap kedudukan warga masyarakat sebagai pihak yang bersengketa.
Berbeda dengan sistem hukum perdata dimana hakim bersifat pasif sehingga tidak memiliki kewenangan untuk menentukan atau memperluas pokok sengketa yang telah ditentukan oleh pihak yang bersengketa serta hakim juga tidak diperbolehkan untuk menambah atau menguranginya dan terhadap pembuktian dibebankan pada para pihak yang menggugat.
Hakim TUN diberikan suatu kewenangan untuk dapat bersikap aktif dalam menangani suatu perkara. Dominus Litis, demikian asas yang disematkan kepada hakim yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Warga Masyarakat yang pada dasarnya tidak memiliki daya upaya yang besar dalam memahami suatu sistem peradilan, terlebih terhadap pengajuan suatu gugatan.
Tak jarang pula warga masyarakat dihadapkan dengan terbatasnya akses memperoleh dokumen ataupun keterangan lain menyangkut masalah yang sedang dihadapi.
Mengkolaborasikan kendala demikian, UU Peratun dengan bijak menjawab permasalahan tersebut melalui Pasal 63 ayat (1) yang memberikan ruang kepada warga masyarakat sebagai penggugat untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas pada tahap pemeriksaan persiapan.
Lebih lanjut dalam ayat (2) menegaskan bahwa hakim wajib memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan.
Di sisi lain, dalam hal data yang diperlukan belum dimiliki oleh Penggugat, hakim kembali dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Hal demikian merupakan bentuk kompensasi atas kedudukan Penggugat dan Tergugat yang tidak seimbang sekaligus merupakan bentuk access to justice terhadap warga masyarakat sebagai pihak dalam berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara melalui prinsip keaktifan hakim.
Ruang yang diberikan kepada penggugat dalam tahap pemeriksaan persiapan tersebut dapat dimaknai bukan hanya sebatas pemberian nasihat ataupun perbaikan yang bersifat formal dalam sebuah gugatan, namun lebih dari itu, keaktifan hakim membuka ruang untuk dapat lebih mengantisipasi kemungkinan yang akan dialami oleh Penggugat apabila putusan peradilan tata usaha negara ternyata diabaikan atau tidak dilaksanakan oleh Tergugat sehingga untuk menjamin dan mewujudkan rasa keadilan yang proporsional, baik sebelum pokok perkara diperiksa maupun saat setelah perkara tersebut diputus oleh Pengadilan, dimungkinkan adanya upaya antisipasi melalui suatu pembebanan kepada Tergugat sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, bagian Rumusan Hasil Rapat Pleno Pada Kamar Candra point 4 yang membuka ruang dapat dimintanya uang paksa dalam gugatan dan dapat dikabulkan serta dimuat dalam amar putusan.
Hal ini agar menjadi perhatian lebih bagi Tergugat serta diharapkan dapat mendorong pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaannya sebagaimana yang diperintahkan oleh undang-undang.
Selain itu rumusan tersebut juga menegaskan agar setiap gugatan yang memuat tuntutan condemnatoir mencantumkan uang paksa.
Selain dari sisi formalitas gugatan, access to justice bagi warga masyarakat dapat pula tercermin dari keaktifan hakim mewujudkan tujuan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yaitu dalam rangka melakukan harmonisasi rechtmatigheid beginsell dan doelmatigheid beginsel menuju tujuan utama kebenaran materiil, sesuai teori spannungsverhältnis (prioritas baku) dari Gustav Radbruch sebagaimana disebutkan dalam SEMA 1 Tahun 2017 Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara.
Dalam mencari kebenaran materiil, keaktifan hakim peradilan tata usaha negara dilekatkan tanggungjawab besar sehingga melalui Pasal 107 UU Peratun, Hakim dapat menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Berbeda dengan ajaran wŵ yang berlaku pada hukum acara perdata, maka umumnya dalam literatur dikatakan, bahwa hukum pembuktian yang berlaku dalam hukum acara TUN adalah ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Dikatakan bebas terbatas karena alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam pembuktian sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal 100 UU Peratun.
Dalam proses menemukan kebenaran materiil, melalui prinsip dominus litis, hakim berwenang pula memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa sebagaimana amanat Pasal 58 UU Peratun.
Lebih lanjut, ketika terdapat surat atau dokumen yang dianggap perlu untuk dihadirkan, melalui Pasal 85 UU Peratun, hakim dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.
Dengan sedemikian besarnya ruang yang diberikan melalui asas dominus litis, Pengadilan dapat berperan aktif memberikan access to justice bagi warga Masyarakat dalam memperoleh keadilan yang proporsional.