Thrifting adalah kegiatan membeli barang bekas yang masih layak pakai, seperti baju, celana atau sepatu, yang dipilih kembali untuk dapat digunakan dengan cara yang lebih hemat dan kreatif.
Fakta ini bukan menjadi tren musiman di Indonesia. Hal ini lahir dari kebutuhan, lalu berkembang menjadi peluang bisnis hingga menjadi budaya populer lintas generasi.
Sejak era pasar loak tradisional hingga ramainya “thrift shop” di media sosial dan e-commerce, pakaian bekas tidak lagi identik dengan ekonomi sulit, tetapi menjadi gaya hidup.
Generasi muda melihat thrifting sebagai bentuk ekspresi diri, sementara sebagian kelompok masyarakat memandang thrifting sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan sehari-hari yang lebih terjangkau.
Namun, realitas sosial tersebut berhadapan dengan problema hukum yang tidak sederhana. Pemerintah berupaya menertibkan pakaian bekas impor, sementara masyarakat memandangnya bagian dari gaya hidup ditengah keadaan ekonomi yang terus menurun.
Permasalahan thrifting bukan lagi sekadar pakaian bekas impor, ia menjadi titik singgung antara kebutuhan ekonomi, gaya hidup dan kepastian hukum.
Konstruksi Hukum dan Mekanisme Pengawasan terhadap Impor Pakaian Bekas
“Kenapa pakaian bekas impor bisa disita oleh Bea Cukai? Bukankah masih banyak yang membutuhkan pakain murah?”. Hal ini menjadi pertanyaan yang sering ditanyakan oleh masyarakat, dan penulis coba menguraikan jawabannya.
Dalam hukum positif, larangan impor pakaian bekas berakar dari ketentuan Pasal 47 dan Pasal 52 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) yang menegaskan bahwa barang impor harus dalam kondisi baru, serta melarang importir memasukkan barang yang telah ditetapkan sebagai barang terlarang.
Larangan ini lalu dipertegas dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 serta Permendag Nomor 18 Tahun 2021 jo. Permendag Nomor 40 Tahun 2022 yang secara spesifik yang memasukan pakaian bekas dalam Pos Tarif/HS 63.05 sebagai barang dilarang impor dengan pertimbangan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan, serta industri dalam negeri.
Artinya, secara substansi, pakaian bekas impor memang tidak boleh diperdagangkan secara bebas di Indonesia karena telah ditetapkan secara sah sebagai barang Larangan dan Pembatasan (LARTAS);
Dalam Praktiknya, penegakan aturan ini dimulai di pintu masuk kepabeanan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (UU Kepabeanan) tidak menyebut pakaian bekas secara eksplisit, tetapi memberi kewenangan yang sah bagi Bea Cukai untuk menindak barang Larangan dan Pembatasan (LARTAS). Kewenangan itu ditegaskan dalam beberapa pasal, yaitu:
- Pasal 53 : Bea Cukai berhak menjalankan pengawasan terhadap barang yang sudah ditetapkan sebagai LARTAS oleh kementerian teknis;
- Pasal 74 : Bea Cukai bisa mengambil tindakan untuk melindungi hak negara atas barang impor;
- Pasal 82 dan Pasal 90 : Bea Cukai boleh memeriksa fisik barang dan menghentikan pembongkaran jika barang tersebut tidak boleh diimpor.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.04/2020 kembali menegaskan Bea Cukai wajib mengawasi barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor, dan Bea Cukai hanya boleh mengeluarkan barang dari pelabuhan jika syarat LARTAS sudah dipenuhi.
Artinya Kewenangan Bea Cukai adalah bersifat turunan, yakni jika suatu barang sudah dilarang dalam aturan sektoral (UU Perdagangan & Permendag), maka Bea Cukai secara sah berwenang untuk menindak, baik itu menolak, menyita atau memusnahkan pakaian bekas impor tersebut.
Dari Konstruksi hukum yang telah diuraikan, dapat diketahui larangan impor pakaian bekas bukanlah kebijakan spontan atau sekedar penertiban pasar, tetapi telah berdiri di atas landasan hukum yang sistematis dan berlapis.
Dengan melakukan penyitaan pakaian bekas hasil impor, negara hadir untuk menjaga kepastian hukum, melindungi konsumen serta memastikan kedaulatan tetap terjaga.
Dampak Larangan Impor Pakaian Bekas: Implikasi Hukum dan Sosial
Larangan impor pakaian bekas menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi tiap pihak. Pihak importir besar berpotensi menanggung risiko hukum paling tinggi. Jika mereka tetap melakukan impor pakaian bekas, mereka dapat dijerat sanksi pidana berdasarkan UU Perdagangan Pasal 111-112 ayat (2) yang mewajibkan barang impor harus baru dan bukan barang yang dilarang untuk diimpor.
Pelanggaran ini dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.
Lebih lanjut, Pasal 102-103 UU Kepabeanan mengklasifikasikan impor pakaian bekas sebagai bentuk penyelundupan sehingga terdapat ancaman pidana penjara dan denda, bahkan perampasan barang serta sarana angkutan.
Kondisi ini juga dapat menciptakan jalur distribusi gelap yang sulit dilacak dan diawasi.
Bagi pedagang kecil yang menjual kembali pakaian bekas hasil impor baik di toko fisik ataupun di e-commerce, risiko tetap ada meskipun tidak melakukan impor langsung.
Penjualan barang hasil penyelundupan dapat dikenakan Pasal 103 huruf d UU Kepabeanan. Akibatnya mereka tidak memiliki perlindungan hukum, rentan terkena razia dan kesulitan memperoleh izin usaha atau akses pembiayaan formal.
Sementara bagi konsumen, pakaian bekas hasil impor menjadi pilihan karena murah dan unik. Namun, tidak ada jaminan higienitas maupun perlindungan konsumen serta tidak ada perlindungan hukum untuk menuntut jika terjadi kerugian.
Negara Hadir Tidak Hanya Melarang, Tetapi Mengarahkan
Thrifting tumbuh sebagai alternatif murah untuk memenuhi gaya hidup lintas generasi. Namun di Indonesia, praktik thrifting, khususnya pakaian bekas impor, tidak sejalan dengan koridor hukum positif.
Larangan terhadap impor pakaian bekas memang perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan industri nasional, tetapi kenyataan itu tidak sepenuhnya adil bagi pedagang kecil yang berada di hilir perdagangan.
Penegakan hukum terhadap peredaran pakaian bekas impor harus diiringi dengan kebijakan alternatif sehingga dapat menghindari terciptanya pasar gelap yang semakin sulit dikontrol negara.
Oleh karena itu, thrifting seharusnya tidak semata diposisikan sebagai objek larangan normatif. Hal ini dapat dijadikan momentum merekonstruksikan kebijakan agar lebih responsif terhadap realitas sosial yang berkembang.
Dengan sistem pengawasan yang ketat dan aturan hukum yang rigid, sektor thrifting dapat diarahkan menjadi kegiatan ekonomi sirkular yang sah, teratur, serta dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat tanpa mengabaikan perlindungan hukum dan kesehatan masyarakat.
Negara harus hadir tidak hanya sebagai penegak aturan, tetapi juga memberikan solusi terhadap permasalahan. Pembangunan yang berkelanjutan tidak sekedar menolak yang ilegal, tapi menciptakan ruang bagi tiap insan yang lebih adil, produktif untuk menatap masa depan.





