Dalam sejarah panjang hukum, manusia selalu berada di persimpangan yang sama. apakah hukum harus tegak, seperti mesin yang dingin atau justru lentur mengikuti denyut moral masyarakat?
Di satu sisi, kepastian hukum menjanjikan ketertiban dan prediktabilitas. Di sisi lain, moralitas hukum menjanjikan keadilan yang hidup, bukan sekadar bunyi pasal yang kaku.
Pertarungan dua mazhab hukum inilah yang mewarnai arsitektur filsafat hukum dunia, baik dalam tradisi Barat, Islam, maupun dalam falsafah hukum Indonesia yang bertumpu pada Pancasila.
Jika filsafat hukum Barat adalah panggung dramatik antara positivisme dan hukum alam, maka filsafat hukum Islam adalah simfoni antara teks ilahi dan etika kemanusiaan.
Sementara Pancasila mencoba meramu keduanya menjadi adunan hibrida yang khas Indonesia. Justru di situlah keunikan sekaligus tantangannya.
Filsafat hukum Barat sering digambarkan sebagai gelanggang adu argumen antara para pemuja kepastian dan para pembela moralitas.
Kaum positivis seperti John Austin dan Hans Kelsen percaya hukum harus steril dari moral, yang sah hanyalah apa yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, bukan apa yang dianggap baik.
Bagi mereka, menautkan hukum dengan moral hanya akan menciptakan kekacauan, sebab moral selalu berubah dan subjektif. Di tangan mereka, hukum tampil seperti mesin penghitung, yang memberi putusan tanpa harus mempertimbangkan nurani.
Namun di seberang ring, para pengusung hukum alam tidak pernah sepakat bahwa hukum boleh terpisah dari moralitas.
Thomas Aquinas mengingatkan hukum tanpa keadilan adalah kekosongan belaka. Lon Fuller bahkan menyebut bahwa setiap sistem hukum memiliki moralitas internal, yang wajib memuat tujuan etis tentang kemaslahatan.
Bagi mereka, hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Di Barat, perdebatan ini tidak pernah benar-benar selesai. Ia terus hidup dalam wacana, dan dalam praktik legislasi.
Seandainya Barat berputar antara dua mazhab itu, filsafat hukum Islam justru memulai perjalanan dari titik yang berbeda. Dalam tradisi Islam, hukum (syariah) selalu memiliki fondasi moral yang kuat, karena ia dipahami sebagai jalan menuju kemaslahatan manusia.
Namun moralitas di sini bukan moralitas subjektif. Ia bersandar pada teks wahyu, nilai-nilai akhlak, dan tujuan syariah (maqashid).
Para ulama usul fikih mengembangkan perangkat intelektual yang rumit untuk menjembatani antara kepastian teks (nash) dan situasi sosial yang terus berubah.
Dari sinilah lahir konsep qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, dan lain sebagainya, atau sebuah teknologi hukum yang sulit dicari padanannya dalam tradisi Barat.
Bilamana positivisme Barat memisahkan hukum dari moral, filsafat hukum Islam justru menjadikan moralitas sebagai denyut nadi hukumnya. Namun, juga menyediakan mekanisme agar moralitas tidak liar, melainkan tetap dalam bingkai metodologi.
Puncaknya adalah maqashid syariah, berupa perlindungan jiwa, akal, harta, keturunan, dan agama.
Dalam perspektif ini, hukum bukan sekadar logika formal atau alat pengendali sosial, melainkan sarana menjaga martabat manusia.
Dalam Hukum Islam, kepastian hukum tetap ada, melalui teks yang jelas dan metodologi penalaran yang disiplin, tetapi moralitas menjadi intinya.
Lalu, di mana posisi Indonesia?
Indonesia tidak menjiplak sepenuhnya tradisi Barat, dan juga tidak meniru seluruh kerangka hukum Islam. Indonesia memilih jalan ketiga, yakni Pancasila.
Sebagai falsafah hukum, Pancasila menempatkan manusia sebagai makhluk yang berketuhanan, bermoral, namun juga makhluk sosial yang membutuhkan aturan yang pasti.
Di sinilah keunikan hukum Indonesia, yang meletakkan moralitas sebagai fondasi, tetapi tetap menerima sistem hukum modern Barat sebagai struktur formalnya.
Hukum Indonesia tidak pernah sepenuhnya positivistik, tetapi juga tidak menggantungkan diri pada penilaian moral yang subjektif.
Jika Barat terjebak dalam dikotomi hukum vs moral, Pancasila menawarkan jalan tengah yaitu moralitas tidak boleh menggusur kepastian hukum, tetapi kepastian hukum pun tidak boleh menindas nilai kemanusiaan.
Di situlah sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab), berfungsi sebagai koreksi terhadap hukum yang dingin. Sementara sila kelima mengingatkan bahwa keadilan sosial adalah tujuan akhir, bukan sekadar legalitas formal.
Dalam kerangka ini, wajah hukum Indonesia sebetulnya paling dekat dengan filsafat hukum Islam dalam hal penempatan moralitas sebagai orientasi substansial, tetapi sekaligus dekat dengan filsafat Barat, dalam hal struktur formal dan prosedural.
Indonesia mengadopsi sistem peradilan modern, asas legalitas, serta prinsip-prinsip positivisme, tetapi menambahkan nilai-nilai kemanusiaan, gotong royong, dan tujuan keadilan sosial sebagaimana karakter maqashid dalam hukum Islam.
Filsafat hukum paling cocok untuk Indonesia
Barangkali jawabannya bukan memilih salah satu, melainkan memadukan yang paling baik dari semuanya.
Positivisme memberikan stabilitas. Hukum alam memberi orientasi moral. Filsafat hukum Islam memberikan kerangka nilai yang terintegrasi dan tujuan kemaslahatan.
Pancasila menyatukan semuanya dalam satu payung yang khas Indonesia, yang tidak meniru, tidak menyalin, tetapi menyerap, menafsir, dan menyesuaikan.
Pada akhirnya, wajah hukum Indonesia bukanlah hukum yang kaku seperti mesin, bukan pula hukum moral yang liar tanpa kendali. Wujudnya adalah hukum yang mencari keseimbangan.
Cukup pasti untuk menjaga tertib sosial, cukup bermoral untuk menjaga martabat manusia, dan cukup terbuka untuk berkembang seiring perubahan zaman.
Dalam dialektika antara kepastian dan moralitas, Indonesia mencoba menghadirkan hukum yang tidak hanya bekerja, tetapi juga berjiwa.





