Peradilan adalah pilar utama dalam sebuah masyarakat yang beradab, berfungsi menegakkan keadilan dan menjaga ketertiban.
Dalam sejarah peradaban Islam, peradilan pada masa Rasulullah SAW memegang peran sentral sebagai fondasi dan teladan.
Meskipun terkesan sederhana, sistem peradilan ini menyimpan prinsip-prinsip universal yang relevan hingga era modern, bahkan bisa menjadi inspirasi bagi peradilan modern untuk mencapai idealisme keadilan yang hakiki.
Artikel ini akan mengupas sejarah peradilan pada masa Rasulullah SAW, menganalisis bagaimana prinsip-prinsip utamanya seperti transparansi, efisiensi, dan integritas dapat menjadi cerminan dan pelajaran berharga bagi sistem peradilan modern, yang kerap kali dilanda berbagai tantangan.
1. Fondasi Peradilan: Keadilan dan Integritas Mutlak
Pada masa Rasulullah SAW, keadilan adalah nilai yang paling didamba. Sebelum hijrah ke Madinah, umat Islam di Mekkah belum memiliki institusi peradilan yang mapan karena kondisi yang masih tertekan.
Namun, setelah hijrah, Madinah menjadi laboratorium peradaban di mana Rasulullah tidak hanya menjadi pemimpin politik, tetapi juga hakim tertinggi.
Rasulullah menjadi satu-satunya rujukan dalam menyelesaikan segala perselisihan, baik di antara kaum Muslim maupun dengan non-Muslim, sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah.
Sumber hukum utama peradilan pada masa itu adalah wahyu Ilahi (Al-Qur'an), diikuti oleh ijtihad Rasulullah SAW sendiri. Ini menunjukkan bahwa fondasi peradilan dibangun di atas landasan yang kokoh dan tak terbantahkan ketetapan dari Tuhan.
Dalam konteks modern, hal ini dapat dianalogikan dengan konstitusi atau undang-undang dasar, yang menjadi sumber hukum tertinggi dan harus dihormati oleh semua pihak.
Prinsip ini membawa kita pada analisis pertama terhadap peradilan modern. Sering kali, peradilan modern menghadapi krisis kepercayaan masyarakat akibat dugaan korupsi, intervensi politik, atau putusan yang tidak adil.
Dalam hal ini, peradilan modern dapat belajar dari peradilan Rasulullah, di mana integritas dan kepatuhan pada hukum adalah prinsip utama yang tidak bisa diganggu gugat.
Putusan yang diambil tidak didasarkan pada kepentingan pribadi, tetapi semata-mata pada kebenaran yang bersumber dari wahyu.
2. Proses Peradilan: Sederhana, Cepat, dan Berbiaya Murah
Proses peradilan pada masa Rasulullah SAW sangat sederhana. Tidak ada gedung pengadilan megah, ruang sidang formal, atau administrasi yang rumit. Sidang bisa dilakukan di masjid, di lapangan, bahkan saat dalam perjalanan.
Hal ini sejalan dengan prinsip peradilan modern yang diidamkan: sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Meskipun sederhana, proses ini tidak mengorbankan substansi. Setiap perkara harus melewati tahapan yang adil: kedua belah pihak didengarkan keterangannya, dan keputusan tidak akan diambil sebelum semua bukti dihadirkan.
Alat bukti yang digunakan, seperti pengakuan, kesaksian, dan sumpah, menjadi landasan bagi putusan.
Selain itu, eksekusi putusan dilakukan secara langsung, tanpa penundaan yang berbelit-belit.
Jika dibandingkan dengan peradilan modern, sering kali proses hukum memakan waktu lama, biaya mahal, dan prosedur yang rumit.
Berkas perkara menumpuk, persidangan ditunda, dan biaya litigasi menjadi beban berat bagi masyarakat.
Peradilan modern dapat mengambil inspirasi dari kesederhanaan peradilan Rasulullah. Penerapan teknologi seperti E-Court, yang memungkinkan proses administrasi dan persidangan secara elektronik, adalah langkah nyata menuju peradilan yang lebih efisien dan terjangkau, mirip dengan semangat peradilan Rasulullah yang berfokus pada substansi, bukan formalitas.
3. Syarat dan Integritas Hakim: Uji Kelayakan yang Ketat
Sistem peradilan modern mengenal konsep fit and proper test untuk menyeleksi hakim. Menariknya, praktik ini sudah diterapkan oleh Rasulullah SAW.
Sebelum menunjuk seorang sahabat sebagai hakim, beliau akan mengujinya terlebih dahulu. Contoh yang paling terkenal adalah ketika beliau menguji Mu'az bin Jabal dengan pertanyaan tentang sumber hukum yang akan ia gunakan.
Namun, untuk Ali bin Abi Thalib, Rasulullah tidak melakukan uji serupa karena beliau sudah sangat mengenal kapabilitas dan integritas Ali.
Ini adalah pelajaran penting bagi peradilan modern. Integritas dan kompetensi hakim adalah kunci bagi tegaknya keadilan.
Rasulullah SAW menolak menunjuk Abu Dzar sebagai hakim karena wataknya yang lemah, yang dikhawatirkan akan mempengaruhi putusannya. Hal ini menunjukkan bahwa jabatan hakim adalah amanah yang sangat berat, dan hanya orang-orang yang memiliki kualifikasi moral, intelektual, dan profesional yang layak mengembannya.
Dalam peradilan modern, isu tentang integritas hakim sering menjadi sorotan.
Praktik suap, intervensi, atau putusan yang kontroversial merusak kepercayaan publik. Oleh karena itu, peradilan modern harus memperketat seleksi hakim, memastikan bahwa mereka tidak hanya cerdas secara hukum tetapi juga memiliki integritas moral yang tidak tercela.
4. Kewenangan dan Tingkat Peradilan: Trias Politica dalam Wajah Khas
Dalam konsep ketatanegaraan modern, dikenal trias politica, pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun, pada masa Rasulullah SAW, ketiga kekuasaan ini menyatu dalam satu tangan beliau. Rasulullah adalah pembuat undang-undang (legislatif) melalui wahyu dan ijtihad, kepala pemerintahan (eksekutif), dan hakim tertinggi (yudikatif).
Penyatuan kekuasaan ini tidak menimbulkan penyalahgunaan wewenang karena adanya jaminan ke-ma’şuman (terjaga dari dosa) Rasulullah.
Dalam konteks modern, pemisahan kekuasaan mutlak diperlukan untuk mencegah tirani dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, hal ini tidak berarti peradilan modern tidak bisa belajar dari prinsip otoritas yang adil. Putusan Rasulullah selalu dilandasi oleh keadilan, dan hal ini menjadi contoh bagaimana kekuasaan yudikatif harus dijalankan: demi kebenaran, bukan demi kekuasaan.
Sistem peradilan modern juga mengenal tingkatan pengadilan, dari tingkat pertama hingga kasasi atau peninjauan kembali.
Menariknya, konsep peninjauan kembali ini sudah dikenal pada masa Rasulullah. Ketika Ali bin Abi Thalib mengambil putusan yang ditolak oleh para pihak, mereka menghadap Rasulullah. Beliau kemudian membenarkan putusan Ali, menunjukkan adanya mekanisme semacam "pengadilan banding" yang berfungsi untuk mengoreksi atau mengukuhkan putusan sebelumnya.
Ini membuktikan bahwa sistem peradilan Rasulullah sudah sangat maju, dengan adanya mekanisme koreksi untuk memastikan keadilan yang hakiki.
5. Inspirasi untuk Masa Depan Peradilan Modern
Peradilan modern menghadapi tantangan kompleks: kemajuan teknologi, globalisasi, dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi akan transparansi dan akuntabilitas.
Seringkali, birokrasi yang rumit, korupsi, dan putusan yang tidak adil membuat masyarakat kehilangan kepercayaan.
Dengan menganalisis sejarah peradilan Rasulullah SAW, kita dapat menemukan solusi dan inspirasi.
Peradilan modern harus kembali pada prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh Rasulullah. Pertama, Integritas dan Moralitas: Menjadikan integritas hakim sebagai prioritas utama, lebih dari sekadar kecerdasan hukum.
Kedua, Efisiensi dan Aksesibilitas: Menyederhanakan prosedur dan memanfaatkan teknologi (seperti E-Court dan sistem informasi lainnya) untuk mewujudkan peradilan yang cepat, murah, dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat; ketiga, Transparansi: Menerapkan keterbukaan dalam setiap proses peradilan, dari pendaftaran perkara hingga putusan, agar masyarakat dapat memantau jalannya peradilan.
Pada akhirnya, sejarah peradilan Rasulullah SAW bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cetak biru idealisme keadilan.
Dengan menyatukan prinsip-prinsip universal ini dengan inovasi teknologi dan sistem peradilan modern, kita dapat mewujudkan "Badan Peradilan Indonesia yang Agung" yang benar-benar melayani masyarakat dengan adil dan transparan.