Banyak kasus yang diajukan ke pengadilan-pengadilan negeri perihal dispensasi kawin, Undang-Undang telah mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria dan wanita telah mencapai umur tertentu.
Umur tertentu tersebut adalah 19 (sembilan belas) tahun sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyesuaikan peraturan sebelumnya, agar sejalan dengan putusan MK No. 22/PUU-XV/2017.
Dalam hal salah satu pihak hendak melangsungkan perkawinan berumur di bawah 19 (sembilan belas) tahun, maka dibutuhkan dispensasi kawin sebagaimana Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019.
Ketentuan tersebut juga diatur Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Maksud dari Pasal 7 di atas jelas, bahwa dispensasi kawin tersebut diberikan sebelum adanya perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kata “calon mempelai”, “calon suami/istri”, dan “izin kawin” dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal dispensasi kawin (vide Pasal 7 ayat 3 UU perkawinan dan Pasal 1 angka 5 PERMA 5/2019), bukan dispensasi untuk mencatatkan perkawinan (vide Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan).
Meskipun demikian, banyak masyarakat mengajukan dispensasi kawin ke pengadilan walaupun perkawinan telah terjadi secara agama.
Hal tersebut disebabkan, karena perkawinan tersebut tidak bisa dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil disebabkan tidak ada dispensasi kawin dari pengadilan.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan agama (tidak memisahkan agama dan negara), dengan memperhatikan bahwa sahnya suatu perkawinan adalah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan), maka penulis berpendapat bahwa pasal dispensasi kawin tersebut adalah untuk mencegah dilangsungkannya perkawinan secara agama/kepercayaan terhadap orang yang masih di bawah umur.
Terhadap kondisi dimaksud, timbul pertanyaan apakah pengadilan memiliki kewenangan memberikan dispensasi kawin kepada seseorang yang belum berusia 19 (sembilan belas) tahun, apabila perkawinan telah terjadi secara agama/kepercayaan?
Golongan Pendapat Dalam Menghadapi Masalah Dispensasi Kawin
Terhadap permasalahan tersebut, sejauh pengetahuan penulis, pokoknya terdapat 2 (dua) pendapat, yaitu:
1. Pendapat bahwa permohonan dispensasi kawin tersebut tidak memenuhi syarat formil.
2. Pendapat yang dapat mengabulkan permohonan dispensasi kawin. Pendapat ini terpecah menjadi:
- Mengabulkan dengan dispensasi kawin;
- Mengabulkan dengan pengesahan perkawinan/pencatatan perkawinan;
Pendapat yang pertama ini, tidak perlu dibahas lagi karena sesuai dengan ketentuan yang ada. Pendapat yang kedua banyak menimbulkan perdebatan. Berikut pembahasannya:
1. Mengabulkan dengan Dispensasi Kawin
Dalam perkara permohonan, pengadilan hanya diberi wewenang untuk memeriksa dan mengabulkan perkara, apabila diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan (Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan). Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa maksud dari dispensasi kawin tersebut diberikan sebelum adanya perkawinan. Dengan demikian permohonan dispensasi kawin yang di luar dari maksudnya, yaitu dispensasi yang diberikan setelah perkawinan, bukanlah wewenang pengadilan.
Lebih lanjut, Panitera Mahkamah Agung pernah mengeluarkan surat Nomor 237/PAN/HK.05/1/2019 tanggal 30 Januari 2019 perihal penjelasan kepada Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan pada pokoknya bahwa untuk pernikahan di bawah umur harus ada izin dispensasi dari pengadilan dan apabila syarat tidak dipenuhi, maka perkawinan semacam itu telah melanggar hukum. Apabila hendak mencatatkan perkawinan setelah memenuhi syarat maka mereka harus menikah ulang atau memperbarui nikahnya (surat tersebut menyebutkan pembaruan nikah dengan cara “tajdid nikah”).
Sebagai catatan, solusi yang diberikan dalam Surat Panitera Mahkamah Agung tersebut, adalah dengan cara pembaruan nikah, yang tidak dapat dilakukan di semua agama/kepercayaan. Walaupun sepengetahuan penulis surat Panitera Mahkamah Agung tersebut tidak ditindaklanjuti dalam PERMA maupun SEMA, penulis berpendapat ketentuan dalam surat tersebut dapat dianggap sebagai doktrin yang dianut Mahkamah Agung, dengan demikian mengabulkan dispensasi kawin terhadap perkawinan yang telah terjadi adalah melanggar hukum.
2. Mengabulkan dengan Pengesahan Perkawinan/Pencatatan Perkawinan
Golongan yang berpendapat perkara perkawinan di bawah umur yang telah terjadi secara agama/kepercayaan yang diajukan ke pengadilan dapat dikabulkan dengan pencatatan perkawinan/pengesahan perkawinan pada pokoknya mendasarkan terdapat kekosongan hukum (lacunae iuris) dalam kasus seperti itu, khususnya adalah extra legem gap sehingga dapat diselesaikan dengan penalaran analogis dan mengarahkan kasus tersebut ke aturan perundang-undangan yang mengatur kasus yang mirip, meskipun kasus ini tidak tercakup dalam cakupan aturan tersebut. Kemudian menerapkan aturan tersebut pada kasus perkawinan di bawah umur.
Di Pengadilan Agama, pengesahan perkawinan disebut sebagai itsbat nikah dengan dasar hukum Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Untuk Pengadilan Negeri, padanan pasal tersebut terdapat di Pasal 36 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyebutkan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Pasal 1 angka 2 dan angka 3 PERMA No. 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dalam Rangka Penertiban Akta Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta Kelahiran menyebutkan:
- Angka 2 : “Pengesahan Perkawinan adalah pengesahan kawin bagi masyarakat beragama selain Islam yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
- Angka 3 : “Itsbat Nikah adalah pengesahan nikah bagi masyarakat beragama Islam yang dilakukan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Oleh karenanya penulis mempersamakan pencatatan perkawinan dengan pengesahan perkawinan.
Pencatatan perkawinan dalam UU Adminduk juga terdapat di Pasal 35 yang menyebutkan “pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan ...”. Ada pendapat, menyatakan bahwa kasus perkawinan di bawah umur tersebut adalah extra legem gap, dengan penalaran analogis, ketentuan perihal pengesahan perkawinan dan pencatatan perkawinan tersebut dapat digunakan dalam perkara perkawinan di bawah umur.
Namun makna dari ketentuan pencatatan perkawinan dalam Pasal 35 UU Adminduk tersebut, tidaklah dapat diartikan secara luas karena dalam bagian Penjelasan di UU Adminduk telah diberikan pengertian yaitu “perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, dengan demikian pencatatan perkawinan/pengesahan perkawinan (di pengadilan negeri) tidak digunakan untuk mencatatkan perkawinan (secara agama/kepercayaan) di bawah umur yang terjadi tanpa ada dispensasi kawin.
Perlu menjadi perhatian bahwa dispensasi kawin, adalah pengecualian dari perkawinan, sehingga apakah terhadap pengecualian tersebut perlu diadakan pengecualian dispensasi menjadi pengesahan/pencatatan?
Penulis berpendapat, dalam aturan dispensasi kawin berlaku prinsip expressio unius est exclusio alterius, ketika suatu undang-undang secara eksplisit mencantumkan hal tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa penghilangan hal lainnya merupakan tindakan yang disengaja. Artinya, tidak ada cara lain bagi perkawinan di bawah umur selain melalui dispensasi kawin terlebih dahulu.
Kepastian, Kemanfaatan, dan/atau Keadilan
Bila mengabulkan perkawinan di bawah umur melalui dispensasi kawin/pengesahan perkawinan/pencatatan perkawinan dengan dasar demi kepastian, kemanfaatan, atau keadilan kontra argumennya adalah sebagai berikut: Tujuan hukum untuk kepastian, kemanfaatan, dan keadilan merupakan nilai yang dipopulerkan oleh Gustav Radbruch. Radbruch dalam tulisannya berjudul “Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law” di Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26 No. 1 tahun 2006 memberikan formula nilai mana yang diutamakan kepastian, seperti kutipan berikut “konflik antara keadilan dan kepastian hukum dapat diselesaikan dengan cara Hukum positif, yang dijamin oleh legislasi dan kekuasaan, tetap diutamakan bahkan ketika isinya tidak adil dan gagal memberikan manfaat bagi rakyat, kecuali konflik antara undang-undang dan keadilan mencapai tingkat yang tak dapat ditoleransi sehingga undang-undang, sebagai hukum yang cacat, harus tunduk pada keadilan”, lebih lanjut Radbruch menjelaskan bahwa keadilan hanya diutamakan dalam kondisi ekstrim.
Dengan demikian argumen untuk keadilan sangat dapat diperdebatkan, apakah perkawinan di bawah umur yang sudah terjadi secara agama/kepercayaan merupakan kondisi yang memenuhi kriteria ekstrim yang tidak dapat ditoleransi?
Mengabulkan dispensasi kawin yang demikian justru memberi insentif untuk tidak menaati ketentuan perihal dispensasi kawin, karena lebih mudah meminta dispensasi (ataupun pengesahan kawin/pencatatan perkawinan) saat perkawinan telah terjadi, dengan kata lain lebih mudah meminta maaf daripada meminta izin.
Dengan demikian pengaturan mengenai dispensasi kawin kehilangan manfaat serta maknanya dan lembaga tersebut, tidak akan digunakan lagi.
Hal tersebut, justru mengakibatkan kondisi yang bertentangan dengan diadakannya pengaturan dispensasi kawin. Patut diperhatikan, adalah dispensasi kawin merupakan pengecualian dalam perkawinan, tujuannya adalah untuk meminimalisasi jumlah perkawinan di bawah umur.
Dengan demikian, kurang tepat mendasarkan alasan kemanfaatan, terlebih argumen kemanfaatan dapat diuji bahwa manfaat ketaatan hukum lebih berguna bagi masyarakat dibanding kepentingan orang-perorangan.
Andai pun, mendasarkan pada tujuan hukum yakni memperoleh kepastian. Maka tidak akan tercapai kepastian hukum, apabila aturan dispensasi kawin dikesampingkan seperti di atas.
Selain itu, bila ingin memperoleh kepastian hukum bagi anak/calon anak (biasanya perkawinan di bawah umur, disebabkan hamil dahulu), yakni masih terdapat cara lain untuk memperoleh kepastian hukum anak/calon anak tersebut baik dengan pengakuan anak maupun pengesahan anak.
Ancaman Pidana
Pasal 45 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan “Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 mPeraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah)”.
Pasal tersebut, mengatur ancaman pidana salah satunya terhadap pegawai pencatat yang melakukan pencatatan, tetapi syarat-syarat perkawinan belum dipenuhi dan terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
Ancaman pidana pada pasal tersebut, pada pokoknya mengancam pidana bagi pegawai pencatat yang mencatatkan perkawinan terhadap pihak yang berada di bawah usia kawin, tanpa dispensasi kawin dari pengadilan.
Bilamana pegawai pencatat mencatatkan perkawinan di bawah umur yang disahkan pengadilan melalui prosedur pengesahan perkawinan ataupun pencatatan perkawinan, dengan demikian tidak ada dispensasi kawin dari pengadilan, maka terhadap pegawai tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut.
Kesimpulan
Dengan demikian apakah maksud negara terhadap perkawinan secara agama/kepercayaan yang melanggar batas usia tersebut, apabila tidak didahului dispensasi kawin, tidak dapat dicatatkan? Apakah itu ranah pengadilan untuk menetapkan agar perkawinan seperti itu dapat dicatatkan?
Penulis berpendapat, tidak semua masalah harus diselesaikan di pengadilan. Melihat probelmatika dimaksud, wajib dilihat permulaannya, yaitu sebagai masalah sosial seperti kurangnya pendidikan orang tua maupun anak, kurangnya pengetahuan hukum dan seksual, serta kurangnya pengawasan orang tua maupun masyarakat.
Sebagai negara demokrasi, badan-badan negara yang ada haruslah bahu membahu membentuk tatanan masyarakat yang diinginkan dengan prinsip demokrasi.
Penulis berpendapat masalah ini haruslah diselesaikan oleh pembentuk peraturan dengan menghimpun pendapat dari konstituen mereka. sehingga nilai yang tercermin dari peraturan merupakan nilai yang lahir dari masyarakat, masalah ini tidak tepat diselesaikan oleh pengadilan.
Tidak dapat dipungkiri untuk mengakomodasi pencatatan perkawinan seperti itu dengan mengubah perundang-undangan yang ada adalah sangat lambat, sehingga masyarakat yang mengalami hal dimaksud, lama kelamaan melihat pengadilan sebagai institusi politik untuk mengesampingkan aturan tersebut.
Saat masyarakat tidak dapat mengubah perundang-undangan di legislatif (maupun eksekutif), masyarakat berupaya melitigasi hal tersebut karena masyarakat merasa lebih cepat untuk menyelesaikannya melalui perantaraan hakim daripada meyakinkan perwakilan mereka di legislatif (maupun eksekutif) untuk mengubah perundang-undangan.
Penulis menyadari bahwa pandangan di atas memang sangat formalistik dan positivistik, serta di kalangan para hakim belum ada kesatuan pendapat.
Demikian juga, penilaian kepastian, kemanfaatan, dan keadilan sebagai tujuan hukum tentu memiliki makna yang berbeda bagi para hakim sehingga ada kalangan hakim yang dapat mengabulkan dispensasi kawin walaupun perkawinan telah terjadi secara agama.
Ada juga yang berpandangan bahwa masalah ini adalah lacunae iuris berupa exra legem gap (atau lebih spesifik berupa casus omissus) yang dapat diselesaikan dengan penalaran analogis, yaitu dengan cara menemukan aturan perundang-undangan yang mencakup kasus-kasus yang mirip dengan kasus yang sedang dibahas dan kemudian meskipun kasus ini tidak tercakup dalam kewenangannya, maka menerapkan aturan yang dipilih tersebut pada kasus yang sedang dibahas (misal dengan metode pengesahan perkawinan dan pencatatan perkawinan).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari kesalahan, namun berbagi sudut pandang yang berbeda agar permasalahan ini mendapat perhatian yang cukup.
Penulis berpendapat diperlukan pengaturan lebih lanjut, perihal dispensasi kawin terutama perihal pencatatan perkawinan di bawah umur bagi orang-orang yang sudah melangsungkan perkawinan secara agama/kepercayaan tanpa ada dispensasi kawin.





