Revitalisasi Teori Qarā’in (Circumstantial Evidence) dalam Pembuktian Perkara di Era Peradilan Modern

Dalam konteks hukum pidana modern, konsepnya mirip dengan "praduga" atau "petunjuk" yang jika dirangkai secara logis, akan menunjuk pada satu kebenaran atau kesimpulan hukum.
Ilustrasi keadilan. Foto : Freepik
Ilustrasi keadilan. Foto : Freepik

“Revitalisasi Teori Qarā’in (Circumstantial Evidence) membuktikan bahwa hukum Islam tak pernah lekang oleh waktu. Ia adaptif, tajam, dan relevan. Di meja hijau modern, Qarā’in bertransformasi menjadi kepingan puzzle vital yang menyempurnakan rasa keadilan. Karena keadilan bukan hanya soal apa yang tertulis di atas kertas, tapi soal ketajaman mata batin dalam membaca tanda-tanda."

Secara sederhana, Qarā’in adalah "bukti tidak langsung" (Circumstantial evidence) atau indikasi kuat, yakni kumpulan petunjuk, fakta, atau kondisi di sekitar kejadia. 

Dalam konteks hukum pidana modern, konsepnya mirip dengan "praduga" atau "petunjuk" yang jika dirangkai secara logis, akan menunjuk pada satu kebenaran atau kesimpulan hukum.

Di ruang sidang modern, istilah qara’in sangat jarang terdengar. Umumnya, yang terdengar adalah berkas digital, dan alur pembuktian yang kian formal, namun ada satu pertanyaan yang halus tetapi penting: apakah semua kebenaran hanya lahir dari apa yang terlihat, terdengar, dan tertulis? 

Pada kenyataannya, banyak perkara justru berputar pada sesuatu yang lebih halus tanda-tanda kecil yang menyelinap di balik perilaku manusia, pola kejadian, hingga jejak digital yang tak kasat mata.

Menghidupkan Kembali Teori Qarā’in: Detektif dalam Hukum Islam

Makhluk bernama Qarā’in ini? Secara sederhana, cara kerja Qarā’in mirip dengan cara kerja detektif. Bayangkan seorang hakim atau ulama bekerja layaknya detektif yang sedang menyusun kepingan puzzle. Itulah inti dari Qarā’in. 

Mereka tidak hanya melihat apa yang tampak di permukaan, tapi merangkai petunjuk-petunjuk kecil menjadi satu gambaran utuh.

Qarā’in memberikan pada hakim landasan keyakinan (intuisi hukum) yang kuat untuk mengetuk palu vonis. Fungsi teori ini sangat krusial, terutama dalam dua situasi di pengadilan syariah, yaitu dalam kasus pidana maupun perdata, Qarā’in menjadi pengganti saksi.

Hakim (qadhi) tidak selalu beruntung memiliki saksi mata yang melihat kejadian secara langsung. Di sinilah Qarā’in masuk sebagai bukti pendukung. Ia hadir untuk menambal celah ketika bukti formal terasa kurang. Qarā’in menjadi penguat keyakinan hakim ketika bukti fisik minim, tapi logika dan petunjuk yang ada sangat kuat mengarah pada satu pelaku. 

Supaya lebih mudah dipahami, mari kita lihat contoh nyata dalam kasus kriminal. Bayangkan kita masuk ke sebuah ruangan dan melihat seseorang berdiri tepat di samping korban pembunuhan. 

Orang tersebut memegang pisau penuh darah, bajunya penuh bercak merah, dan tidak ada orang lain di sana. Meskipun tidak ada saksi mata yang melihat momen penusukan , posisi dia berdiri, pisau di tangan, dan noda darah adalah Qarā’in, yaitu petunjuk kuat yang berbicara lebih lantang daripada sekadar pengakuan. 

Inilah logika yang dipakai hakim untuk menentukan bahwa dialah pelakunya. 

Dalam KUHAP, konsep qarā’in dalam fikih memiliki padanan kuat dalam ‘petunjuk’ sebagaimana Pasal 188 KUHAP. Dalam kasus pembunuhan, keberadaan pisau berdarah di tangan pelaku, noda darah di baju, dan posisi pelaku sebagai satu-satunya orang di TKP dinilai sebagai petunjuk yang saling berkesesuaian. Petunjuk inilah yang bersama alat bukti lain menjadi dasar keyakinan hakim sesuai Pasal 183 KUHAP.”

Qarā’in: Ketika "Firasat Logis" Jadi Bukti Hukum

Kita tentu pernah menonton film detektif di mana pelakunya ketahuan bukan karena ada saksi mata, tapi karena ada jejak lumpur di sepatu atau keringat dingin saat diinterogasi. 

Nah, dalam hukum Islam, itulah yang disebut Qarā’in. Sederhananya, Qarā’in itu "petunjuk kuat". Dia bukan bukti formal seperti saksi atau surat kontrak, tapi dia adalah tanda-tanda alamiah yang membuat hakim akan mengatakan, "Ah, ini masuk akal." 

Kalau bukti formal itu ibarat lampu utama di ruangan gelap, Qarā’in adalah cahaya lilin tambahan yang membuat sudut-sudut tersembunyi jadi terlihat jelas. 

Para hakim (qāḍī) di zaman klasik dahulu sangat ahli menggunakan metode qarā’in. Mereka membaca bahasa tubuh (gestur) yang berubah, barang bukti yang "kebetulan" ada di lokasi, atau waktu kejadian yang pas betul. 

Ulama besar seperti Al-Māwardī dan Ibn al-Qayyim bahkan punya prinsip keren: "Lisan manusia bisa berbohong, tapi tanda-tanda keadaan biasanya jujur apa adanya."

Sejak zaman Nabi ﷺ pun metode ini sudah dipakai. Keadilan itu ternyata tidak kaku. Ia tidak cuma soal "mana kertasnya?" atau "mana saksinya?", tapi juga soal "mana yang masuk akal?". Qarā’in menjadikan hukum Islam menjadi luwes, memanusiakan manusia, dan peka terhadap realitas, bukan hanya terpaku sama aturan teks yang mati.

Mengenal Qarā’in: Seni Membaca Kebenaran di Balik Bukti

Dalam Hukum Islam, pembukian itu tidak hanya soal hitam di atas putih. Ada satu instrumen menarik bernama Qarā’in. Ini adalah indikator atau petunjuk di lapangan yang membantu hakim menyusun kepingan fakta (puzzle) yang hilang. 

Bayangkan Qarā’in sebagai "konteks" yang berbicara. Ia bukan bukti utama, tapi pendamping setia. Saksi bisa saja dibayar, dokumen bisa saja dipalsukan, tapi gerak-gerik (gestur) yang gelisah atau kejanggalan situasi seringkali lebih sulit dimanipulasi. Itulah kenapa ulama ternama dahulu seperti Ibn Farhūn dan Ibn al-Qayyim sangat menghargai Qarā’in. 

Bagi mereka, keadilan itu harus rasional. Jika lisan bisa bersilat lidah, keadaan sekitar sering kali berkata jujur. 

Praktik ini bahkan berakar dari tradisi Nabi ﷺ yang menilai kasus tidak hanya dari apa yang terdengar, tapi dari apa yang terasa dan terlihat di sekeliling peristiwa. Intinya, Qarā’in adalah bukti bahwa hukum Islam itu fleksibel dan hidup. 

Ia memberi ruang bagi hakim untuk menggunakan logikanya demi menangkap kebenaran yang sesungguhnya, bukan sekadar kebenaran prosedural.

Qarā’in dan Sisi Manusiawi Hukum Islam

Seringkali kita berpikir hukum itu kaku harus ada saksi, harus ada sumpah. Tapi hukum Islam punya sisi yang sangat manusiawi lewat konsep Qarā’in. 

Qarā’in adalah cara hukum Islam menghargai logika dan intuisi yang sehat. Ia adalah tanda-tanda bisa berupa raut wajah, keberadaan benda, atau situasi yang "berteriak" lebih lantang daripada saksi bisu. Ibaratnya, jika bukti formal adalah kerangkanya, maka Qarā’in adalah nyawanya.

Para ulama terdahulu menyadari salah satu hal fatal, yaitu manusia bisa berbohong. Karena itulah, Al- Māwardī hingga Ibn al-Qayyim menegaskan pentingnya melihat tanda-tanda fisik (Qarā’in) yang sering kali lebih murni daripada perkataan lisan. Nabi ﷺ sendiri mengajarkan kita untuk melihat sebuah perkara secara utuh, bukan sepotong-sepotong. 

Kehadiran Qarā’in mengajarkan kita bahwa menegakkan keadilan itu butuh kepekaan rasa, bukan sekadar hafalan pasal. Ia menjadikan hukum Islam tidak buta terhadap realitas, tapi justru sangat jeli melihat kebenaran yang tersembunyi di balik realitas manusia.

Qarā’in dan Wajah Peradilan Modern

Sebagai penutup tulisan ini, kita melihat dalam Pengadilan modern hari ini, saat pengadilan berbicara soal CCTV, forensik digital, atau e-Court, sebenarnya kita sedang mempraktikkan Qarā’in gaya baru. Kita tidak sedang bernostalgia ke masa lalu, tapi membawa semangat ketelitian ulama terdahulu untuk memecahkan kasus modern. Membaca pola login akun bank tersangka itu pada dasarnya sama dengan membaca gerak-gerik tersangka di zaman Nabi Mencari kebenaran lewat tanda-tanda.

Sumber bacaan

Al-Māwardī. (1996). Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Ibn al-Qayyim. (1991). I‘lām al-Muwaqqi‘īn. Dār al-Ḥadīth.
Ibn Farḥūn. (1977). Tabsirat al-Ḥukkām fī Uṣūl al-Aqdiyah wa Manāhij al-Aḥkām. Dār al- Fikr.
Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. International Institute of Islamic Thought (IIIT).
Ho, H. L. (2008). A Philosophy of Evidence Law. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199228301.001.0001
Ashworth, A., & Redmayne, M. (2010). The Criminal Process. Oxford University Press. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews