Pelaksanaan (eksekusi) putusan pidana merupakan tahap fundamental dalam sistem peradilan pidana yang menentukan apakah keadilan substantif yang telah diputuskan di meja hijau benar-benar terwujud dalam realitas.
Sebuah putusan pengadilan, yang idealnya didasarkan pada kebenaran dan keadilan, serta didukung pula oleh alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, haruslah dapat dilaksanakan secara efektif.
Tanpa adanya eksekusi yang memadai dan akuntabel, seluruh proses peradilan mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di persidangan, akan kehilangan makna dan tujuannya secara esensial.
Eksekusi dapat dikatakan sebagai “lembaga terakhir” dalam rangkaian pemeriksaan perkara pidana, yang berfungsi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Eksekusi putusan pidana yang benar, adil, dan berdasarkan hukum merupakan dasar utama untuk menjaga kepercayaan publik (public trust) terhadap sistem peradilan.
Ketika palu hakim telah diketuk dan putusannya telah diucapkan dalam sidang yang bersifat terbuka untuk umum, maka hakim yang bersangkutan telah menetapkan hukum dalam perkara yang diperiksanya, dan tentu putusan tersebut haruslah dipertanggungjawabkan.
Apabila terdapat ketidakadilan dalam pelaksanaan putusan atau jika putusan tersebut tidak dieksekusi sebagaimana mestinya, hal ini tentu berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik (public trust) terhadap integritas dan efektivitas dari penegakan hukum pidana.
Kesenjangan antara putusan yang adil di atas kertas dan proses eksekusi yang tidak adil di lapangan dapat menciptakan disonansi yang serius, mengikis legitimasi yudisial, dan menimbulkan keraguan terhadap supremasi hukum.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu revitalisasi peran hakim terhadap proses eksekusi putusan pidana sebagai bagian dari aspek pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) yang menekankan pentingnya peran pengadilan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya bersifat independen dan imparsial.
Hakim yang memiliki peran pengawasan terhadap proses eksekusi putusan pidana adalah Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat).
Peran Hakim Wasmat secara fundamental diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tepatnya pada Bab XX Pasal 277 sampai dengan Pasal 283. Ketentuan ini diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat.
Secara filosofis, pembentukan tugas dan fungsi Hakim Wasmat lahir dari paradigma bahwa tugas peradilan tidak berakhir setelah vonis dibacakan.
Lembaga ini dibentuk untuk menjembatani sub-sistem peradilan pidana, khususnya antara Pengadilan sebagai lembaga pemutus perkara, Kejaksaan sebagai lembaga pelaksana atau eksekutor putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai lembaga atau tempat yang menjalankan fungsi pembinaan terhadap narapidana.
Keberadaan Hakim Wasmat ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa putusan pengadilan, terutama yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, dilaksanakan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan asas-asas kemanusiaan.
Hal inti dari aspek “pengawasan” yang dilakukan oleh Hakim Wasmat adalah ditujukan pada jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Hakim Wasmat menitikberatkan pengawasannya antara lain pada: a) Apakah Jaksa telah menyerahkan terpidana kepada Lapas tepat pada waktunya? b) Apakah masa pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan benar-benar dilaksanakan secara nyata dalam praktik oleh Kepala Lapas? c) Apakah pembinaan terhadap narapidana benar-benar manusiawi sesuai prinsip-prinsip pemasyarakatan, yaitu antara apakah narapidana memperoleh hak-haknya sepanjang persyaratan-persyaratan prosedural sesuai sistem pemasyarakatan telah terpenuhi? (misal: pemberian remisi, cuti, asimilasi, lepas bersyarat/integrasi, dan lain sebagainya).
Di samping itu, hal inti dari aspek “pengamatan” yang dilakukan oleh Hakim Wasmat adalah ditujukan pada masalah pengadilan sendiri sebagai bahan penelitian bagi pemidanaan yang akan datang.
Dalam melaksanakan tugas pengamatan, Hakim Wasmat menitikberatkan pengamatannya antara lain pada: a) Mengumpulkan data-data tentang perilaku narapidana, yang dikategorikan berdasarkan jenis tindak pidananya dan dapat berpedoman pada faktor-faktor tertentu yang dianggap relevan, b) Mengadakan evaluasi mengenai hubungan antara perilaku narapidana tersebut dengan pidana yang dijatuhkan, apakah lamanya pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana dengan perilaku tertentu sudah tepat (dalam arti cukup) untuk melakukan pembinaan terhadap dirinya sehingga pada waktu dilepaskan nanti, narapidana tersebut sudah dapat menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat pada hukum.
Implementasi peran Hakim Wasmat dalam praktik menghadapi berbagai tantangan struktural yang membuatnya menjadi kurang efektif.
Beberapa faktornya antara lain bahwa tugas Hakim Wasmat dianggap sebagai tugas sampingan atau tugas tambahan (side job), karena tugas utama seorang hakim adalah mengadili perkara di persidangan yang menyita hampir seluruh waktu dan energi mereka, sehingga tugas pengawasan dan pengamatan kerap terabaikan.
Keterbatasan sumber daya pun menjadi salah satu faktor, di mana penunjukan satu orang Hakim Wasmat untuk mengawasi seluruh Lapas di wilayah yurisdiksinya tidak proporsional dengan beban tugas dan kerap kali tidak didukung oleh sarana prasarana serta pendanaan yang memadai.
Berdasarkan hal-hal yang demikian, maka diperlukan adanya suatu revitalisasi peran Hakim Wasmat dalam upaya menjaga keadilan dan kepercayaan publik (public trust) yang dapat diwujudkan melalui reformasi hukum acara pidana di Indonesia yang saat ini berada di bawah naungan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang bertujuan untuk memperbarui dan menyempurnakan kekurangan KUHAP saat ini, dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip human rights dan due process of law.
Revitalisasi peran Hakim Wasmat dapat direalisasikan melalui penguatan status hukum Hakim Wasmat dengan mengatur bahwa Hakim Wasmat adalah jabatan fungsional yang khusus dan penuh waktu, bukan lagi tugas sampingan bagi hakim. Perubahan struktural ini akan menandakan prioritas baru terhadap pengawasan pasca-adjudikasi dalam lembaga peradilan dan mengubah peran dari simbolis menjadi substantif.
Selanjutnya, diperlukan suatu peningkatan kompetensi dan spesialisasi bagi Hakim Wasmat dalam bentuk sertifikasi maupun pelatihan yang mencakup bidang-bidang seperti penologi (ilmu tentang pemidanaan), psikologi narapidana, manajemen aset, prinsip-prinsip keadilan restoratif, dan bidang-bidang lainnya yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Hakim Wasmat guna memastikan bahwa pengawasan dan pengamatan tidak hanya dilaksanakan secara formalitas, tetapi juga informatif dan berwawasan.
Penyediaan anggaran dan sarana prasarana dalam pelaksanaan pengawasan dan pengamatan juga menjadi hal yang penting, termasuk penyediaan sarana transportasi, fasilitas pendukung, dan dukungan administratif lain yang diperlukan. Anggaran dan sumber daya yang memadai merupakan prasyarat untuk kinerja yang lebih efektif.
Selain itu, diperlukannya pengaturan tentang mekanisme koordinasi dan sinergi antar lembaga penegak hukum yang bertujuan untuk menciptakan platform terstruktur untuk penyelesaian masalah antar-lembaga dan akuntabilitas bersama terkhusus mengenai proses eksekusi perkara pidana.
Dalam upaya menjaga kepercayaan publik (public trust), maka dibutuhkan peningkatan transparansi dan akses informasi yang dapat dilakukan dengan memublikasikan laporan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh Hakim Wasmat secara berkala di situs web pengadilan maupun berbagai media lainnya yang akan meningkatkan akuntabilitas dan menunjukkan kepada publik bahwa putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap diawasi secara serius.
Pengadilan juga dapat membuka kanal pengaduan, yang mudah diakses bagi narapidana atau keluarga mereka terkait adanya dugaan pelanggaran hak. Mekanisme ini akan memberikan jalan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan dan memperkuat fungsi kontrol yudisial sebagai bagian dari judicial scrutiny.
Dengan demikian, revitalisasi peran Hakim Wasmat akan membawa implikasi positif bagi masa depan penegakan hukum pidana di Indonesia. Dengan kinerja pengawasan dan pengamatan yang lebih efektif, dapat dipastikan bahwa keadilan yang telah diputuskan tidak hanya berhenti di atas kertas, melainkan terealisasi secara nyata bagi korban dan masyarakat.
Oleh karena itu, penguatan peran Hakim Wasmat bukan hanya sekadar perbaikan prosedural, tetapi merupakan investasi yang krusial dalam mewujudkan integritas dan legitimasi sistem hukum pidana di Indonesia secara keseluruhan.