Rumusan tindak pidana korupsi hanya menggunakan istilah perbuatan, tanpa mencantumkan syarat adanya unsur sifat melawan hukum, kejahatan, maupun pelanggaran, meskipun telah memasukkan unsur kerugian negara, sebagai unsur yang menentukan.
Secara keseluruhan, istilah melawan hukum baru dijumpai dalam penjelasan paragraf ketiga yang oleh pembentuk undang-undang, dimaknai sebagai perbuatan yang tidak halal.
Dengan demikian, konsep melawan hukum ditafsirkan secara sangat luas. Walaupun tidak secara eksplisit menetapkan melawan hukum sebagai unsur tindak pidana korupsi, pengaturan tersebut menunjukkan pandangan yang progresif dalam menilai suatu tindakan sebagai perbuatan koruptif.
Adapun urutan peraturan yang mengatur terkait usaha pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu, diantaranya yaitu:
1. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang Pembentukan Pemilik Harta Benda.
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 membentuk Pemilik Harta Benda (PHB) sebagai badan yang berwenang mewakili negara menggugat secara perdata pelaku korupsi melalui Pengadilan Tinggi.
Langkah ini menunjukkan strategi awal pemberantasan korupsi yang tidak hanya menekankan pemidanaan, tetapi juga pemulihan kerugian negara melalui mekanisme asset recovery, sehingga dapat dipandang sebagai embrio pengaturan modern perampasan dan pengembalian aset korupsi di Indonesia.
2. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang Kewenangan Penyitaan Harta Benda.
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 memberi kewenangan kepada Pemilik Harta Benda (PHB) untuk menyita sementara harta yang diduga hasil korupsi, sambil menunggu putusan Pengadilan Tinggi.
Ketentuan ini, mencerminkan strategi awal pemberantasan korupsi yang tidak hanya mempidanakan pelaku, tetapi juga mencegah penghilangan aset dan melindungi perekonomian negara.
Regulasi tersebut, dapat dipandang sebagai cikal bakal pengaturan asset preservation dalam hukum korupsi Indonesia, yang kelak berkembang dalam Undang-Undang Tipikor dan UNCAC.
3. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 beserta pelaksananya memberi dasar bagi PHB, tidak hanya menyita sementara harta hasil korupsi, tetapi juga mengelola dan menindaklanjuti aset tersebut.
Ketentuan ini, menegaskan pentingnya pemulihan kerugian negara, serta mencerminkan konsistensi politik hukum saat itu yang memandang korupsi sebagai ancaman serius bagi stabilitas negara.
Regulasi dimaksud, dapat dipandang sebagai embrio prinsip state confiscation yang kemudian berkembang menjadi rezim asset recovery dalam hukum korupsi modern Indonesia.
4. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58).
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 memberi kewenangan aparat Angkatan Laut untuk menyita, mengamankan, dan menuntut harta yang diduga hasil korupsi melalui peradilan militer atau Pengadilan Tinggi.
Penerbitan peraturan menegaskan, bahwa pada 1957–1958 korupsi dipandang sebagai ancaman strategis yang memerlukan keterlibatan penuh militer serta penerapan extraordinary measures di luar mekanisme hukum pidana biasa.
5. Undang-Undang Nomor 24/prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 menjadi tonggak penting pemberantasan korupsi dengan menetapkan mekanisme khusus sejak pengusutan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan.
Berbeda dari aturan militer yang darurat, Undang-Undang ini memberi dasar hukum permanen bagi penegak hukum, menyederhanakan prosedur, serta memberi kewenangan khusus untuk menyita dan mengamankan aset hasil korupsi.
Kehadirannya menandai pergeseran dari pendekatan militeristik menuju sistem hukum nasional yang lebih terstruktur, sekaligus menjadi cikal bakal rezim hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menggantikan Undang-Undang 24/Prp/1960 dan menjadi dasar utama pemberantasan korupsi pada masa Orde Baru.
Undang-Undang tersebut, memperluas rumusan tindak pidana korupsi, memperberat ancaman pidana termasuk perampasan aset, memberi kewenangan khusus kepada kejaksaan, serta mengenalkan pembuktian progresif seperti pembalikan beban pembuktian.
Kehadirannya menegaskan paradigma bahwa korupsi adalah extraordinary crime yang memerlukan perangkat hukum khusus.
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memperkuat pemberantasan korupsi di era reformasi dengan merumuskan tindak pidana lebih rinci, memasukkan gratifikasi, menegaskan pembalikan beban pembuktian, memperberat sanksi termasuk perampasan aset, serta membentuk KPK sebagai lembaga independen.
Kehadirannya menandai lahirnya rezim hukum korupsi modern di Indonesia yang menempatkan korupsi, sebagai extraordinary crime sekaligus menyesuaikan kebijakan dengan standar internasional (UNCAC).
Perkembangan regulasi pemberantasan korupsi di Indonesia, dimulai sejak kebijakan darurat militer tahun 1957 hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menunjukkan arah politik hukum yang semakin progresif.
Dari pendekatan represif militer, bergeser ke kodifikasi pada masa Orde Baru, hingga terbentuk rezim hukum modern yang menegaskan korupsi sebagai extraordinary crime dengan instrumen komprehensif seperti asset recovery dan KPK.
Kondisi tersebut, merefleksikan tekad negara untuk tidak hanya fokus pada penghukuman pelaku, tetapi juga dalam memastikan integritas, keadilan, dan kepatuhan terhadap standar internasional sesuai UNCAC.
Sumber :
Buku
Adami Chazawi. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Andi Hamzah. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia, 1985.
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Jimly Asshiddiqie. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi HTN UI, 2002.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998.
Romli Atmasasmita. Reformasi Hukum Pidana: Perspektif Teoritis dan Praktik. Bandung: Mandar Maju, 2011.
Todung Mulya Lubis. Korupsi dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
United Nations. United Nations Convention Against Corruption. New York: United Nations, 2004.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang Pembentukan Pemilik Harta Benda (PHB).
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang Kewenangan Penyitaan Harta Benda.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 (BN Nomor 42/1958).
Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.