Pembuktian, adalah salah satu hal utama dalam penyelesaian suatu perkara. Dalil yang diajukan, oleh pihak berperkara tidak akan berarti, bilamana tidak didukung oleh pembuktian yang komprehensif dan mendukung dalil para pihak tersebut.
Dalam penyelesaian sengketa keperdataan, ragam atau jenis alat bukti terdiri dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg.
Bukti surat, menjadi alat bukti yang utama di sengketa perdata, karena prinsip pembuktiannya cukup mencari kebenaran formil, meskipun dalam praktek tidak ada larangan mencari kebenaran materil.
Surat sebagai alat bukti perkara perdata, terbagi dalam dua bentuk, yakni surat sebagai akta autentik dan dibawah tangan.
Akta autentik memiliki pengertian dokumen yang dibuat dengan format sesuai peraturan perundang-undangan atau pembuatannya dihadapan pejabat berwenang, sesuai ketentuan Pasal 165 HIR/Pasal 285 Rbg.
Ketentuan Pasal tersebut, juga menerangkan akta autentik merupakan bukti sempurna antar para pihak yang membuatnya, termasuk ahli warisnya dan subjek hukum lain yang dapatkan hak dari akta dimaksud.
Nilai pembuktian akta autentik yang sempurna, ditegaskan juga dalam Pasal 1870 KUHPerdata.
Di luar surat autentik, terdapat juga akta di bawah tangan. Adapun akta di bawah tangan memiliki pengertian, sebagai dokumen yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, daftar-daftar, surat-surat mengenai rumah tangga dan surat-surat lain yang dibuat tanpa campur tangan pejabat pemerintah (vide Pasal 286 Ayat 1 Rbg/Pasal 1874 KUHPerdata)
Praktiknya surat yang diajukan alat bukti di persidangan, wajib dibubuhi materai dan dinazegelen oleh Kantor Pos.
Bagaimanakah, terhadap alat bukti surat yang diajukan tidak bermaterai? Apakah dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat?
Guna menjawab pertanyaan dimaksud, penulis menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 983 K/Sip/1972 yakni kwitansi sebagai bukti surat dalam perkara a quo, yang diajukan Tergugat sebagai bukti surat, karena tidak bermaterai sehingga Hakim mengesampingkan.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 983 K/Sip/1972 tersebut, diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum tanggal 28 Agustus 1975 oleh Majelis Hakim Agung RI R. Saldiman Wirjatmo, S.H. (Ketua Majelis) dengan didampingi oleh R.Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H. dan Indroharto, S.H. (masing-masing Hakim Anggota).
Bahwa Putusan Mahkamah Agung RI, telah ditetapkan menjadi Yurisprudensi MA RI, sebagaimana buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia Seri II Hukum Perdata dan Acara Perdata.
Hal tersebut, selaras dengan kewajiban pembubuhan bea materai, pada dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di persidangan, sesuai Pasal 3 Ayat 1 Huruf b Undang-Undang Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Materai.
Dokumen lain yang wajib dibubuhi bea materai adalah dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata (vide Pasal 3 Ayat 1 Huruf a)
Selain di materai, dilakukan nazegelen oleh petugas Kantor Pos. Adapun proses nazegelen termasuk dalam proses pemateraian, sebagaimana ketentuan Pasal 22 Ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.03/2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus Pada Materai Tempel, Kode Unik dan Keterangan Tertentu Pada Materai Elektronik, Materei Dalam Bentuk Lain, Dan Penentuan Keabsahan Materei, Serta Pemateraian Kemudian
Demikianlah artikel, yang membahas kedudukan bukti surat tanpa materai dalam penyelesaian sengketa perdata menurut Yurisprudensi MA RI. Semoga dapat menjadi referensi dan tambahan pengetahuan bagi para hakim, serta akademisi hukum.