Istilah starter wife muncul di tengah tingginya angka perceraian di Indonesia. starter wife diartikan sebagai seorang isteri yang berjuang mendampingi suami dari titik nol dalam membangun finansial, karier, serta status sosial namun setelah suami mencapai puncak kesuksesan, isteri justru diceraikan. Starter wife ini merupakan fenomena baru yang lahir dari hipotesa sosial.
Meskipun sampai saat ini belum ada penelitian atau jurnal yang membahas hal tersebut secara spesifik, seiring perkembangan zaman fenomena ini banyak dijumpai dalam dinamika hubungan perkawinan di Indonesia, khususnya pada perkara cerai talak yang dimohonkan oleh suami terhadap istri.
Jika dipandang dari sudut pandang feminis, starter wife merupakan bentuk ketidaksetaraan gender yang dilestarikan oleh budaya patriarki. Namun jika dianalisa dalam perspektif hukum keluarga, maka starter wife bertentangan dengan esensi pasal 1 Undang-undang Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan pasal 2- 3 KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah akad atau perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Gambaran keluarga yang disebutkan dalam Pasal 3 KHI tersebut adalah keluarga yang penuh cinta dan sayang yang tak pernah berubah dari awal sampai akhir. Perkawinan seharusnya dibangun atas dasar kasih sayang, saling menghormati, serta tanggung jawab, bukan untuk menyakiti, menzalimi, apalagi menjadikan pasangan sebagai batu loncatan.
Ketidaksetaraan Gender dan Peran Sosial dalam Keluarga
Di masyarakat kita, masih terdapat gap yang cukup signifikan antara peran suami isteri dalam rumah tangga. Dalam konteks starter wife, istri sering kali berada di posisi membantu dan mendampingi suami untuk mencapai kesuksesan, misalnya berkorban resign dari pekerjaan karena harus menjadi ibu rumah tangga seutuhnya atau malah harus bekerja untuk membantu menafkahi keluarga.
Realitanya, ada beberapa alasan cerai talak dengan dalih yang tidak jelas. Contohnya setelah laki-laki mencapai status sosial yang diinginkan, sudah mapan dalam hal karir dan finansial, dia menceraikan isterinya tanpa sebab. Banyak di antara mereka yang berlindung dibalik kata bosan atau tidak cocok lagi.
Padahal, setelah digali dalam pembuktian persidangan, ternyata ada perempuan lain yang sebenarnya sudah lama dia idamkan untuk menggantikan posisi isterinya. Hal ini tentunya cukup menyakitkan secara emosional, betapa tidak dihargainya peran dan perjuangan seorang isteri dalam mendampingi suami dari susah sampai sukses. Tetapi, ketika sukses diceraikan karena suami merasa peran istri sudah tidak dibutuhkan lagi.
Dalam posisi tersebut, kebanyakan kasus tertentu, isteri tidak berdaya karena posisi dan perannya tidak dianggap penting dalam keluarga. Cukup ironis, namun faktanya hal ini banyak terjadi di masyarakat dan banyak para isteri tidak menyadari akan hal ini.
Perlindungan Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum dalam Kasus Starter Wife
Hukum keluarga dapat memberikan perlindungan terhadap isteri yang merasa posisinya dirugikan karena menjadi starter wife. Misalnya, jika suami menceraikan istri setelah mencapai kesuksesan finansial dan menggantinya dengan pasangan baru yang dianggap lebih cocok, hukum keluarga dapat mengakomodir perlindungan terhadap hak-hak istri, seperti hak atas nafkah atau hak harta bersama.
Pembagian harta bersama atau gono-gini di era ini, tidak harus leterlek sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan yaitu harus dibagi sama rata, banyak putusan contra legem hakim yang memutus pembagian harta bersama sesuai dengan kontribusi nyata dalam rumah tangga antara suami dan isteri. Hukum keluarga harus mengupayakan keadilan antara suami dan istri, serta memberikan perlindungan yang adil bagi pihak yang lebih lemah dan rentan dalam hubungan perkawinan.
Mahkamah Agung telah menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan (access to justice) dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Peraturan ini, menjadi landasan bagi para hakim dan aparat penegak hukum untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan gender dalam setiap tahapan proses hukum. Karena mayoritas pihak yang dirugikan dalam perkara perceraian adalah perempuan. Maka aturan ini menjadi payung hukum perlindungan bagi starter wife untuk mendapat keadilan atas hak-haknya dalam perkawinan.
Secara keseluruhan, fenomena starter wife menyentuh berbagai aspek teori hukum keluarga, mulai dari ketidaksetaraan gender, keadilan dalam pembagian harta, hingga perlindungan terhadap hak-hak pascaperceraian. Fenomena ini memberikan tantangan tersendiri bagi sistem hukum keluarga di Indonesia untuk menemukan keseimbangan antara melindungi hak-hak individu dalam perkawinan dan memastikan bahwa pembagian hak-hak tersebut dilakukan secara adil dan transparan.