Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan/Permohonan di Peradilan Tata Usaha Negara : Memahami Batas Waktu Agar Tidak Kehilangan Hak

Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun, aturan tenggang waktu sudah diatur dengan jelas.
Ilustrasi putusan PTUN
Ilustrasi putusan PTUN

Ketika kita berbicara soal hukum, sering kali terasa rumit, penuh istilah, dan membingungkan. Namun, ada satu hal yang justru sangat dekat dengan kehidupan masyarakat pencari keadilan: “batas waktu atau tenggang waktu untuk mengajukan gugatan/permohonan”. 

Mengapa hal ini penting? Karena sekecil apa pun keterlambatan, bisa membuat seseorang kehilangan haknya untuk mencari keadilan.

Artikel ini mencoba menjelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana tentang bagaimana aturan tenggang waktu gugatan/permohonan di Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) yang berkembang dari masa ke masa. 

Tidak hanya di Undang-Undang, tapi juga bagaimana Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Edaran (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) memberikan pedoman agar masyarakat tidak kebingungan.

Awal Mula Aturan Tenggang Waktu

Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun, aturan tenggang waktu sudah diatur dengan jelas. Pasal 55 menyebutkan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam waktu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan pejabat TUN.

Namun aturan ini masih sederhana dan hanya ditujukan bagi pihak kedua yang dituju oleh surat keputusan. Misalnya, bagaimana dengan pihak ketiga yang tidak disebut dalam keputusan tapi merasa dirugikan? Belum ada jawaban tegas saat itu. 

Barulah lewat SEMA No. 2 Tahun 1991, MA menegaskan bahwa untuk pihak ketiga, hitungan 90 hari dimulai sejak ia merasa dirugikan dan mengetahui adanya keputusan tersebut.

Contohnya, jika ada sertifikat tanah diterbitkan atas nama orang lain padahal tanah itu seharusnya miliknya, maka pihak yang dirugikan itu bisa menggugat meskipun bukan penerima langsung keputusan dengan tenggang waktu sejak ia mengetahuinya.

Perubahan Penting dalam Praktik Peradilan

Seiring waktu, banyak kasus yang membuat aturan ini lebih diperjelas. Salah satunya adalah kasus sertifikat tanah yang statusnya berubah dari hak milik menjadi hak guna bangunan karena di imbreng. Banyak orang beralasan baru tahu setelah perubahan, padahal sebenarnya sudah mengetahui sejak lama. 

Untuk mencegah penyalahgunaan, lahirlah SEMA No. 3 Tahun 2015 yang menegaskan: hitungan 90 hari bagi pihak ketiga adalah sejak pertama kali ia tahu, bukan kapan ia merasa dirugikan. 

Perubahan ini sangat penting untuk mencegah manipulasi alasan “baru tahu” yang sering digunakan.

Masuknya Upaya Administratif

Tahun 2014, lahir Undang-Undang Nomor 30 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini memperkenalkan konsep “upaya administratif”. Artinya, sebelum ke PTUN, seseorang harus lebih dulu menempuh keberatan atau banding administratif. 

Konsekuensinya, aturan tenggang waktu gugatan pun ikut berubah. Melalui PERMA No. 6 Tahun 2018, ditetapkan bahwa hitungan 90 hari gugatan dimulai sejak keputusan atas upaya administratif diterima atau diumumkan. 

Dengan kata lain, proses ke PTUN tidak bisa langsung dilakukan tanpa melewati mekanisme ini.

Tapi bagaimana jika upaya administratif tidak dijawab? Dalam praktiknya, MA melalui putusan No. 197 PK/TUN/2023 menegaskan bahwa bila dalam 10 hari kerja pejabat tidak memberikan jawaban, maka gugatan bisa langsung diajukan ke PTUN sampai 90 hari kedepan.

Didalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa “Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan”. 

Dahulu, sebelum adanya kesepakatan para Hakim Agung Kamar TUN yang dirumuskan dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2021, apabila Penggugat mengajukan keberatan lebih dari 21 (dua puluh satu) hari kerja, meskipun gugatannya masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka gugatan dinyatakan tidak diterima (niet onvankelijke verklaard) karena upaya administratifnya sudah melebihi tenggang waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sehingga dianggap sudah menerima objek sengketa atau melepaskan haknya untuk mengajukan gugatan.

Namun para Hakim Agung kamar tata usaha negara kemudian berpandangan bahwa tenggang waktu upaya administratif dan tenggang waktu pengajuan gugatan merupakan dua hal yang berbeda. Sehingga akhirnya membuat rumusan yang menjadi pedoman yaitu “upaya administratif yang dilakukan melebihi tenggang waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterima atau diumumkannya surat keputusan dan/atau tindakan, tidak menghilangkan hak untuk mengajukan gugatan apabila diajukan masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak diterima atau diumumkannya surat keputusan dan/atau tindakan tersebut”. 

Dengan kata lain, meskipun misalnya upaya administratif diajukan pada hari ke-30 sejak diterimanya objek sengketa, sepanjang gugatan masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak diterima atau diumumkannya surat keputusan dan/atau tindakan tersebut”, tidak menyebabkan Penggugat kehilangan hak untuk mengajukan gugatan.

Didalam praktik ada pula Penggugat yang salah alamat/addresat dalam mengajukan upaya administratif, misalnya yang seharusnya diajukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Keputusan, tapi ternyata diajukan kepada atasan Pejabat yang menerbitkan Surat Keputusan, maka agar kejadian tersebut tidak merugikan Penggugat, para Hakim Agung kamar tata usaha negara merumuskan “Dalam hal penggugat salah mengajukan upaya administratif kepada pejabat yang tidak berwenang, maka rentang waktu yang dilalui selama proses itu terbantarkan apabila akan diajukan upaya administratif kepada pejabat yang berwenang”.

Sengketa Tindakan Pemerintahan

Perkembangan berikutnya datang dengan PERMA No. 2 Tahun 2019. Isinya memperluas objek sengketa di PTUN, bukan hanya keputusan tertulis (KTUN), tetapi juga tindakan pemerintahan. 

Misalnya, ketika pemerintah melakukan tindakan tertentu yang merugikan warga. Untuk jenis sengketa ini, hitungan 90 hari dimulai sejak tindakan dilakukan.

Namun ada masalah: bagaimana dengan tindakan pasif atau “diam saja” (omisi)? Kekosongan ini kemudian dijawab melalui SEMA No. 5 Tahun 2021, yang menetapkan bahwa bila pejabat diam lebih dari 5 hari kerja, maka sejak hari ke-6 tenggang waktu gugatan mulai dihitung. Mengapa 5 hari kerja ? karena Undang-Undang Cipta Kerja telah mengubah ketentuan mengenai fiktif positif yang semula 10 (sepuluh) hari kerja dianggap dikabulkan secara hukum menjadi 5 (lima) hari kerja dianggap dikabulkan secara hukum.

Kasus Pertanahan yang Sudah Ditetapkan Pemiliknya Oleh Putusan BHT

Ada ketentuan khusus untuk sengketa pertanahan. Jika seseorang sudah ditetapkan sebagai pemilik sah berdasarkan putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap, lalu di atas tanahnya diterbitkan sertifikat untuk orang lain, maka menurut SEMA No. 5 Tahun 2021 gugatan ke PTUN tidak dibatasi tenggang waktu. Kapan saja pemilik sah itu bisa menggugat. Ini bentuk perlindungan hukum agar putusan pengadilan perdata benar-benar dihormati.

Kasus Kepegawaian dan PPPK

Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun PPPK yang diberhentikan, aturan juga berbeda. Berdasarkan PERMA No. 2 Tahun 2023, gugatan hanya bisa diajukan setelah lebih dulu menempuh banding administratif ke Badan Pertimbangan ASN (BPASN). Setelah keputusan BPASN diterima, barulah tenggang waktu 90 hari berlaku.

Sengketa TUN Khusus Lainnya

Selain sengketa TUN yang umum, ada pula sengketa TUN yang punya aturan tenggang waktu waktu khusus berdasarkan perma-perma khusus :

  1. Sengketa Proses Pemilu → Gugatan ke PTUN paling lambat 5 hari setelah putusan Bawaslu. 
  2. Sengketa TUN Pemilihan Kepala Daerah → Harus diajukan ke PT TUN dalam waktu 3 hari setelah putusan Panwas/Bawaslu. 
  3. Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan → Permohonan ke MA paling lambat 3 hari sejak keputusan KPU. 
  4. Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum → Gugatan ke PTUN paling lambat 30 hari sejak diumumkan. 
  5. Sengketa Keterbukaan Informasi Publik → Keberatan ke pengadilan hanya bisa diajukan 14 hari setelah putusan Komisi Informasi diterima.

Aturan-aturan khusus ini menunjukkan bahwa hukum memang kontekstual. Tidak bisa disamaratakan.

Penutup: Mengapa Tenggang Waktu Penting?

Dari perjalanan panjang aturan ini, kita bisa melihat bahwa hukum selalu berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat. Tenggat waktu bukan hanya soal angka, melainkan tentang keseimbangan antara hak warga dan kepastian hukum. 

Jika tidak ada batasan waktu, maka sengketa TUN bisa muncul kapan saja tanpa akhir. Sebaliknya, jika terlalu ketat, masyarakat bisa kehilangan hak, maka tenggang waktu tersebutlah jalan tengahnya.

Karena itu, memahami tenggang waktu gugatan/permohonan di PTUN menjadi hal yang sangat penting. Bagi masyarakat biasa, pesan sederhana yang bisa diambil adalah: jangan menunda jika merasa dirugikan oleh keputusan atau tindakan pemerintah, tapi jangan lupa mengajukan upaya administratif dulu kecuali ditentukan tidak wajib. 

Setiap hari yang terlewat bisa berakibat fatal. Dengan memahami aturan main ini, kita bisa lebih siap memperjuangkan hak kita tanpa takut kehilangan kesempatan hanya karena terlambat.