MARINNews, Jakarta – Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA) RI, I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., menegaskan pentingnya penataan lembaga eksekusi putusan perdata secara menyeluruh.
Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Hukum Nasional dan Top Law School Indonesia 2025 yang digelar hukumonline.com di Hotel Ashley Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Sumanatha menyoroti bahwa pelaksanaan eksekusi putusan perdata masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah sulitnya implementasi kewenangan atributif Ketua Pengadilan dalam memimpin jalannya eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat 1 HIR.
“Dukungan aparat keamanan menjadi krusial karena tidak jarang terjadi perlawanan fisik yang dilakukan termohon eksekusi, dan juga isu adanya potensi kerawanan sosial yang tinggi,” ujarnya.
Selain potensi perlawanan fisik, mekanisme perlawanan hukum, tingginya biaya eksekusi, hingga adanya putusan yang keliru sehingga tidak dapat dilaksanakan menjadi hambatan lain. Menurut Sumanatha, diperlukan payung hukum yang lebih kuat agar pihak yang enggan melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela mendapat konsekuensi hukum, misalnya pembatasan akses pada layanan publik.
“Perlawanan fisik yang dilakukan termohon eksekusi perlu dikaji dari perspektif contempt of court. Pengaturan model seperti ini digunakan beberapa negara dan semuanya bertujuan untuk memastikan efektivitas kepatuhan para pihak terhadap putusan pengadilan,” jelasnya.
Ia juga menyinggung praktik eksekusi perdata di sejumlah negara. Di Belanda, pelaksanaan eksekusi berada di luar pengadilan dan dijalankan oleh institusi independen di bawah The Royal Professional Organization of Judicial Officers in The Netherlands.
Thailand menyerahkan eksekusi kepada Legal Execution Department di bawah Ministry of Justice. Sementara itu, beberapa negara seperti Cina, Jerman, dan Italia tetap melaksanakan eksekusi perdata langsung melalui pengadilan.
Sumanatha menekankan bahwa pengaturan eksekusi harus menjadi bagian integral dari reformasi hukum acara perdata Indonesia. Hal ini penting untuk mengatasi perlawanan hukum melalui mekanisme bantahan (derden verzet) yang sering memperlambat eksekusi.
“Mekanisme pre-trial hearing untuk memastikan merit of the case baik terkait subjek maupun objek sengketa perlu didorong dalam revisi hukum acara perdata,” tegasnya.
MA juga telah mengoptimalkan teknologi informasi untuk memperkuat transparansi. Menurut Sumanatha, saat ini seluruh proses eksekusi di pengadilan sudah bisa dipantau secara real time, tidak hanya oleh Mahkamah Agung, tetapi juga masyarakat.
“Sebagai bentuk komitmen, keberhasilan eksekusi menjadi salah satu indikator kinerja utama (KPI) seorang ketua pengadilan,” katanya. Kebijakan ini terbukti meningkatkan tingkat keberhasilan eksekusi hingga 20 persen sepanjang 2023–2024.
Capaian Eksekusi 2024
Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum mencatat adanya peningkatan signifikan. Dari tunggakan 11.697 permohonan eksekusi pada akhir 2023, ditambah 3.799 permohonan baru di tahun 2024, MA berhasil menyelesaikan 10.505 permohonan eksekusi sepanjang 2024.
Menutup sambutannya, Sumanatha menyampaikan visi Indonesia untuk mendirikan Indonesia International Commercial Court. Saat ini, MA telah berkomunikasi dengan pemerintah terkait rencana meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil or Commercial Matters (Judgment Convention). Konvensi tersebut diharapkan dapat memperkuat penyelesaian sengketa eksekusi yang melibatkan aspek internasional.