Verzet, Derden Verzet, dan Partij Verzet, memang terdengar tidak familiar bagi masyarakat awam, karena menggunakan istilah belanda tetapi perlu diketahui perbedaan penggunaannya, sebagai bentuk upaya hukum dalam perkara perdata untuk memperjuangkan kepentingan atau hak yang dirasa telah dilanggar.
Putusan perdata tanpa hadirnya pihak tergugat dalam proses persidangannya, meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, dinamakan putusan verstek.
Upaya hukum dalam bentuk perlawanan dari pihak tergugat setelah mengetahui adanya putusan tersebut dan tidak menerima putusan, dikenal dengan verzet dan terhadap putusan verstek/ verzet tegen verstek.
Verzet diatur Pasal 129 HIR, 153 Rbg, atau 83 Rv. Jangka waktu pengajuan verzet bervariatif, jika putusan disampaikan kepada pribadi tergugat maka terhitung dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan putusan verstek tersebut, khusus dalam gugatan sederhana, verzet dapat diajukan dalam tenggang waktu 7 hari setelah pemberitahuan putusan.
Pemberitahuan putusan yang tidak langsung kepada diri pribadi tergugat seperti ke anggota keluarga atau kepala desa, maka terhitung dalam waktu 8 hari sesudah aanmaning.
Verzet nantinya menggunakan nomor perkara pada perkara asal, tidak didaftar sebagai perkara baru dan teregister sebagai perlawanan dengan kode Pdt. Plw.
Apabila penggugat awal/terlawan tidak hadir, maka pemeriksaan tetap dilanjutkan secara contradictoir layaknya pemeriksaan gugatan biasa, dimana pelawan dan terlawan memiliki hak untuk mengajukan dalilnya, membantah dalil lawan maupun membuktikannya di persidangan.
Sedangkan apabila tergugat awal/pelawan yang tidak hadir kembali, maka dapat dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya tetapi tidak dapat di-verzet lagi.
Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan, maka amar putusannya yakni menyatakan pelawan adalah pelawan yang benar, membatalkan putusan verstek, kemudian mengabulkan atau menolak gugatan penggugat, begitu juga sebaliknya.
Perlawanan pihak ketiga atau derden verzet, adalah bentuk upaya hukum berupa perlawanan dari pihak ketiga terhadap sita jaminan atau sita eksekusi, baik berupa sah/tidaknya penetapan sita/berita acara sita atau penetapan eksekusi atau penetapan lelang dengan alasan kepemilikan pihak ketiga baik berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai maupun hak gadai tanah terhadap objek sita, yang ditujukan kepada semua pihak dalam perkara asal, diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, 208 HIR, dan SEMA 3 Tahun 2018.
Perkara derden verzet teregister sebagai perkara baru dalam bentuk bantahan dengan kode Pdt. Bth.
Jika derden verzet dikabulkan, maka dilakukan pengangkatan sita yang telah dilakukan sebelumnya dengan amar mengabulkan bantahan pembantah seluruhnya atau sebagian, menyatakan pembantah adalah pembantah yang benar, menyatakan sita yang telah diletakkan tidak mempunyai kekuatan hukum, memerintahkan sita atas objek bantahan yang telah dilaksanakan oleh juru sita untuk diangkat.
Meskipun diajukan dengan dasar adanya alasan kepemilikan, tetapi terkait kepemilikan pihak ketiga tidak dicantumkan dalam amar, karena derden verzet tidak berkaitan dengan sah atau tidaknya kepemilikan yang dimaksud.
Sama halnya dengan derden verzet, partij verzet atau perlawanan pihak, juga merupakan bentuk perlawanan terhadap adanya proses penyitaan pada eksekusi, yang membedakan, perlawanan dilakukan oleh pihak pada gugatan awal bukan oleh pihak ketiga.
Partij verzet muncul dalam Pasal 207 HIR/Pasal 225 Rbg dan SEMA 7 Tahun 2012, perlawanan jenis ini, hanya dapat diajukan dengan alasan bahwa pelawan telah memenuhi kewajibannya, sesuai dengan amar putusan atau jika terjadi kesalahan dalam prosedur penyitaan, seperti adanya kelebihan luas objek yang disita.
Oleh karena diajukan oleh pihak dalam perkara asal, maka tidak lagi ditujukan terkait pokok perkara, karena terkait pokok perkara asal, upaya hukumnya dapat berupa banding maupun kasasi.
Partij verzet lebih ditujukan kepada proses pelaksanaan putusan tersebut terkait penyitaan barang bergerak maupun tidak bergerak.