Tantangan Literasi Hukum di Tengah Maraknya Kecerdasan Buatan

Banyak pengamat hukum khawatir posisi hakim suatu saat bisa saja digantikan oleh kecerdasan buatan. Maka, beberapa hal perlu disikapi dengan arif dan bijaksan
Ilustrasi literasi hukum (Pexels.com/Mikhail Nilov)
Ilustrasi literasi hukum (Pexels.com/Mikhail Nilov)

Literasi hukum hari ini mendapat tantangan paling berat, yaitu adanya kecerdasan buatan (AI). Banyak pengamat hukum khawatir posisi hakim suatu saat bisa saja digantikan oleh kecerdasan buatan. Maka, beberapa hal perlu disikapi dengan arif dan bijaksana agar tujuan hukum untuk keadilan dapat tercapai.

Apalagi, sama-sama kita ketahui fungsi hukum menurut J.P. Glastra van Loon, yang mengatakan bahwa dalam menjalankan peranannya hukum mempunyai fungsi sangat penting, yaitu:

  • Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup.
  • Menyelesaikan pertikaian.
  • Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan, jika perlu dengan kekerasan.
  • Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat.
  • Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan merealisasikan fungsi di atas.

Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup tentu erat hubungannya dengan pedoman atau arah tujuan hidup, baik skala kecil, menengah, maupun besar. 

Skala kecil misalnya hubungan dalam keluarga. Dalam konteks kecerdasan buatan saat ini, bahkan ada diciptakan pasangan hidup mirip manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Pertanyaannya, apakah kecerdasan buatan bisa ditertibkan dengan aturan seperti KUH Perdata maupun KUHP? Inilah tantangan literasi hukum hari ini.

Menyelesaikan pertikaian di sini dimaksudkan sebagai peran aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, pengacara, hingga hakim secara pro justitia. Tentunya aparat penegak hukum punya aturan berlaku. 

Namun, jika kecerdasan buatan ikut serta dalam penyelesaian pertikaian, rasa keadilan belum tentu sepenuhnya terlaksana.

Memelihara dan mempertahankan tata tertib dengan kekerasan juga menimbulkan multitafsir. Peran kecerdasan buatan dalam hal ini belum tentu menjadi solusi. Maka, AI hari ini memiliki nilai kebaikan sekaligus keburukan. Pilihan ada di tangan kita masing-masing.

Kecerdasan buatan tentu harus disikapi dengan beberapa catatan. Jalan akhirnya bisa berupa menjadikan kecerdasan buatan sebagai subjek hukum nasional, sebagaimana dalam hukum internasional yang memperbolehkan sungai menjadi subjek hukum. 

Hal ini penting karena ketidaktahuan dan pengetahuan hukum akan menjadi lebih jelas. Meski kecerdasan buatan selangkah lebih maju, dari sisi moral belum menyamai pemikiran manusia. Ketika menjadi subjek hukum, hal ini akan mengikat siapapun untuk bertanggung jawab.

Stanley Greenstein mengatakan, “The rule of law is dependent on natural language in order to be comprehended. This is not necessarily the case for all areas of law, where some legal processes are easier to automate.” 

Dengan demikian, kecerdasan buatan adalah hasil pemikiran manusia yang merupakan kehendak alami dari dirinya sendiri dan dapat memisahkan atau bahkan menggabungkan Tuhan di dalamnya. Jika demikian, akan ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis yang bersumber dari kecerdasan buatan.

Literasi hukum memiliki peranan ganda: untuk mencerahkan sekaligus menjawab tantangan. Literasi hukum tentu dimulai dari individu untuk memahami, menafsirkan, dan menggunakan informasi hukum dalam kehidupan sehari-hari. Literasi ini mencakup kesadaran akan hak dan kewajiban hukum serta keterampilan untuk mengakses sistem hukum dengan efektif.

Pentingnya literasi hukum adalah agar setiap individu mampu menjawab risiko yang menimpa dirinya, keluarga, maupun kehidupan bernegara. Negara tentu memiliki peran vital dalam mengatur kecerdasan buatan. Contohnya, Surat Edaran Menkominfo No. 9/2023 dan Panduan Kode Etik AI yang diluncurkan OJK.

Memiliki literasi hukum yang baik memungkinkan seseorang untuk melindungi diri dari ketidakadilan. Siapa saja di negeri ini harus taat hukum, karena kita adalah negara hukum. Negara hukum erat kaitannya dengan literasi hukum, sebab negara hukum melindungi seluruh warga negara dari perbuatan merugikan, bahkan ancaman pidana bagi pelaku kriminal.

Contoh penerapan literasi hukum dalam kehidupan sehari-hari mencakup mengetahui hak saat berinteraksi dengan aparat hukum, memahami kontrak sebelum menandatanganinya, serta mengajukan gugatan ketika hak dilanggar. 

Dalam konteks kecerdasan buatan, masyarakat juga harus waspada terhadap ancaman kriminal lintas negara dan hal-hal terkait data transaksi elektronik yang erat kaitannya dengan UU ITE. Pemahaman yang utuh dan benar menjadikan hakim hari ini memiliki peran penting untuk edukasi dalam menjawab tantangan teknologi AI.

Pentingnya literasi hukum bagi generasi muda antara lain adalah kemampuan berpikir kritis terhadap isu hukum, menjadi warga negara yang sadar hukum, mendorong perubahan sosial yang positif, serta menjawab tantangan keberadaan kecerdasan buatan agar lebih bernilai positif.

Literasi hukum dan edukasi hukum ke depan dapat menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah. Peranan penegak hukum, misalnya hakim, bisa “turun gunung” ke sekolah. Bentuk kegiatannya tentu disesuaikan dengan arahan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Penulis: Sherly Risanty
Editor: Tim MariNews