Keadilan sosial atau social justice, merupakan konsep keadilan yang dinamis. Keadilan sosial sendiri, diartikan sebagai keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur proses ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologis dalam masyarakat (Frans Magnis Suseno:1987).
Keadilan sosial hadir sebagai jawaban atas kegelisahan masyarakat mayoritas, yang berpandangan keadilan idealnya, memperhatikan stabilitas mayoritas dan bukan minoritas. Namun, bagaimana seandainya stabilitas mayoritas, menjadi kacau karena ketidakadilan?
Postulasi kekacauan, karena ketidakadilan mayor ini, dibahas dalam video gim berjudul Cyberpunk 2077, di mana di masa depan, tepatnya 2077, kemajuan teknologi telah melebihi batas praktis dan batasan moralitas manusia, menjadi hal yang diremehkan karena teknologi, uang, dan hidup, adalah hal yang dapat dihabiskan dengan mudah (expendable).
Cyberpunk 2077 mengisahkan V, selaku karakter utama, yang melakukan pencurian teknologi dan berujung dikhianati, oleh bosnya yang mengakibatkan V hampir mati. Karakter V, terpaksa mengais teknologi buangan, yang justru memuat memori pelaku makar, Johnny Silverhand, dan mendapatkan gambaran nyata, mengenai ketidakadilan di masyarakat Night City (kota latar Cyberpunk 2077).
Dalam mitologi Cyberpunk 2077, masyarakat salah mengartikan teknologi sebagai kebutuhan hidup dan bukan sebagai alat, untuk membantu atau mendukung kehidupan. Akibatnya, terjadi perubahan makna hidup, bahwa tidak dimilikinya teknologi menjadi lambang ketidakmampuan dan mengubah perspektif ketidakseimbangan sosial.
Teknologi dalam Cyberpunk 2077, spesifiknya modifikasi sibernetik, yang semula hanya suatu fasilitas tambahan, justru menjadi kewajiban bagi masyarakat, untuk memperoleh pekerjaan. Padahal tidak semua masyarakat, mendapat kesempatan atau akses yang sama terhadap teknologi tersebut. Ketidakseimbangan sosial, dalam makna baru ini, menyebabkan perubahan motif atau latar belakang, dari maraknya kriminal di masyarakat.
Dalam kajian psikologi hukum, motif pelaku perbuatan pidana, semakin jelas ketika pelaku tersebut gagal secara ekonomi, serta mendapatkan stimulan negatif lainnya, seperti hinaan sosial, kerusakan hubungan, hingga tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, yang berdampak pada timbulnya perilaku kriminal (Pakpahan:2024).
Tingginya tingkat kriminal serta ketidakpercayaan masyarakat pada penegak hukum, akibat ketidakseimbangan sosial, berikan kesimpulan pada masyarakat bahwa sudah tidak ada lagi keadilan sosial, yang dapat diharapkan dari lembaga negara. Keadilan sosial yang benar, adalah keadilan yang dilakukan masyarakat, baik dari kriminalitas ataupun lainnya, dengan tujuan akhir stabilitas mayoritas. Apabila masyarakat mayoritas nyaman dengan kriminalitas, maka tingginya kriminalitas, yang menjadi keadilan sosial. Penegak hukum di Cyberpunk 2077, baik polisi maupun peradilan hanyalah kemewahan, bagi golongan minoritas (corporate).
Visualisasi Cyberpunk 2077, jadi gambaran yang mengerikan, apabila melihat realita masyarakat Indonesia sekarang. Contoh sederhana, bagaimana teknologi sudah dipandang sebagai kebutuhan hidup dan masyarakat lebih rela menggunakan pinjaman online, untuk membeli gawai terbaru, daripada dipergunakan usaha atau kebutuhan hidup, yang mendasar seperti makan (Muttaqin dan Nuryanti:2023).
Perundungan siber juga dipandang sebagai hal wajar, karena mayoritas masyarakat melakukan hal tersebut. Nilai gotong royong atau tenggang rasa masyarakat Indonesia, semakin tergerus dengan penggunaan teknologi, sebagai kebutuhan hidup. Keadilan sosial, pada akhirnya berubah makna, akibat ketidakadilan yang meluas.
Semoga nilai kehidupan dari video gim Cyberpunk 2077, dapat menjadi pegangan hakim di peradilan, untuk lebih mencermati keadilan sosial yang dituntut masyarakat. Selain itu, perlu ditekankan terwujudnya tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Pengadilan harus dapat memberikan keadilan, yang seimbang dengan tujuan hukum.