Di Indonesia, pembagian warisan diatur oleh beberapa sistem hukum, yaitu berdasarkan Pasal 830 KUHPerdata "Pewarisan hanya terjadi karena kematian. Namun dua yang paling umum adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam prinsip dan cara pembagiannya.
1. Pembagian Waris Menurut KUHPerdata
KUHPerdata
Pengaturan ahli waris dalam KUHPerdata tidak terkonsentrasi pada satu pasal, melainkan tersebar di beberapa pasal yang saling berkaitan. Pasal-pasal ini mengelompokkan ahli waris berdasarkan urutan prioritas (golongan).
- Pasal 832: Merupakan pasal utama yang menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris. Pasal ini menyebutkan bahwa yang berhak mewarisi adalah ahli waris menurut undang-undang atau berdasarkan surat wasiat.
- Pasal 852: Secara khusus mengatur ahli waris Golongan I, yaitu anak-anak dan suami/istri yang ditinggal mati. Pasal ini menjadi dasar pembagian sama rata di antara mereka.
- Pasal 858: Menjelaskan hak ahli waris pengganti (plaatsvervulling) jika seorang ahli waris (misalnya anak) meninggal lebih dulu dari pewarisnya.
Secara umum, kategori ahli waris berdasarkan golongan diatur dalam Pasal 832 dan kemudian dijelaskan lebih rinci di pasal-pasal selanjutnya (seperti Pasal 852 dan Pasal 858).
Hukum waris KUHPerdata, yang sering disebut juga hukum waris perdata, berlaku bagi warga negara Indonesia yang tidak beragama Islam. Prinsip utamanya adalah hubungan darah dan perkawinan.
a. Ahli Waris Berdasarkan Golongan
KUHPerdata menggolongkan ahli waris menjadi empat kelompok berdasarkan hubungan darah, di mana golongan yang lebih dekat akan menyingkirkan golongan yang lebih jauh.
- -Golongan I: Suami/istri yang hidup terlama dan anak-anak serta keturunan mereka (cucu, cicit, dst.). Golongan ini adalah yang paling utama. Jika ada ahli waris dari golongan ini, maka golongan lain tidak berhak atas warisan.
- -Golongan II: Orang tua dan saudara kandung pewaris. Golongan ini berhak atas warisan jika tidak ada ahli waris dari golongan I.
- -Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas setelah orang tua (kakek, nenek, dst.). Golongan ini berhak jika tidak ada ahli waris dari golongan I dan II.
- -Golongan IV: Keluarga dalam garis lurus ke samping (paman, bibi, sepupu, dst.). Golongan ini berhak jika tidak ada ahli waris dari golongan I, II, dan III.
b. Prinsip Pembagian
- Sama Rata: Prinsip yang berlaku adalah setiap ahli waris dari golongan yang sama mendapatkan bagian yang sama.
- Penggantian Ahli Waris (Plaatsvervulling): Jika seorang ahli waris (misalnya anak) meninggal lebih dulu dari pewaris, maka keturunannya (cucu) dapat menggantikan posisinya dan mendapatkan bagian yang seharusnya menjadi haknya.
- Testamen/Wasiat: Pewaris dapat membuat surat wasiat untuk membagi sebagian hartanya. Namun, ada batasan yang disebut Legitime Portie, yaitu bagian mutlak dari warisan yang tidak boleh diganggu gugat oleh surat wasiat. Tujuannya adalah untuk melindungi hak ahli waris dalam garis lurus.
2. Pembagian Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), kategori ahli waris diatur secara lebih jelas dalam satu bagian khusus, yaitu Bab II, Pasal 171 hingga Pasal 175. Hukum waris KHI berlaku bagi orang yang beragama Islam. Prinsip-prinsipnya bersumber dari Al-Qur'an, Hadis, dan Ijtihad para ulama.
a. Ahli Waris dan Sebab Mewarisi
KHI membagi ahli waris menjadi dua kelompok utama:
Ahli Waris Nasabiyah (Hubungan Darah): Terdiri dari:
- Golongan laki-laki: anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, dan seterusnya.
- Golongan perempuan: anak perempuan, ibu, saudara perempuan, dan seterusnya.
- Ahli Waris Sababiyah (Hubungan Perkawinan): Terdiri dari duda atau janda.
b. Prinsip Pembagian
- Faraidh (Ketentuan Pasti): Pembagian warisan dalam Islam didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan secara rinci dalam Al-Qur'an. Setiap ahli waris mendapatkan bagian tertentu, seperti 1/2, 1/4, 1/8, 1/6, 1/3, atau 2/3.
- Asabah (Sisa): Jika setelah dibagikan kepada ahli waris faraidh masih ada sisa, maka sisa tersebut diberikan kepada ahli waris asabah. Ahli waris asabah yang paling utama adalah anak laki-laki.
- "Dua Berbanding Satu": Salah satu prinsip yang paling terkenal adalah bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian ahli waris perempuan dalam derajat kekerabatan yang sama. Misalnya, anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian anak perempuan.
- Adanya Wasiat Wajibah: KHI mengenal konsep wasiat wajibah yang diberikan kepada ahli waris yang tidak berhak menerima warisan karena perbedaan agama atau status (misalnya anak angkat). Wasiat wajibah ini tidak boleh melebihi 1/3 dari total harta warisan.
- Syarat Agama: Perbedaan agama menjadi penghalang untuk saling mewarisi. Seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta dari non-Muslim, dan sebaliknya.
Mahkamah Agung melalui Putusan No.395 K/Sip/1971, tanggal 10 Juli 1971.
Dengan Kaidah Hukum : Seorang ahli waris, tidak hadir dalam pembagian Harta Warisan dihadapan Kepala Desa, meskipun telah dipanggil beberapa kali.
Namun, Ahli waris yang tidak hadir itu setelah ada pembagian tersebut, bersikap diam dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung arti adanya “pengakuan secara diam-diam” (implicite) atas pembagian warisan yang telah dilakukan, dan dengan pengakuan sedemikian, maka pembagian harta warisan yang telah terjadi adalah sah menurut hukum.aidah Hukum dan Penerapannya
Kaidah hukum ini menyatakan bahwa seorang ahli waris yang tidak hadir dalam proses pembagian harta warisan, meskipun telah dipanggil berulang kali, dianggap telah menyetujui pembagian tersebut jika ia menunjukkan sikap atau melakukan perbuatan yang mengindikasikan adanya persetujuan secara tersirat.
Sikap diam atau tindakan yang menunjukkan penerimaan ini membuat pembagian warisan yang telah terjadi menjadi sah secara hukum.
Dalam kasus yang melandasi putusan tersebut, seorang ahli waris tidak hadir saat pembagian warisan yang dilakukan di hadapan Kepala Desa. Meskipun demikian, setelah pembagian selesai, ahli waris tersebut tidak mengajukan keberatan atau gugatan hukum.
Sebaliknya, ia menunjukkan sikap diam dan melakukan tindakan yang menguatkan persetujuan. Misalnya, ia mungkin menerima bagian warisan yang telah ditentukan tanpa protes, atau bahkan memanfaatkan bagian tersebut.
Mahkamah Agung menafsirkan sikap dan tindakan tersebut sebagai pengakuan secara diam-diam. Oleh karena itu, putusan ini mengukuhkan bahwa persetujuan tidak selalu harus diungkapkan secara lisan atau tertulis. Sikap diam dan perbuatan yang mengarah pada penerimaan bisa memiliki kekuatan hukum yang sama.
Putusan ini memiliki beberapa makna penting:
Pentingnya Tindakan Nyata: Hukum tidak hanya menilai pernyataan, tetapi juga tindakan nyata (konkludent) seseorang. Ketika seseorang diam dan tidak mengambil langkah hukum untuk menolak, sementara tindakannya menunjukkan persetujuan, maka hukum menganggapnya telah setuju.
- Kepastian Hukum: Kaidah ini memberikan kepastian hukum bagi pihak lain yang terlibat dalam pembagian warisan. Pembagian tidak dapat dibatalkan hanya karena salah satu pihak tidak hadir, asalkan ada bukti bahwa ia secara tersirat telah menerima keputusan tersebut.
- Penguatan Asas Keadilan: Kaidah ini juga mencerminkan asas keadilan, di mana seseorang tidak bisa memanfaatkan ketidakhadirannya untuk membatalkan sesuatu yang pada dasarnya telah ia terima atau setujui.
Singkatnya, Putusan Mahkamah Agung No. 395 K/Sip/1971 menjadi dasar bagi kaidah hukum perdata yang mengakui pengakuan secara diam-diam dalam pembagian warisan.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum perdata Indonesia sangat memperhatikan tindakan dan sikap para pihak, tidak hanya pernyataan eksplisit, untuk menentukan keabsahan suatu perbuatan hukum.