Mulai meredanya bencana banjir besar yang membawa material (galodo) dan longsor di beberapa bagian Sumatera bukan berarti semua permasalahan selesai begitu saja.
Setelah air surut, tanah tidak lagi runtuh, masalah justru nampak lebih jelas.
Tanah warga sirna, rumah hilang tanpa bekas, dan hak-hak lain warga ikut lenyap.
Beberapa hari lalu sebuah unggahan dari relawan bencana Sumatera memperlihatkan fenomena alam fluvial geomorphology (morfologi fluvial) yang muncul di Sungai Guwo, Sumatera Barat.
Di sana tampak aliran sungai baru yang terbentuk di area bekas pemukiman. Tidak ada lagi jejak rumah maupun bangunan tersisa.
Lebih dari itu, banjir telah membawa batu-batu besar dari aliran sungai lama ke aliran sungai baru. Fisik wilayah sangat berubah dalam waktu singkat.
Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan yang tidak sederhana, Bagaimana nasib warga yang memiliki hak tanah atau bangunan di atasnya?
Apakah dimungkinkan mereka mendapatkan kembali haknya? Apakah negara memiliki kebijakan yang mampu merespon perubahan alam yang secepat itu?
Alam selalu punya cara untuk menyembuhkan lukanya, bahkan terhadap luka yang tidak ia buat sendiri.
Jika tidak disembuhkan, maka ia akan menyembuhkan dirinya sendiri dengan cara yang sangat keras. Air yang tak sanggup lagi meresap ke dalam tanah, tidak ada lagi serapan alami sebagai rumah tempatnya pulang, telah memaksanya mencipkatan revolusi paksa yang dahsyat.
Dibentuknya jalur baru untuk mengalir. Melalui media banjir, ia ciptakan cabang aliran sungai baru karena sungai lama tidak sanggup lagi menampung debit air yang tinggi.
Secara geologi, potamologi, hidrologi, dan ilmu tanah, fenomena tersebut sangat baik untuk memulihkan keadaan alam yang rusak. Namun dari sisi kehidupan manusia memberikan tugas tersendiri, sebab morfologi fluvial telah menghilangkan rumah dan tanah penduduk.
Sertifikat Tanah Hilang
Sertifikat tanah adalah hak kepemilikan tanah tertinggi yang dapat dimiliki oleh perorangan, oleh karena itu sertifikat tanah menjadi bentuk kepastian hukum yang sah.
Apabila sertifikat tanah hilang, termasuk akibat bencana alam, maka dapat dilakukan penerbitan kembali sebagaimana ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, beserta aturan pelaksananya, Permen ATR/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Permen ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021.
Sedangkan untuk tanah yang belum bersertifikat masih menjadi kendala tersendiri dalam proses klaim.
PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan, penerbitan sertifikat pengganti diajukan atas permohonan pemegang hak akibat sertifikat rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertifikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi.
Penerbitan sertifikat pengganti juga dapat dilakukan oleh ahli waris jika pemilik tanah telah meninggal dunia dengan menyerahkan surat tanda bukti ahli waris.
Jika pemilik tanah tidak memiliki ahli waris, maka status tanah akan beralih menjadi tanah yang dikuasai Negara.
Pemilik tanah harus menyiapkan sejumlah dokumen administratif untuk selanjutnya mengikuti tahapan prosedur yang telah ditentukan oleh Kementerian ATR/BPN.
Tanah Musnah
Indonesia telah mempunyai kebijakan terkait tanah yang telah lenyap, yaitu Permen ATR/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah yang telah diubah dengan Permen ATR/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2024.
Dalam Permen ATR/Kepala BPN tersebut tanah yang telah lenyap disebut sebagai “tanah musnah”. Ditentukan di dalamnya bahwa tanah yang musnah berakibat hak pengelolaan dan/atau hak atas tanah menjadi hapus, untuk selanjutnya tanah akan ditetapkan sebagai tanah musnah. Tanah musnah sendiri meliputi:
- Berubah dari bentuk asal karena peristiwa alam;
- Tidak dapat diidentifikasi lagi; dan
- Tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Terhadap seluruh tanah musnah, ATR/BPN mempunyai tugas menetapkan lokasi bidang tanah yang terindikasi musnah, untuk selanjutnya membentuk Tim Peneliti Tanah Musnah dengan beberapa tugas, diantaranya sosialisasi, identifikasi, inventarisasi, dan pengkajian.
Menjadi catatan, tidak semua tanah musnah berujung hapusnya hak atas tanah, namun dapat juga dilakukan pengembalian bentuk bidang tanah sesuai keadaan semula (rekonstruksi) atau meningkatkan manfaat sumber daya dengan cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase (reklamasi).
Rekonstruksi atau reklamasi tersebut dilakukan bilamana pemilik tanah menyatakan akan melakukannya, jika tidak menyatakan maka dianggap tidak akan melaksanakan rekonstruksi atau reklamasi.
Bilamana tanah musnah yang diajukan rekonstruksi atau reklamasi ternyata akan digunakan oleh pemerintah atau pihak lain untuk kepentingan umum, maka pemegang hak tidak mendapatkan prioritas pelaksanaan rekonstruksi atau reklamasi, akan tetapi diberikan ganti rugi berupa dana kerohiman.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyatakan tanah musnah akibat bencana banjir dan longsor Sumatera akan menjadi catatan dan perhatian Kementerian ATR/BPN. Terdapat sekitar 65.000 hektar lahan yang berpotensi menjadi tanah musnah.
Keadaan tersebut berpotensi memunculkan oknum mafia yang mengklaim tanah yang bukan miliknya. Ia melanjutkan, jika tanah telah bersertifikat maka aman karena masih terdapat tapal batas di data spasial ATR/BPN.
Di sisi lain, akan menjadi kendala bila tanah belum bersertifikat.
Meski Negara telah memiliki kebijakan terkait tanah musnah, implementasinya tetap harus dilaksanakan dengan seksama.
Tidak hanya melihat dari segi kemanfaatan terhadap pemilik tanah, namun juga harus melihat segi ekologi, geologi, potamologi, hidrologi, dan ilmu tanah lainnya.
Contohnya, bila rekonstruksi atau reklamasi tanah dilakukan di aliran baru Sungai Guwo tanpa ada penanganan terhadap sungai yang ada, maka dimungkinkan muncul fenomena alam serupa (morfologi fluvial) ke depannya yang disebabkan adanya jejak alam, di mana air mendobrak permukaan tanah untuk menciptakan aliran baru.
Jangan sampai kebijakan yang telah dibuat hanya menjadi seremoni tanggung jawab negara semata secara administrasi tanpa bisa memberikan hasil eksekusi yang apik. Seyogyanya kebijakan dapat diimplementasikan dengan serius serta tepat sasaran.
Terkait bangunan di atasnya, peraturan mengenai sertifikat tanah hilang, ataupun terkait tanah musnah hanya mengakomodir penyelesaian permasalahan terhadap hak tanah, namun tidak dengan bangunan di atasnya.
Dengan kata lain, solusi terhadap bangunan yang ada di atasnya menjadi tanggung jawab dari pemilik sendiri.
Penutup
Sebaik-baiknya pemulihan pascabencana, meskipun itu dengan metode restoratif nan populis, pencegahan pra bencana (preventif) adalah langkah paling emas untuk mencegah segala kemungkinan buruk akibat bencana.
Realitanya ada bencana yang bisa dicegah, namun ada juga bencana yang tidak terhindarkan. Kendati demikian, kita memiliki kemampuan untuk menekan kuantitas dan kualitas dampak bencana hingga angka terendah.
Meski negara telah memiliki kebijakan terhadap tanah musnah maupun penerbitan sertifikat pengganti, lebih baik lagi jika kita dapat mencegah semaksimal mungkin agar tanah tidak musnah, rumah/bangungan penduduk tetap terjaga, hak-hak lainnya tidak hilang melalui kemampuan mitigasi bencana oleh seluruh sektor terkait dari tingkat pemerintah hingga masyarakat.
Sumber Referensi
Irwandi Ferry, Instagram, diakses 10 Desember 2025 dari https://www.instagram.com/reel/DR9zT1Yk1PY/
NDT, HN, & RS, “Pasca-Bencana, Menteri ATR/BPN Siap Lindungi Lahan di Sumatra dari Ancaman Mafia Tanah” Tribrata News, diakses 11 Desember 2025 dari https://tribratanews.polri.go.id/
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah yang telah diubah dengan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2024




