Bencana ekologis di Indonesia kerap dipahami sebagai rangkaian peristiwa alam yang datang silih berganti: banjir, longsor, kebakaran hutan, abrasi pesisir, hingga krisis air bersih.
Dalam narasi publik, peristiwa tersebut sering diletakkan sebagai konsekuensi geografis yang tidak terelakkan.
Cara pandang ini, meskipun terdengar wajar, sesungguhnya menyederhanakan persoalan dan menutup peran manusia serta hukum dalam membentuk kerentanan ekologis.
Bencana ekologis bukan sekadar peristiwa alam, melainkan cerminan dari pilihan-pilihan hukum dan kebijakan yang membiarkan kerusakan lingkungan terus berlangsung.
Jika ditelaah lebih jauh, bencana ekologis bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan akumulasi dari pilihan-pilihan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Alih fungsi hutan, eksploitasi sumber daya alam berskala besar, serta perencanaan tata ruang yang tidak berbasis ekosistem telah menciptakan kondisi ekologis yang rapuh.Dalam konteks ini, bencana adalah manifestasi dari kegagalan sistemik, bukan sekadar fenomena alamiah.
Krisis Relasi Manusia, Alam, dan Hukum
Secara filosofis, bencana ekologis mencerminkan krisis relasi antara manusia dan alam. Hukum modern, termasuk hukum lingkungan, lahir dari tradisi berpikir antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan ukuran nilai.
Alam direduksi menjadi objek pengelolaan dan sumber keuntungan ekonomi. Selama relasi ini tidak dikoreksi, hukum berpotensi terus melegitimasi praktik-praktik yang merusak lingkungan.
Paradigma antroposentris tersebut memengaruhi cara hukum memaknai kerusakan lingkungan.
Kerusakan sering kali baru dianggap relevan secara hukum ketika menimbulkan kerugian ekonomi, korban jiwa, atau gangguan langsung terhadap aktivitas manusia.
Padahal, kerusakan ekologis bersifat bertahap, kumulatif, dan sering kali baru terasa dampaknya setelah melewati titik kritis yang sulit dipulihkan.
Dalam perspektif filsafat hukum, bencana ekologis seharusnya dibaca sebagai kegagalan keadilan ekologis.
Keadilan tidak lagi cukup dimaknai sebagai hubungan antar individu atau antara warga negara dan negara, melainkan juga sebagai relasi antar generasi dan relasi manusia dengan alam.
Generasi saat ini menikmati manfaat eksploitasi sumber daya alam, sementara generasi mendatang mewarisi risiko dan kerusakan yang tidak mereka pilih.
Indonesia sebenarnya telah memiliki fondasi normatif yang cukup kuat dalam perlindungan lingkungan hidup.
Konstitusi mengakui hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berbagai undang-undang sektoral juga mengatur prinsip pencegahan, kehati-hatian, dan tanggung jawab atas pencemaran serta perusakan lingkungan.
Namun, kekuatan normatif ini sering berhenti pada tataran teks.
Permasalahan utama terletak pada karakter hukum lingkungan yang cenderung administratif dan prosedural.
Perizinan menjadi pusat pengaturan, sementara pertimbangan ekologis substantif sering terpinggirkan.
Akibatnya, suatu kegiatan dapat dinyatakan sah secara hukum karena memenuhi prosedur, meskipun secara ekologis berpotensi menimbulkan kerusakan serius.
Bencana ekologis juga membuka tabir relasi kuasa dalam penegakan hukum. Pelaku perusakan lingkungan umumnya memiliki sumber daya ekonomi dan akses politik yang kuat.
Sebaliknya, masyarakat terdampak berada dalam posisi tawar yang lemah. Ketimpangan ini tercermin dalam proses hukum yang panjang, mahal, dan sarat beban pembuktian bagi korban.
Dalam banyak kasus, korban bencana ekologis tidak diperlakukan sebagai korban kejahatan lingkungan, melainkan sebagai pihak yang harus menyesuaikan diri dengan risiko pembangunan.
Negara hadir melalui bantuan darurat dan rehabilitasi pasca bencana, tetapi kerap absen dalam memastikan pertanggungjawaban hukum atas penyebab struktural bencana tersebut.
Dari sudut pandang hukum pembuktian, perkara lingkungan hidup menghadapi tantangan yang tidak sederhana.
Kerusakan lingkungan sering bersifat tidak langsung, melibatkan banyak aktor, dan berlangsung dalam rentang waktu panjang.
Jika hukum hanya mengandalkan pembuktian kausalitas linear dan kesalahan individual, maka banyak pelanggaran lingkungan akan sulit dijerat.
Oleh karena itu, pendekatan hukum lingkungan perlu mengalami pergeseran paradigma.
Prinsip kehati-hatian dan pencegahan harus ditempatkan sebagai kewajiban substantif negara, bukan sekadar formalitas dokumen.
Negara seharusnya berani menolak aktivitas yang berisiko tinggi terhadap lingkungan, meskipun menjanjikan keuntungan ekonomi jangka pendek.
Keadilan Hukum dalam Bayangan Bencana Ekologis
Keadilan hukum dalam konteks bencana ekologis tidak dapat dipersempit pada mekanisme penyelesaian sengketa semata.
Keadilan harus dipahami sebagai kondisi ketika hukum mampu mencegah terjadinya kerusakan, melindungi kelompok rentan, serta memastikan bahwa beban risiko lingkungan tidak dipikul secara timpang oleh masyarakat.
Dalam kerangka ini, hukum berfungsi bukan hanya sebagai alat pemulihan, tetapi juga sebagai instrumen pengarah dan pengendali arah pembangunan.
Pada titik ini, pertanyaan yang patut diajukan bukan lagi sekadar siapa yang harus bertanggung jawab, melainkan bagaimana hukum memahami perannya sendiri di tengah krisis ekologis yang berulang.
Bagaimana mungkin hukum berbicara tentang keadilan jika ia baru hadir setelah ruang hidup rusak dan risiko ditanggung oleh masyarakat?
Sampai kapan hukum akan terus memisahkan pembangunan dari keselamatan ekologis, seolah keduanya tidak saling berkaitan?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif ini penting agar hukum tidak berhenti sebagai perangkat normatif, melainkan menjadi kompas etis dalam menentukan arah pembangunan.
Peran hukum secara keseluruhan menjadi sangat strategis dalam merespons bencana ekologis.
Hukum tidak boleh dipahami semata sebagai kumpulan norma tertulis, melainkan sebagai sistem nilai yang membentuk arah kebijakan, perilaku aparat negara, dan praktik pembangunan.
Ketika hukum dibangun dengan perspektif ekologis, ia dapat berfungsi sebagai instrumen korektif yang membatasi kekuasaan ekonomi dan mencegah kerusakan lingkungan sejak awal.
Dalam kerangka keadilan hukum ekologis, tata kelola lingkungan yang demokratis merupakan prasyarat utama.
Hukum harus membuka ruang partisipasi publik yang bermakna dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengawasan kebijakan lingkungan.
Akses terhadap informasi lingkungan tidak boleh dipahami sebagai formalitas administratif, melainkan sebagai sarana agar masyarakat dapat mengawasi arah pembangunan dan mencegah lahirnya kebijakan yang merugikan ruang hidup bersama.
Negara juga perlu melakukan refleksi mendasar terhadap paradigma pembangunan yang selama ini dianut.
Pembangunan yang mengorbankan lingkungan pada akhirnya akan menghasilkan biaya sosial, ekonomi, dan hukum yang jauh lebih besar.
Bencana ekologis adalah sinyal bahwa pendekatan eksploitatif telah mencapai batas daya tahannya.
Pada akhirnya, bencana ekologis adalah persoalan hukum, etika, dan keadilan dalam arti yang paling mendasar.
Ia menantang hukum untuk tidak lagi bersikap netral terhadap kerusakan lingkungan yang lahir dari praktik pembangunan.
Keadilan hukum dalam bencana ekologis hanya dapat terwujud jika hukum berani mengambil posisi: melindungi lingkungan, membatasi kekuasaan yang merusak, dan memastikan bahwa keselamatan ekologis ditempatkan sebagai kepentingan publik utama.
Tanpa transformasi peran hukum tersebut, bencana ekologis akan terus hadir bukan sebagai anomali, melainkan sebagai konsekuensi yang berulang.
Referensi
[1] S. Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta, Indonesia: Genta Publishing, 2009.
[2] M. A. Safitri, “Keadilan Lingkungan dan Hak Asasi Manusia dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, vol. 1, no. 1, pp. 1–26, 2014.
[3] M. Indrawan, R. Primack, dan J. Supriatna, Biologi Konservasi. Jakarta, Indonesia: Yayasan Obor Indonesia, 2007.



