- Penulis: Dr. Achmad Fauzi, S.H.I., M.H.
- Judul Buku: Intrusi Politik Rekrutmen Hakim Agung (Ancaman Sistemik Terhadap Kemerdekaan Yudikatif)
- Penerbit: Samudra Biru
- Tahun Terbit: 2025
- Tempat Terbit: Yogyakarta
Dalam sistem negara hukum (rechstaat) sebagaimana amanat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945, posisi kekuasaan kehakiman yang merdeka, merupakan fondasi yang tidak bisa ditawar. Pasal 24 ayat (1) secara eksplisit menyebutkan bahwa "kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Makna kemerdekaan dalam pasal tersebut tidak boleh hanya dimaknai secara formalistik, melainkan harus menjangkau proses kelembagaan yang menyertainya, termasuk dalam hal mekanisme pengisian jabatan hakim.
Buku ini secara tajam mengulas bagaimana keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses persetujuan Hakim Agung, yang seharusnya menjadi bentuk check and balances, justru dapat menjadi celah masuknya muatan politis yang mencederai prinsip meritokrasi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman.
Dalam praktiknya forum DPR terhadap calon Hakim Agung sering kali berlangsung dalam suasana yang tidak steril dari anasir politik. Hal ini bertentangan dengan semangat the pure theory of law (teori hukum murni) yang dikembangkan oleh Hans Kelsen, bahwa hukum sebagai norma harus dibersihkan dari anasir politik agar dapat bekerja secara objektif dan rasional.
Kemudian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013, dijelaskan bahwa peran DPR dalam seleksi hakim agung sejatinya hanya sebatas memberikan persetujuan, bukan untuk melakukan seleksi ulang. Sayangnya dalam implementasi ketatanegaraan, batas antara persetujuan dan seleksi seringkali kabur.
DPR sebagai lembaga politik, tidak jarang melakukan pengujian ulang terhadap kompetensi, integritas, bahkan latar belakang calon hakim agung yang sebenarnya telah diuji secara ketat oleh Komisi Yudisial. Ketika fungsi ini dilakukan tanpa dasar ukuran hukum dan bukan oleh tim ahli yang independen, maka potensi intervensi politik menjadi sangat besar.
Dalam buku yang berjumlah 184 halaman ini, juga memaparkan kedudukan DPR dalam pengisian jabatan hakim agung merupakan kewenangan atributif yang diatur dalam Pasal 24A ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Kewenangan tersebut, dimaknai sebagai perwujudan asas negara hukum, asas pembagian kekuasaan, dan asas kedaulatan rakyat, yang mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka sepanjang dalam prosesnya dilakukan berdasarkan mekanisme yang objektif, melalui pendekatan ilmiah, partisipatif, dan dilakukan oleh tim khusus yang independen dan kompeten di bidangnya, sehingga terbebas dari anasir politik yang dapat mencemari kemurnian hukum.
Penulis resensi setuju dengan saran dari penulis buku yang merupakan bagian terpenting dalam buku ini yaitu urgensitas melakukan desain ulang kedudukan kewenangan DPR dalam pengisian jabatan hakim agung dengan melakukan perubahan kaidah hukum selaras dengan teori kewenangan dan teori hukum murni serta landasan filosofis kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Sehingga, mekanisme persetujuan dilakukan melalui pendekatan ilmu objektif yang ilmiah. Tahapannya dari bawah ke atas sesuai dengan rekam jejak putusan-putusannya mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga pengadilan tingkat banding.
Uji publik oleh kekuasaan legislatif hendaknya dilaksanakan melalui tim khusus yang independen dan memiliki kepakaran di bidang hukum, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam perekrutan dan adanya standar yang tepat. Tim khusus yang independen menjadi jalan keluar terbaik agar kewenangan pengisian jabatan hakim agung steril dari analisir politik dan lebih mengedapankan merit system dan mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Pengisian jabatan hukum agar memiliki implikasi hukum yang positif bagi perwujudan kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka disarankan agar Komisi Yudisial meningkatkan perannya sebagai perantara antara kekuasaan kehakiman (judicial power). Sebab, kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman menjadi instrumen untuk menjauhkan proses rekrutmen calon hakim agung dari kepentingan-kepentingan politik yang sering kali distorsif dan mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi.
Sistem rekrutmen yang ketat, partisipatif, transparan, dan akuntabel meringankan beban DPR menjalankan kewenangannya dalam menyetujui calon hakim agung.