Apakah anda pernah merasa sangat marah hingga kehilangan kendali dan mengucapkan kata-kata negatif yang kemudian anda sesali? Atau pernah melanggar pantangan makanan dan minuman yang berakibat buruk pada kesehatan? Jika iya, maka buku ini adalah buku yang tepat untuk anda baca.
David J. Lieberman, seorang tokoh yang dikenal secara internasional di bidang perilaku manusia dan hubungan antarpribadi, menulis karya yang luar biasa dengan judul asli Never Get Angry Again, yang kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh Bentara Aksara Cahaya dengan judul The Psychology of Emotion.
Buku ini berbicara mengenai rahasia mengelola emosi manusia sehingga bisa tetap tenang dan terkendali dalam segala situasi.
Isi buku ini dibagi ke dalam 7 bagian dan 30 topik pembahasan. Bagian awal pembahasan buku ini mengulas dengan tepat alasan-alasan mengapa seseorang bisa sangat marah sampai kehilangan kendali atas dirinya.
Penulis buku menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga kekuatan utama yang seringkali saling bertentangan, yaitu jiwa, ego, dan tubuh.
Jiwa ingin melakukan sesuatu dengan benar, ego ingin selalu dianggap benar dan hanya ingin memandang diri sendiri, sedangkan tubuh ingin lepas dari itu semua.
Tubuh selalu mendorong manusia untuk melakukan sesuatu yang nyaman dan menyenangkan, seperti tidur dan makan berlebihan, ego memperburuknya dengan membeli sesuatu yang lebih mahal dari kemampuan kita. Sedangkan jiwa, berorientasi untuk memilih sesuatu yang benar dan sesuai dengan moralitas serta nurani.
Penulis dengan lugas menjelaskan kondisi saat tubuh dikuasai ego, yaitu cenderung melakukan sesuatu untuk membuat kita terlihat baik, bukan sesuatu yang memang baik. Sedangkan saat orientasi jiwa lebih dominan, maka kita akan melakukan sesuatu yang benar-benar baik, bukan sekedar terlihat baik.
Penulis, dengan sangat baik kemudian membahas strategi psikologi agar kita dapat terbebas dari emosi ego.
Menurut penulis, pertarungan melawan ego merupakan pertarungan tanpa akhir, sehingga manusia harus selalu menjalankan strategi-strategi yang direkomendasikan, agar dapat mengelola kehidupan dengan lebih baik.
Membaca buku ini membutuhkan fokus yang prima, terutama pada separuh pertama pembahasan. Sebab menurut peresensi, membaca buku ini dapat diibaratkan seperti mengayuh sepeda melewati jalan menanjak di area perbukitan.
Pembahasan buku ini, awalnya mudah dipahami terutama di bab-bab awal. Namun semakin pembahasan berlanjut, informasi yang disajikan menjadi sulit untuk dicerna, terutama bagi yang kurang familiar dengan istilah-istilah psikologi atau neuroscience. 
Hanya saja pembaca tidak perlu khawatir, ibarat jalan menanjak di area perbukitan tadi, setelahnya akan bertemu jalan menurun yang mengajak meluncur, tanpa perlu mengerahkan daya dan tenaga maksimal.
Pada bab-bab menjelang akhir pembahasan buku ini, kepingan-kepingan informasi yang telah kita dapatkan sebelumnya akan menyatu menjadi satu informasi yang saling berkaitan dan akan membuat pembaca bergumam, “oh ini toh yang ingin disampaikan oleh penulis”.
Ada beberapa strategi yang direkomendasikan oleh penulis buku untuk mampu mengelola emosi dengan baik. Menurut penulis, setiap manusia pasti memiliki emosi. Namun emosi tersebut perlu dikelola, agar tidak meledak dan akhirnya akan merugikan diri kita sendiri.
Ada lima cara seseorang dalam menghadapi konflik, yaitu 1) menerima konflik; 2) menjauhi konflik; 3) menyerah atau menekannya; 4) melawan; atau 5) menutup diri.
Menurut penulis, tanggapan yang paling sehat adalah menerima dan mengelola konflik serta tidak membiarkan emosi mendikte responnya, kemudian secara rasional dan objektif dengan penuh pertimbangan memilih respon yang paling tepat.
Penulis buku ini, akan menjelaskan dengan gamblang tahapan-tahapannya. juga menerangkan, bahwa pembunuh terbesar dalam hubungan apapun itu adalah kekesalan yang menumpuk, yang merupakan amarah beku dan menunggu titik kulminasi untuk meledak, sehingga menurut penulis kita harus mengekspresikan emosi dengan cara terbaik dan tersehat.
Bagi pembaca yang memilih hasil terjemahan dari penerbit Bentara Aksara Cahaya, dapat menemui kebingungan saat membaca kata “harga diri” yang banyak terdapat di dalam buku tersebut.
Sebab peresensi buku juga awalnya merasakan hal yang sama. Namun setelah peresensi membaca ulang versi asli berbahasa Inggris, ternyata kata “harga diri” tersebut merupakan terjemahan dari kata “self-esteem” dari buku aslinya.
Meskipun benar secara penerjemahan, namun menurut peresensi kata “self-esteem” tersebut lebih tepat dimaknai sebagai “penghargaan diri” dibanding “harga diri”.
Buku ini sangat bagus untuk dibaca semua kalangan, termasuk hakim dan aparatur peradilan.
Dalam konteks hubungan pekerjaan, buku ini akan membawa kita lebih memahami psikologi emosi manusia agar mampu menerima dan mengelola konflik yang pasti akan muncul. Bagaimana kita bisa membuat batas dan bersikap terhadap para pelanggar batas tersebut.
Selain itu, berikan petunjuk bagaimana bisa melahirkan kebijakan yang bijak. Menurut penulis buku, pilihan atau kebijakan yang tidak bijak sangat ditentukan oleh sudut pandang, kesehatan emosional, dan pengabaian terhadap logika.
Sebaliknya, kebijakan yang bijak akan sangat ditentukan oleh perspektif, kesehatan emosional, serta penggunakan rasionalitas dan objektifitas.
Dan untuk hakim, buku ini juga akan menuntun bagaimana menggunakan perspektif yang terbebas dari belenggu emosional, sehingga akan lebih objektif dan rasional dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
 
                               
                               
                               
                      




