Alam Terbentang, Syariat Dijunjung: Menjelajahi Filosofi Hukum Adat Minangkabau yang Menginspirasi

Masyarakat Minangkabau tak sekadar sebuah suku, melainkan peradaban yang dibangun di atas pondasi kuat, berlandaskan alam dan agama
Atap Bagonjong di Gedung Pengadilan Agama Maninjau. Foto : Pengadilan Agama Maninjau
Atap Bagonjong di Gedung Pengadilan Agama Maninjau. Foto : Pengadilan Agama Maninjau

Masyarakat Minangkabau tak sekadar sebuah suku, melainkan peradaban yang dibangun di atas pondasi kuat, berlandaskan alam dan agama. Konsep nagari, atau desa adat, menjadi pusat dari seluruh tatanan kehidupan. 

Bukan sekadar pemukiman, nagari adalah entitas sosial-politik yang mandiri, di mana setiap unsur di dalamnya memiliki makna dan peran yang dalam.

Membangun Nagari: Sebuah Proses Kosmologis

Pembentukan sebuah nagari bukanlah proses instan, melainkan tahapan evolusi yang mengikuti alur alam. 

Proses ini dimulai dari sebuah taratak, pemukiman awal yang didirikan sekelompok orang untuk menggarap sawah atau ladang. Lokasinya jauh dari nagari asal, namun ikatan kekerabatan tak pernah putus. 

Dari taratak, berkembang menjadi dusun, seiring dengan pertambahan populasi. Di dusun, masyarakat mulai membangun mushalla, menandakan komitmen mereka terhadap nilai-nilai spiritual, meskipun salat Jumat masih dilaksanakan di nagari asal.

Tahap selanjutnya adalah koto, perluasan dari dusun. Di koto, populasi semakin padat, dan masyarakat sudah diperbolehkan mendirikan masjid, sehingga tak perlu lagi ke nagari asal untuk salat Jumat. 

Puncak dari evolusi ini adalah nagari, yang terbentuk ketika sebuah koto dihuni oleh lebih dari tiga kelompok suku. Saat tahapan ini terpenuhi, nagari baru ini berdiri mandiri, setara dengan nagari asalnya, tanpa lagi terikat secara pemerintahan.

Tatanan kehidupan nagari diatur oleh seperangkat hukum yang tertuang dalam pepatah dan petatah-petitih adat. Hukum ini tak hanya mencakup aspek sosial dan perdata, tetapi juga ekonomi dan keadilan.

Pepatah seperti "Sawah ladang bandar buatan.." menggambarkan prinsip ekonomi yang berlandaskan pemanfaatan alam. 

Ini mengajarkan bahwa alam adalah perbendaharaan yang harus dikelola dengan bijak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap elemen alam, dari darat hingga laut, memiliki potensi ekonomi yang dapat diolah.

Di bidang hukum, pepatah "Menghukum adil berkata benar." mencerminkan keadilan tanpa pandang bulu. Prinsip ini menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan secara lurus dan seimbang, tanpa memandang status sosial. Semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum adat.

Menggali Filsafat Hukum Minangkabau: Harmoni di Atas Empat Lapisan Adat

Hukum adat Minangkabau, yang dikenal sebagai Hukum Nan Ampek, bukanlah satu kesatuan tunggal, melainkan sebuah hierarki berlapis yang mencerminkan kedalaman filosofisnya.

  1. Adat Nan Sabana Adat (Adat yang Sebenarnya Adat): Ini adalah lapisan terdalam, fondasi yang tak tergantikan. Adat ini berlandaskan pada hukum alam (sunnatullah) dan ajaran agama. Pepatah "Alam takambang jadi guru" menggambarkan bagaimana nenek moyang Minangkabau menginterpretasikan hukum alam sebagai panduan hidup. Filosofi ini diperkuat dengan prinsip "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah," yang menegaskan bahwa adat bersandar pada syariat Islam, dan syariat bersandar pada Al-Qur'an.
  2. Adat Nan Diadatkan (Adat yang Diadatkan): Lapisan ini adalah hasil kesepakatan para leluhur, seperti Datuak Katumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Aturan-aturan ini bersifat abadi dan tak dapat diubah, berfungsi sebagai pedoman dalam musyawarah, kehidupan bermasyarakat, dan kepemimpinan.
  3. Adat Nan Teradat (Adat yang Menjadi Tradisi): Ini adalah kebiasaan yang dipraktikkan turun-temurun dan diterima secara luas oleh masyarakat. Contohnya, mengenakan pakaian hitam saat duka. Aturan ini bersifat lokal dan bisa berbeda antarnagari, sesuai pepatah "Lain lubuak lain ikannyo, lain nagari lain adatnyo."
  4. Adat Istiadat: Lapisan ini merupakan tradisi yang lahir dari kebiasaan sehari-hari dan tidak bertentangan dengan tiga lapisan adat di atasnya. Adat ini bersifat lentur dan dapat berubah sesuai kebutuhan masyarakat. Contohnya, ritual menyambut tamu atau pidato adat.

Dua lapisan teratas, Adat Nan Sabana Adat dan Adat Nan Diadatkan, dikenal sebagai "Adat Nan Babuhua Mati", artinya tidak bisa diubah. Sebaliknya, Adat Nan Teradat dan Adat Istiadat adalah "Adat Nan Babuhua Santak," yang dapat diubah melalui musyawarah.

Mengurai Kompleksitas: Warisan Matrilineal dan Fikih

Salah satu aspek paling unik dari adat Minangkabau adalah sistem matrilineal, di mana garis keturunan dan warisan diturunkan melalui jalur ibu. 

Kepemilikan harta pusaka tinggi—tanah dan rumah adat—berada di tangan kaum perempuan. Harta ini adalah milik bersama yang tak boleh diperjualbelikan atau digadaikan, sesuai pepatah "tajua indak dimakan bali, tasandi indak dimakan gadai."

Namun, adat Minangkabau juga menyelaraskan sistem ini dengan hukum Islam. Dalam pembagian waris, ada pembedaan antara harta pusaka dan harta pencarian. Harta pusaka tinggi diatur oleh hukum adat, sementara harta pencarian (harta yang didapat oleh suami-istri) diwariskan berdasarkan hukum faraidh (hukum waris Islam).

Penerapan adat dan syariat ini disatukan dalam konsep "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah". Sistem ini adalah contoh luar biasa dari pluralisme hukum yang harmonis, di mana tradisi lokal tidak luntur oleh agama, melainkan diperkaya dan disempurnakan. 

Ini adalah warisan kebijaksanaan nenek moyang yang berhasil menciptakan tatanan masyarakat yang stabil, berkeadilan, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur.

Penulis: M. Yanis Saputra
Editor: Tim MariNews