Cancel Culture dan Ancaman Senyap Terhadap Kemerdekaan Hakim

Ruang siber telah membuka medan baru bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat, menyampaikan kritik, hingga menuntut pertanggungjawaban
Ilustrasi Cancel Culture. Foto : Pexels.com
Ilustrasi Cancel Culture. Foto : Pexels.com

Dunia berubah lebih cepat dari yang kita kira. Teknologi mendorong kita untuk mendobrak batas-batas konvensional, meninggalkan ruang fisik dan memasuki ruang siber. Sebuah ekosistem digital tanpa sekat, jarak dan waktu, dimana segala sesuai dapat terjadi seketika, secara real time. 

Ruang siber telah membuka medan baru bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat, menyampaikan kritik, hingga menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan yang dinilai melanggar norma dan aturan. 

Hal tersebut tentu baik sebagai bentuk checks and balances. Namun, adakalanya suara-suara itu justru membentuk labelisasi atau justifikasi. Tujuannya hanya satu, yakni membentuk opini publik dengan dalih bentuk partisipasi aktif dari masyarakat dalam iklim demokratis. Fenomena ini disebut sebagai cancel culture.

Menelisik kamus Merriam-Webster, secara arti cancel culture adalah tendensi untuk menarik massa melakukan suatu penolakan sebagai bagian dari mengekspresikan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial. 

Sementara Cambridge Dictionary mendefinisikan cancel culture sebagai sikap atau aksi seseorang atau kelompok, terutama dalam media sosial, menolak atau berhenti untuk mendukung dan mengidolakan seseorang akibat perkataan atau perbuatannya yang tidak sesuai atau menyinggung.

Bagai dua mata pisau, satu sisi fenomena ini dapat berperan sebagai kontrol sosial non-formal yang mendorong transparansi dan akuntabilitas. Namun. di sisi lain, jika tak terkendali, fenomena ini dapat menjelma menjadi bentuk tekanan publik yang destruktif, apalagi jika menyerang aspek yang seharusnya tidak ada ruang untuk intervensi, wajib independen yakni ruang kemerdekaan hakim.

Kemerdekaan hakim merupakan pilar pokok bagi sistem peradilan yang adil. Hakim dituntut untuk memutuskan perkara dalam keadaan merdeka tanpa intervensi dari pihak manapun. 

Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. 

Artinya, kemerdekaan itu mencakup kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun, termasuk tekanan publik. 

Namun dalam praktiknya, tekanan publik yang lahir dari cancel culture dapat menciptakan suasana psikologis yang sangat mempengaruhi kebebasan hakim dalam mempertimbangkan dan menjatuhkan putusan. 

Angel Huang, perwakilan dari Judicial Commission of New South Wales dalam acara rangkaian lawatan Komisi Yudisial ke Judicial Commission of New South Wales di Sydney, Australia pada Senin, 14 Oktober 2024, pernah menyatakan terkait kewenangan peningkatan kapasitas hakim yang mana Judicial Commission of New South Wales memberikan perhatian terhadap kondisi psikologis dari hakim dalam menjalankan tugasnya. 

"Kami memiliki program pendidikan reguler terkait dengan kesehatan mental pada hakim. Level stres bagi seorang hakim di sini cukup tinggi. Setiap menyidangkan perkara mereka sangat stres, sehingga penting untuk memberikan dukungan kepada hakim,” jelas Angela Huang.  

Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari seluruh pemangku kebijakan. Karena bagaimanapun, ketika hakim merasa berada dalam sorotan publik yang tajam, dengan opini-opini yang sudah terbentuk di media sosial, jika tak kuasa menahan tekanan publik, secara psikologis kesehatan mentalnya akan goyah, hakim akan dihadapkan pada dilema: apakah akan tetap memegang hukum secara teguh, atau menyesuaikan putusan dengan keinginan publik agar tidak dicap sebagai hakim yang “tidak berpihak kepada suara masyarakat luas”?. 

Menurut Penulis, cancel culture tidak hanya mengganggu kebebasan hakim dalam memutus perkara, tetapi juga dapat menimbulkan ancaman senyap yang memiliki efek jangka panjang yang jauh lebih mengkhawatirkan. 

Bagaimana tidak, ketika hakim merasa tertekan akan serangan publik dan timbul kekhawatiran terhadap putusan yang dianggap tidak populis, objektivitasnya berpotensi goyah. 

Hakim tidak lagi tegak lurus berdasarkan hukum, melainkan menjatuhkan putusan demi menjaga citra dan memenuhi kepuasan publik semata. Dampaknya, dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menimbulkan sikap kehati-hatian yang berlebih di tubuh peradilan.

Akibatnya, penegakan hukum cenderung akan bergerak dan berada di sekitar zona aman dan kehilangan supremasinya.

Oleh karena itu, hakim sebagai core dalam penegakan hukum di peradilan harus benar-benar dijaga dari segala bentuk intervensi. Bagaimana caranya?. Menurut penulis ada dua faktor yang berperan, yaitu individu hakim itu sendiri dan dukungan dari lingkungan sekitarnya.  

Pertama, secara Individu seorang hakim harus tetap berdiri teguh pada sumpah jabatannya dalam menjalankan mandat sebagai penjaga keadilan. Senantiasa menjaga nilai-nilai integritas, baik di dalam maupun di luar ruang sidang, serta menghindari segala bentuk pelayanan yang sifatnya transaksional yang dapat menimbulkan praktik “balas budi” yang berpotensi mencederai keadilan. 

Selain itu, hakim juga harus bisa membatasi eksposur terhadap opini publik dan media sosial, terutama ketika tengah menangani kasus yang menjadi perhatian publik. 

Terlalu banyak membaca komentar atau berita yang penuh dengan opini-opini yang sifatnya destruktif, subjektif dan emosional, bisa menggangu objektivitas seorang hakim dalam memutus. 

Kedua, dukungan dari lingkungan internal hakim. Dukungan ini menjadi tameng penting untuk mengatasi tekanan dari cancel culture. 

Seorang hakim tak perlu mengarungi laut dan menghadapi badai seorang diri. Tetapi seorang hakim bisa berlayar secara aman dengan dukungan penuh dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, relasi kolegial antarhakim, keluarga atau bahkan mendapatkan fasilitas pendampingan psikolog profesional, sehingga dapat menata kembali perspektif secara jernih dan objektif. 

Sebagai penutup, Penulis menyakini bahwa partisipasi publik dalam mengawal proses hukum merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Namun demikian, ketika partisipasi itu menjelma menjadi tekanan yang berlebih, maka batas antara kontrol sosial dan intervensi menjadi bias.

Jika dibiarkan tanpa kendali, fenomena ini dapat menjadi ancaman senyap laten yang dapat merusak sendi-sendi kemerdekaan hakim. Padahal sejatinya, tujuan hukum hanya dapat lahir dari ruang sidang yang merdeka. 

Hakim harus diberi ruang aman untuk berpikir jernih tanpa tekanan akibat kebisingan ruang siber, karena jika cancel culture dibiarkan menjadi penentu dalam penegakan hukum, maka kita semua akan hidup dalam sistem hukum yang tunduk pada tekanan opini publik, bukan pada supremasi hukum. 

Dan jika hakim tak lagi merdeka, maka keadilan pun akan kehilangan maknanya.