Latar Belakang
Indonesia menghadapi krisis hidrometeorologis dan ekologis yang semakin serius, sebagaimana terlihat dari banjir bandang besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025.
Peristiwa itu, menewaskan lebih dari 800 orang serta menyebabkan ratusan lainnya hilang (Reuters, 2025a).
Peristiwa ini menunjukkan, kerentanan bencana di Indonesia tidak hanya dipicu oleh cuaca ekstrem, tetapi merupakan konsekuensi dari akumulasi kerusakan ekologis jangka panjang.
Analisis (BNPB, 2025) dan temuan pakar lingkungan UGM mengungkapkan, degradasi hulu DAS, deforestasi, dan erosi tanah menjadi faktor penentu meningkatnya intensitas dan kecepatan banjir bandang (Hatma, 2025).
Berbagai kajian menunjukkan, konversi hutan untuk tambang, perkebunan, dan konsesi industri telah melemahkan daya dukung ekosistem dan membuat wilayah hilir rentan terhadap bencana (Zahra, 2025).
Laporan Reuters (2025b) bahkan menegaskan, banyak wilayah terdampak berada di sekitar kawasan dengan aktivitas ekstraktif dan perizinan bermasalah, sehingga banjir bandang tidak dapat dipahami sebagai fenomena alamiah semata, melainkan sebagai hasil kerusakan ekologis yang bersifat struktural.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, pendekatan Green Victimology relevan digunakan untuk membaca banjir bandang sebagai bentuk viktimisasi ekologis.
Peacock pakar Victimology menekankan, korban kerusakan lingkungan tidak hanya manusia, tetapi juga sungai, hutan, tanah, dan makhluk hidup lainnya yang dirugikan oleh struktur ekonomi-politik yang menormalisasi eksploitasi alam.
Perspektif ini menjelaskan, bencana muncul dari kapitalisme ekstraktif, warisan kolonial dalam tata kelola sumber daya alam, serta marginalisasi pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat.
Kebijakan lingkungan Indonesia masih didominasi paradigma kolonial yang memandang alam sebagai komoditas, tercermin dari sistem HGU, pola konsesi, dan lemahnya implementasi prinsip FPIC (Zahra, 2025).
Akibatnya, ekosistem kehilangan kemampuan alaminya menyerap air dan menjaga stabilitas hidrologis, sehingga banjir bandang menjadi konsekuensi logis dari kerusakan tersebut.
Peacock (2025), juga mengkritik pendekatan hukum lingkungan yang cenderung antroposentris dan retributif, dan mendorong penerapan prinsip restorative justice untuk memulihkan relasi manusia dengan alam.
Banjir bandang pada akhir 2025 ini memperlihatkan, bencana menciptakan korban berlapis baik manusia, ekosistem, komunitas adat, hingga generasi mendatang, selaras dengan konsep multiple layers of victimization dalam Green Victimology (Peacock, 2025).
Selain itu, (Peacock, 2025) menyoroti adanya epistemic privilege, yaitu dominasi sains Barat yang mengesampingkan pengetahuan ekologis masyarakat adat, padahal sistem pengelolaan lanskap adat terbukti efektif menjaga keseimbangan ekosistem.
Oleh karenanya, bencana pada akhir 2025 ini menegaskan pentingnya pergeseran paradigma dari mitigasi teknokratis menuju reformasi kebijakan lingkungan berbasis Green Victimology.
Pendekatan ini memposisikan alam sebagai korban yang harus dipulihkan, memperkuat peran masyarakat adat, dan menekankan pemulihan fungsi ekologis sebagai inti mitigasi bencana.
Dengan memahami banjir bandang sebagai hasil viktimisasi ekologis struktural, Indonesia dapat merumuskan kebijakan mitigasi yang lebih adil, berkelanjutan, dan efektif.
Konsep Green Victimology Menjelaskan Banjir Bandang sebagai Bentuk Viktimisasi Ekologis di Indonesia
Konsep Green Victimology menolak anggapan, bencana lingkungan merupakan peristiwa alamiah yang netral.
Sebaliknya, pendekatan ini memandang, kerusakan lingkungan dan bencana yang mengikutinya adalah hasil dari relasi sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang menempatkan alam dalam posisi rentan (Peacock, 2025).
Sebagaimana hal tersebut banjir bandang tidak hanya dilihat sebagai dampak curah hujan ekstrem, tetapi sebagai buah dari struktur ketidakadilan ekologis dan eksploitasi jangka panjang.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ekosistem sebagai “korban” (non-human victims)
Konsep ekosistem sebagai korban merupakan pondasi utama dalam Green Victimology karena perspektif ini memperluas definisi “korban” melampaui manusia dan memasukkan entitas non-manusia seperti hutan, sungai, tanah, dan seluruh spesies yang hidup di dalamnya sebagai pihak yang dapat mengalami kerugian dan kerusakan akibat aktivitas manusia (Peacock, 2025).
Jika melihat fakta di Indonesia, banjir bandang seperti yang terjadi di Sumatra pada akhir 2025 ini tidak dapat dipahami semata sebagai fenomena alam, sebab wilayah terdampak merupakan daerah yang hulu DAS-nya telah mengalami degradasi berat berupa deforestasi masif, hilangnya tutupan vegetasi, pertambangan terbuka, fragmentasi habitat, serta perubahan bentang alam yang menghilangkan fungsi ekologis kawasan.
Ketika tutupan hutan hilang, kemampuan ekologis untuk menahan dan menyerap air, memecah aliran permukaan, serta mengatur keseimbangan hidrologis menurun drastis.
Dengan demikian, sebelum manusia menjadi korban banjir bandang, ekosistem sebenarnya telah lebih dahulu mengalami kerusakan struktural yang membuatnya rentan dan tidak mampu menjalankan fungsi ekologis alaminya.
Hal ini menegaskan pandangan (Peacock, 2025), ecological victimization merupakan proses viktimisasi yang terjadi jauh sebelum bencana melanda manusia, karena alam menjadi korban awal dari eksploitasi, kebijakan ekstraktif, dan praktik pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan.
b. Bencana sebagai produk kapitalisme ekstraktif dan kebijakan yang tidak ekologis
Konsep bencana sebagai produk kapitalisme ekstraktif dan kebijakan yang tidak ekologis menegaskan, kerusakan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi-politik yang menempatkan alam sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas.
Peacock (2025) menekankan, dalam struktur kolonialisme dan kapitalisme modern, alam direduksi menjadi objek yang dapat diambil, diperdagangkan, dan dimodifikasi tanpa mempertimbangkan kapasitas regeneratif maupun keseimbangan ekosistemnya.
Kondisi ini sangat relevan dengan konteks Indonesia, di mana banjir bandang bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan “hasil akhir” dari serangkaian kebijakan dan praktik ekstraktif seperti pemberian izin tambang di hulu DAS, konsesi HPH/HTI, ekspansi perkebunan sawit yang masif, lemahnya penegakan hukum lingkungan, serta tata ruang yang disusun berdasarkan logika investasi alih-alih daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Akumulasi kerusakan ini membuat DAS kehilangan kemampuan ekologisnya dan menciptakan kondisi yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologis. Peacock (2025) menyebut situasi ini sebagai structural violence against nature, yaitu bentuk kekerasan sistemik terhadap alam yang dibentuk oleh regulasi formal, kebijakan pembangunan, dan praktik ekonomi sehari-hari yang terus menerus merusak ekosistem.
Dengan demikian, viktimisasi ekologis yang memicu banjir bandang bersifat struktural, terencana, dan berlangsung lama, bukan insidental.
c. Multiple layers of victimization (korban berlapis)
Konsep multiple layers of victimization dalam Green Victimology menjelaskan bahwa kerusakan ekologis tidak hanya menghasilkan satu tipe korban, tetapi menciptakan lapisan-lapisan viktimisasi yang saling terkait dan terbentuk secara bertahap (Peacock, 2025).
Pada lapisan pertama terdapat korban manusia, yakni masyarakat yang terdampak langsung oleh banjir bandang melalui kehilangan rumah, nyawa, mata pencaharian, dan ruang hidup.
Ironisnya, kelompok ini sering berasal dari komunitas yang tidak memiliki kekuatan politik untuk menolak izin tambang, deforestasi, atau kebijakan tata ruang yang merusak kawasan hulu DAS.
Lapisan kedua adalah korban ekologis, yaitu sungai, tanah, hulu DAS, pohon, dan biodiversitas yang mengalami degradasi jauh sebelum bencana terjadi.
Ekosistem ini telah lebih dulu menjadi sasaran kerusakan struktural akibat aktivitas ekstraktif sehingga kehilangan kemampuan alaminya untuk menahan banjir.
Lapisan ketiga mencakup korban struktural, yaitu komunitas adat dan lokal yang selama ini bergantung pada hutan dan ekosistem sebagai sumber identitas budaya, ekonomi, dan spiritual. Mereka kehilangan kontrol atas wilayahnya akibat perizinan ekstraktif, sehingga terpinggirkan secara sosial dan ekologis.
Lapisan keempat adalah korban generasi mendatang, yang akan mewarisi DAS yang rusak, tanah tererosi, kesehatan ekologis yang menurun, serta risiko bencana yang semakin tinggi.
Dengan demikian, banjir bandang bukan sekadar bencana lingkungan yang terjadi secara mendadak, tetapi merupakan akumulasi viktimisasi ekologis yang berlangsung lama dan berlapis, mencerminkan kerusakan struktural yang telah terjadi sepanjang waktu (Peacock, 2025).
d. Kerusakan lingkungan sebagai kejahatan tanpa pelaku (denied or invisible victims)
Konsep kerusakan lingkungan sebagai kejahatan tanpa pelaku (denied or invisible victims) menjadi salah satu kritik paling tajam dalam Green Victimology, karena perspektif ini mengungkap bagaimana sistem hukum dan kebijakan negara sering kali gagal mengakui kerusakan ekologis sebagai bentuk viktimisasi yang sesungguhnya.
Peacock (2025) menyoroti, banyak korban ekologis tidak terlihat (invisible victims) karena negara tidak mengkategorikan kerusakan lingkungan sebagai tindakan viktimisasi yang memerlukan pertanggungjawaban.
Banjir bandang di Indonesia, hal ini tampak jelas ketika pelaku perusakan hutan tidak dituntut secara memadai, kerusakan ekologis tidak dihitung sebagai kerugian hukum, dan alam tidak pernah diakui sebagai “pihak yang dirugikan” yang berhak atas pemulihan.
Absennya pengakuan ini membuat penyebab struktural bencana tetap tidak tersentuh: izin tambang terus diberikan, deforestasi tetap berjalan, dan perusakan hulu DAS dianggap sebagai bagian normal dari aktivitas ekonomi.
Akibatnya, korban manusia terus bertambah seiring meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana, sementara kerusakan ekologis berulang tanpa mekanisme pemulihan yang sistemik.
Green Victimology memberikan kritik mendasar terhadap cara negara menormalkan kekerasan terhadap alam melalui hukum, kebijakan, dan praktik administrasi yang tidak mengakui bahwa kerusakan lingkungan adalah bentuk kejahatan yang menghasilkan korban nyata baik manusia maupun non-manusia (Peacock, 2025).
Kesimpulan
Banjir bandang besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 menunjukkan, bencana hidrometeorologis di Indonesia bukanlah fenomena alam semata, melainkan akibat dari akumulasi kerusakan ekologis yang bersifat struktural.
Degradasi hulu DAS, deforestasi, praktik ekstraktif, serta tata kelola sumber daya alam yang berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek telah melemahkan fungsi ekologis kawasan dan menciptakan kondisi yang sangat rentan terhadap bencana.
Green Victimology memberikan kerangka teoritis yang kuat untuk memahami, alam seperti hutan, sungai, tanah, dan seluruh ekosistem adalah korban pertama dari eksploitasi yang berlangsung lama sebelum manusia merasakan dampaknya.
Pendekatan Green Victimology menegaskan, banjir bandang 2025 merupakan bentuk viktimisasi ekologis yang dipicu oleh kapitalisme ekstraktif, warisan kebijakan kolonial, serta lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Kerusakan ini menciptakan multiple layers of victimization, mulai dari korban manusia, korban ekologis, komunitas adat yang kehilangan ruang hidup, hingga generasi mendatang yang harus menanggung warisan kerusakan lanskap.
Selain itu, banyak kerusakan lingkungan dikategorikan sebagai kejahatan tanpa pelaku karena negara tidak mengakui ekosistem sebagai subjek yang dirugikan, sehingga penyebab struktural bencana tetap tidak tersentuh.
Sehingga, pemahaman terhadap banjir bandang melalui perspektif Green Victimology menuntut perubahan paradigma kebijakan lingkungan di Indonesia.
Mitigasi tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan teknokratis, tetapi harus menempatkan pemulihan ekologis sebagai prioritas, mengakui alam sebagai korban yang berhak dipulihkan, serta memperkuat peran komunitas adat dalam pengelolaan lanskap.
Tanpa transformasi mendasar ini, bencana ekologis akan terus berulang sebagai konsekuensi logis dari ketidakadilan struktural terhadap alam.
Sumber
BNPB. (2025). Laporan penanganan bencana hidrometeorologis Sumatra 2025. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia.
Hatma, H. (2025). Kerusakan ekosistem hulu DAS sebagai pemicu banjir bandang Sumatra. Universitas Gadjah Mada.
Peacock, R. (2025). Green victimology and restorative justice as an emancipatory framework. Revista de Victimología, 20, 9–24.
Reuters. (2025a, December 4). Indonesia pledges action on companies causing catastrophic Sumatra floods. Reuters.
Reuters. (2025b, December 5). Indonesian military steps up relief efforts for flood-hit Sumatra; death toll above 860. Reuters.
Zahra, R. S. (2025). Deforestasi sebagai pemicu banjir di Sumatera Utara: Analisis hubungan kausal dan tanggung jawab hukum pemerintah. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.





