Urgensi Hifz al-Bi’ah: Rekonstruksi Maqashid Syariah dalam Menjawab Bencana Ekologis

Maqashid syariah dirumuskan dalam al-dharuriyyat al-khamsah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ilustrasi hukum lingkungan dalam perspektif syariah. Foto : Ilustrasi oleh AI
Ilustrasi hukum lingkungan dalam perspektif syariah. Foto : Ilustrasi oleh AI

Bencana alam yang melanda beberapa wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan fenomena biasa, melainkan alarm krisis ekologis yang bersumber pada faktor manusia, seperti alih fungsi hutan, pembabatan liar dan pembangunan eksploitatif. 

Ironisnya, diskursus fikih sering mengabaikan dimensi lingkungan, karena pemahaman antroposentris yang sempit. 

Tulisan ini, berargumen hifz al-bi’ah (pelestarian lingkungan) harus didudukkan sebagai pilar mendasar dalam maqashid syariah, setara dengan lima tujuan pokok lainnya, karena pengabaiannya terbukti secara langsung mengancam keselamatan manusia.

Secara klasik, sebagaimana pendapat Asy-Syatibi maqashid syariah dirumuskan dalam al-dharuriyyat al-khamsah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 

Kerangka ini menjadi fondasi hukum Islam, namun tidak menyebut secara eksplisit perlindungan lingkungan (hifz al-bi’ah). 

Ketiadaan ini, menciptakan celah teoretis yang mengabaikan hubungan integral antara ekosistem yang sehat dan tercapainya semua tujuan syariat tersebut.

Para ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qarḍāwī melakukan rekonstruksi pada kerangka tersebut, Ia menegaskan bahwa kelestarian lingkungan adalah jalan utama untuk mencapai al-kulliyyat al-khamsah. 

Sementara KH. Ali Yafie melakukan terobosan lebih radikal dengan memperluasnya menjadi al-dharuriyyat al-sittah (enam kebutuhan dasar), menambahkan hifz al-bi’ah sebagai pilar keenam yang setara. Rekonstruksi ini, berlandaskan pada doktrin Al-Qur’an tentang khilafah dan larangan berbuat kerusakan (fasād) di bumi.

Bencana yang terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu belakangan ini menjadi salah satu bukti empiris yang tragis dari teori ini. 

Pengabaian hifz al-bi’ah melalui deforestasi dan tata ruang eksploitatif telah secara langsung meruntuhkan maqashid syariah, yakni mengancam jiwa (hifz al-nafs), menghancurkan harta (hifz al-mal), serta mengganggu keturunan dan akal (hifz al-nasl wa al-‘aql). 

Peristiwa ini, membuktikan bahwa kerusakan lingkungan bukan isu sampingan, melainkan ancaman multidimensi yang membahayakan integritas seluruh bangunan syariat.

Bencana ini, cermin kegagalan etika yang berakar pada pandangan antroposentris. Sebagaimana pendapat dari Prof. Quraish Shihab dengan mengutip QS. Ar-Rahman ayat 6-9 bahwa perlunya keseimbangan antara manusia dan makhluk hidup lainnya (pohon dan tumbuhan). 

Keseimbangan tersebut, telah ditentukan diperingatkan oleh Allah SWT agar jangan melampaui batas dari timbangan keseimbangan tersebut.

Artinya secara ontologis, bencana ini telah menandai diskoneksi dalam relasi triadik Tuhan-manusia-alam, di mana manusia lalai sebagai khalifah. 

Secara epistemologis, situasi ini mendesak rekonstruksi ushul fikih dengan menaikkan status hifz al-bi’ah menjadi kebutuhan primer (dharuriyyah). 

Secara aksiologis, eksploitasi lingkungan yang merusak adalah tindakan haram li ghairih, karena langsung meruntuhkan maqashid.

Dalam konteks Indonesia, respons terhadap urgensi ini telah diwujudkan oleh otoritas keagamaan. Nahdlatul Ulama (NU) mengembangkan Fikih Ekologi Berbasis Komunitas melalui aksi konservasi dan advokasi di tingkat akar rumput.

Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil jalur Fikih Ekologi Formal dengan menerbitkan fatwa-fatwa lingkungan, seperti tentang pelestarian satwa langka dan pengelolaan sampah. 

Fatwa ini berfungsi sebagai terobosan ijtihadi dan legitimasi keagamaan untuk aksi kolektif.

Seringkali, urgensi hifz al-bi’ah terabaikan karena dampak kerusakan lingkungan bersifat kumulatif dan tidak langsung terasa. 

Hal ini menciptakan paradigma kelalaian, di mana pelestarian lingkungan dianggap urusan sekunder, bukan kebutuhan primer yang menyangga kehidupan. Bencana adalah bukti bahwa paradigma ini keliru secara teologis dan berbahaya secara eksistensial.

Mengatasi paradigma kelalaian memerlukan penegasan kolektif dari seluruh pemangku mandat: 

  1. Otoritas keagamaan harus secara sistematis menegaskan hifz al-bi’ah sebagai dharuriyyah dalam khutbah dan fatwa; 
  2. Pemerintah dan legislator harus menjadikannya lensa utama dalam kebijakan tata ruang dan penegakan hukum lingkungan secara transparan ; 
  3. Institusi pendidikan perlu mengintegrasikannya dalam kurikulum dan praktik kampus;
  4. Masyarakat sipil harus menguatkan peran sebagai watchdog dan penggerak aksi lingkungan.

Bencana ekologis di Sumatera adalah bukti final bahwa hifz al-bi’ah adalah prasyarat non-negosiasi bagi terwujudnya maqashid syariah. Melindungi lingkungan sama dengan melindungi diri sendiri. 

Maka, konsep ini harus turun dari wacana menjadi aksi terstruktur melalui sinergi penegasan semua pihak. Hanya dengan cara ini, fikih lingkungan dapat menjadi tameng nyata yang menyelamatkan kehidupan dari ancaman bencana yang berulang.

Penulis: Rusdi Rizki Lubis
Editor: Tim MariNews