Ketika Masa Kini Menindas Masa Depan: Krisis Iklim, Tirani Temporal, dan Banjir Sumatera

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kemampuan manusia merusak jauh melebihi kemampuan moralnya untuk mengendalikan diri (Jonas, 1984).
Ilustrasi krisis iklim. Foto : Freepik
Ilustrasi krisis iklim. Foto : Freepik

Krisis Iklim sebagai Masalah Moral Antargenerasi

Krisis iklim sering diperlakukan sebagai persoalan teknis, sekadar urusan mitigasi emisi, manajemen banjir, atau perbaikan tata ruang. 

Pendekatan seperti ini cenderung memisahkan perubahan iklim dari akar persoalan moral yang sesungguhnya. 

Dalam perspektif filsafat moral kontemporer, krisis iklim menyingkapkan cacat etis dalam struktur pengambilan keputusan manusia modern, kita gagal mempertanggungjawabkan dampak tindakan kita pada mereka yang tidak hadir untuk memberikan persetujuan. 

Di sinilah Stephen Gardiner memaknai krisis iklim sebagai sebuah perfect moral storm, badai etis yang tercipta ketika kelemahan moral manusia bertemu dengan kompleksitas ekologis dan kelembagaan global (Gardiner, 2011).

Gardiner menunjukkan bahwa generasi kini cenderung memprioritaskan kepentingannya sendiri, padahal dampak kebijakan modern berlangsung jauh melampaui rentang hidup pembuat keputusan. 

Pilihan energi, tata ruang, eksploitasi hutan, dan pola ekonomi fosil memberikan keuntungan langsung pada generasi sekarang, tetapi meninggalkan beban ekologis yang tidak proporsional bagi generasi mendatang. 

Pola ini bukan sekadar kesalahan kalkulasi tapi juga bentuk kegagalan etis. Kita menciptakan kondisi di mana generasi masa depan mewarisi dunia yang lebih rentan, lebih panas, dan lebih tidak stabil, tanpa pernah memiliki kesempatan untuk menolak keputusan tersebut.

Hans Jonas menyebut fenomena ini sebagai pergeseran radikal dalam etika modern: untuk pertama kalinya dalam sejarah, kemampuan manusia merusak jauh melebihi kemampuan moralnya untuk mengendalikan diri (Jonas, 1984). 

Jika dahulu etika hanya mengatur hubungan antarmanusia dalam waktu yang relatif dekat, kini etika dituntut mengatur tindakan yang dampaknya menjangkau ratusan tahun ke depan. 

Kewajiban moral bukan lagi sekadar menghindari kesalahan terhadap sesama yang hidup saat ini, melainkan menjamin bahwa tindakan kita tidak menghalangi kemungkinan kehidupan yang layak bagi mereka yang belum lahir.

Dalam kerangka ini, krisis iklim bukan hanya gejala dari kegagalan pasar atau kelemahan regulasi, tetapi indikasi bahwa masyarakat modern hidup tanpa kesadaran temporal yang memadai. 

Kita terbiasa menunda tindakan, berharap teknologi masa depan akan memperbaiki masalah yang kita ciptakan, atau menganggap ekosistem memiliki daya pulih yang tak terbatas. 

Inilah titik di mana persoalan iklim menjadi persoalan moral antargenerasi yang menuntut kita membangun empati lintas waktu, sebuah kapasitas yang sampai sekarang belum sepenuhnya berkembang dalam tata kelola modern.

Tirani Masa Kini dan Etika Tanggung Jawab

Dari seluruh lapisan badai moral Gardiner, the tyranny of the contemporary adalah gagasan yang paling kuat untuk membaca kondisi politik-ekologis Indonesia. 

Tirani ini merujuk pada kecenderungan generasi sekarang menggunakan seluruh kekuasaan politik dan ekonominya untuk menentukan arah dunia, tanpa mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang (Gardiner 2011). 

Generasi masa kini bertindak sebagai pemegang otoritas mutlak atas masa depan, sementara generasi mendatang hanyalah penerima pasif dari kondisi yang mereka tidak pilih.

Tirani temporal bekerja bukan melalui kekerasan langsung, tetapi melalui struktur keputusan yang tampak rasional. 

Misalnya, keputusan pemerintah untuk melonggarkan izin pembukaan hutan dianggap sebagai strategi pertumbuhan ekonomi, padahal keputusan itu menghancurkan kapasitas ekologis yang diperlukan untuk keberlanjutan jangka panjang. 

Ketika pemerintah mengabaikan kajian lingkungan, atau ketika perusahaan memaksimalkan eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan daya pulih alam, mereka sebenarnya sedang mempraktikkan bentuk penindasan antargenerasi: memindahkan biaya ekologis yang tidak bisa ditolak oleh pihak yang menanggungnya.

Perspektif etika politik memperkuat analisis ini. John Rawls menyatakan bahwa keadilan antargenerasi mensyaratkan setiap generasi menjaga kondisi dasar masyarakat agar tetap layak diwariskan (Rawls 1971).
 
Dalam situasi krisis iklim, prinsip ini menjadi ujian moral yang sangat konkret: apakah generasi kini menjaga kesetimbangan ekologis, atau justru mengurasnya sampai tidak dapat lagi menopang kehidupan di masa depan? 

Bila sebuah kelompok memanfaatkan sumber daya secara berlebihan tanpa mempertimbangkan batas ekologis, maka mereka sedang melanggar prinsip keadilan yang paling mendasar.

Kelemahan politik jangka pendek semakin memperparah tirani ini. 

Struktur demokrasi elektoral mendorong pemimpin untuk mengambil keputusan yang memberikan manfaat cepat, karena keberlanjutannya diukur dari periode kekuasaan lima tahunan. 

Sebaliknya, krisis iklim bergerak dalam rentang puluhan hingga ratusan tahun. Ketidaksinkronan ini menciptakan ruang di mana kepentingan ekologis jangka panjang secara sistematis dikorbankan. 

Tirani temporal lalu menemukan bentuknya, masa kini menjadi diktator yang memerintah tanpa akuntabilitas terhadap masa depan.

Hans Jonas mengingatkan bahwa dalam era teknologi dan eksploitasi besar-besaran, satu-satunya prinsip moral yang memadai adalah prinsip tanggung jawab: bertindak sedemikian rupa sehingga konsekuensinya memungkinkan keberlanjutan kehidupan manusia di bumi (Jonas 1984). 

Tirani masa kini melanggar prinsip ini karena ia menghilangkan ruang bagi masa depan untuk berkembang secara bebas.

Banjir Sumatera sebagai Gejala Politik dari Tirani Temporal

Banjir besar yang melanda Sumatera beberapa waktu terakhir memberikan ilustrasi konkret tentang bagaimana tirani temporal bekerja dalam konteks Indonesia. 

Banjir tersebut bukan semata-mata hasil curah hujan ekstrem, tetapi akumulasi dari ekspansi lahan, konversi hutan, kerusakan daerah aliran sungai, dan tata ruang yang tidak berbasis ekologi. 

Penelitian mengenai deforestasi di Indonesia menunjukkan bahwa perizinan yang longgar, pembukaan kebun skala besar, dan lemahnya pengawasan lingkungan menjadi pendorong utama meningkatnya risiko hidrometeorologi (Tacconi 2018). 

Dengan kata lain, bencana tersebut adalah akibat politis dari serangkaian keputusan yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek.

Menyebut banjir sebagai “bencana alam” menyembunyikan fakta, kerusakan yang terjadi bersifat antropogenik buatan manusia. 

Istilah tersebut menghapus jejak politik dari peristiwa ekologis, seakan alam bertindak sendiri tanpa keterlibatan manusia. 

Padahal banjir Sumatera adalah hasil dari keputusan yang diambil oleh generasi kini, keputusan yang membentuk kondisi ekologis yang harus ditanggung oleh generasi mendatang. 

Ketika negara membuka hutan tanpa perhitungan ekosistem, negara sedang menarik sumber daya masa depan untuk kepentingan hari ini.

Dalam perspektif perfect moral storm, banjir ini memperlihatkan bagaimana tiga badai etis bekerja secara simultan. 

Badai global hadir dalam bentuk perubahan iklim yang memperparah curah hujan ekstrem (IPCC 2023). 

Badai antargenerasi muncul ketika masyarakat lokal dan generasi mendatang menanggung kerusakan yang mereka tidak menyebabkan. 

Badai teoretis terlihat dari ketidakmampuan hukum dan kebijakan untuk mengenali, apalagi mengoreksi, sumber struktural kerusakan tersebut. 

Keputusan yang menghasilkan deforestasi mungkin sah secara hukum, tetapi mereka gagal secara moral karena mengabaikan hak generasi masa depan atas lingkungan yang layak.

Jika demikian, banjir Sumatera bukan hanya indikasi kegagalan tata kelola lingkungan, tetapi juga kegagalan etika publik. 

Kita melihat bagaimana tirani temporal menegaskan dirinya melalui legalitas administratif. Generasi kini mengambil manfaat dari ekspansi lahan dan industri, sementara generasi mendatang kehilangan hutan, kehilangan tanah subur, dan kehilangan stabilitas ekologis. 

Ketika air meluap dan menenggelamkan permukiman, yang sesungguhnya kita saksikan adalah kemunculan dari konsekuensi moral yang selama ini ditunda.

Banjir Sumatera mengingatkan bahwa krisis ekologis tidak dapat dipahami secara terpisah dari persoalan keadilan antargenerasi. 

Jika masyarakat modern ingin keluar dari tirani temporal, maka etika politik harus diperluas untuk memasukkan hak-hak generasi mendatang sebagai bagian dari pertimbangan moral dan kebijakan. 

Kebijakan publik harus bergerak dari rasionalitas jangka pendek menuju rasionalitas ekologis yang berpijak pada keberlanjutan.

Pada akhirnya, pertanyaan paling filosofis sekaligus paling politis yang perlu kita ajukan adalah ini: apakah kita bersedia berhenti menjadi tiran bagi masa depan? 

Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan apakah kita mampu menyelamatkan dunia yang akan diwarisi oleh mereka yang belum lahir.

Referensi

Gardiner, Stephen M. 2011. A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate Change. Oxford University Press.
Jonas, Hans. 1984. The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. University of Chicago Press.
Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. Harvard University Press.
Tacconi, Luca. 2018. “Deforestation in Indonesia: Drivers, Impacts, and Policy Responses.” International Forestry Review.
IPCC. 2023. Sixth Assessment Report (AR6).