Penyelidikan Ilmiah oleh Hakim dalam Perkara Lingkungan Hidup

Agar hakim mampu menggali alat bukti ilmiah di persidangan dan menjadikannya fakta hukum, ada beberapa prinsip yang harus dipegang oleh hakim.
Ilustrasi hukum lingkungan. Foto perwadi.or.id/
Ilustrasi hukum lingkungan. Foto perwadi.or.id/

Di dalam perkara lingkungan hidup pembuktian terhadap suatu perkara tidak seperti di perkara lain. 

Pembuktian terhadap perkara lingkungan hidup sarat dengan aspek-aspek ilmiah yang membutuhkan pengetahuan khusus dan ketajaman dalam membuat suatu kausalitas antara tragedi yang terjadi dengan alat bukti yang dihadirkan di persidangan. 

Oleh sebab itu, di dalam perkara lingkungan hidup, alat bukti ilmiah mempunyai posisi yang strategis di dalam pembuktian. 

Namun, alat bukti ilmiah (scientific evidence) tidak akan ada gunanya apabila hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak mampu melakukan penyelidikan ilmiah (scientific inquiry) dalam menggali alat bukti yang disajikan dan mengonstruksikannya menjadi fakta hukum di persidangan. 

Agar hakim mampu menggali alat bukti ilmiah di persidangan dan menjadikannya fakta hukum, ada beberapa prinsip yang harus dipegang oleh hakim. 

Pertama, objektivitas. Dalam hal ini, hasil penelitian yang digunakan di dalam persidangan tidak boleh dipengaruhi oleh opini pribadi. 

Kedua, transparansi. Metode dan data dalam melakukan penelitian harus dijelaskan secara terbuka agar bisa diperiksa oleh pihak lain. 

Ketiga, replikabilitas. Suatu penelitian harus bisa diuji ulang oleh ilmuwan lain dengan hasil serupa. 

Keempat, peer-review. Suatu penelitian harus bisa dinilai oleh ahli lain untuk menjamin kualitas dan validitas. 

Kelima, independen. Dalam hal ini, dalam melakukan penelitian seorang peneliti harus bebas dari kepentingan atau bias pihak tertentu. 

Keenam, presisi. Dalam melakukan penelitian, pengukuran dan metode yang digunakan oleh peneliti harus teliti agar hasil dapat diandalkan. 

Ketujuh, falsifiabilitas. Dalam hal ini, sebuah teori atau pandangan ilmiah harus bisa diuji bahkan bila perlu dibantah dengan bukti baru.

Prinsip-prinsip ini secara tidak langsung membantu hakim dalam melakukan penyelidikan ilmiah terhadap alat bukti ilmiah yang dihadirkan ke persidangan. 

Selain prinsip-prinsip tersebut, hakim dapat juga menggunakan Kriteria Daubert untuk memberikan bobot kepada alat bukti ilmiah yang diajukan ke persidangan. 

Kriteria Daubert ini digunakan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1993 di dalam kasus Daubert vs Merrel Dow Pharmaceuticals, Inc. 

Di dalam perkara tersebut Mahkamah Agung Federal menggunakan suatu kriteria untuk menguji relevansi dan keandalan suatu bukti ilmiah yang kemudian dikenal dengan Kriteria Daubert. 

Terdapat 4 kriteria yang diuji di dalam Kriteria Daubert, yaitu :

  1. Kemampuan Uji Coba (Falsifiability): Kriteria ini bertujuan apakah suatu klaim ilmiah bisa diuji benar atau salahnya. Apabila tidak bisa diuji, maka klaim tersebut bukan klaim ilmiah namun pendapat pribadi atau dogma;
  2. Tingkat kesalahan (Potential Error Rate): Kriteria ini bertujuan untuk menguji apakah metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ilmiah memiliki tingkat kesalahan yang diketahui;
  3. Peer review & Publikasi: Kriteria ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu teori atau metode ilmiah yang digunakan sudah melalui tinjauan sejawat dan publikasi;
  4. Standar Pelaksanaan Teknis: Kriteria ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat standar yang terus dikelola untuk mengontrol pelaksanaan teknis;
  5. Diakui secara umum (General Acceptance): Kriteria ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu teori atau metode ilmiah yang digunakan sudah diakui oleh komunitas ilmiah;

Di dalam persidangan, pada umumnya alat bukti ilmiah kemudian akan dijelaskan oleh ahli yang berkaitan dengan alat bukti tersebut. 

Untuk menguji keterangan ahli tersebut, hakim dapat menggunakan Uji Preston (Preston Test) yang dikemukakan oleh Brian J. Preston, terdapat empat bentuk uji yang bisa digunakan untuk menguji keterangan ahli, yaitu :

  1. Uji relevansi : Dalam hal ini, hakim perlu melihat apakah suatu keterangan ahli membantu hakim dalam memahami fakta atau menyelesaikan suatu isu di dalam suatu perkara yang nantinya dapat membantu hakim dalam memutus perkara.
  2. Uji pengetahuan khusus: Dalam hal ini, hakim perlu memastikan bahwa pendapat ahli didasarkan pada pengetahuan ilmiah yang diakui bukan didasarkan pada opini pribadi.
  3. Uji kualifikasi: Dalam hal ini, hakim perlu memastikan bahwa ahli mempunyai kualifikasi yang sesuai untuk memberikan pendapat di dalam bidangnya.
  4. Uji dasar: Dalam hal ini, hakim perlu menguji apakah opini ahli benar-benar didasarkan pada pengetahuan khusus dan metode yang jelas.

Pengujian Ahli di dalam Perma Nomor 1 tahun 2023

Secara normatif, Mahkamah Agung sudah mengatur bagaimana seharusnya hakim memeriksa alat bukti ilmiah atau ahli yang diajukan di persidangan.

Terkait dengan bukti ilmiah di dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2023, hakim harus mempertimbangkan ketetapan metode dan validitas prosedur pengambilan sampel dengan memperhatikan akreditasi laboratorium serta pendapat ahli dari penuntut umum atau terdakwa. 

Kemudian, terkait dengan keterangan ahli, hakim di dalam persidangan harus menguji:

  • Kesesuaian dengan ilmu pengetahuan dan diterima oleh komunitas ilmu pengetahuan terkait;
  • Adanya publikasi yang telah digunakan sebagai rujukan di komunitas ilmu pengetahuan;
  • Telah terdapat peninjauan oleh rekan sejawat (peer review) mengenai teori dan metode ilmiah yang digunakan;

Latar belakang ahli dalam bidang keilmuan tertentu juga perlu diuji oleh hakim untuk menentukan relevansi dan keandalan (reliance) ahli terkait bidang keilmuan tertentu yang dikaitkan dengan perkara yang diperiksa di persidangan.

PERMA Nomor 1 Tahun 2023 memberikan arahan kepada hakim dalam menilai keahlian seseorang harus memperhatikan:

  • Disiplin ilmu ahli yang dibuktikan melalui pendidikan formal, ijazah akademis (minimal strata 2), sertifikat mengikuti pelatihan, pendidikan khusus, dan/atau pengalaman;
  • Karya ilmiah atau penelitian relevan; dan/atau
  • Keaktifan mengikuti seminar atau lokakarya yang tercantum dalam daftar riwayat hidup;   

Kesimpulan:

Di dalam perkara lingkungan hidup, hakim dituntut untuk melakukan penyelidikan ilmiah dalam menguji alat bukti ilmiah yang diajukan di persidangan. 

Penyelidikan ilmiah bisa dilakukan oleh hakim dengan baik apabila hakim berpegang teguh pada prinsip-prinsip dalam melakukan penyelidikan ilmiah. 

Selain itu, hakim juga dapat menggunakan Kriteria Daubert dan Preston Test dalam menguji alat bukti ilmiah dan keterangan ahli. 

Dengan menggunakan instrumen ini hakim diharapkan mampu membangun fakta hukum yang komprehensif dan holistik dalam perkara lingkungan hidup. 

Selain itu, PERMA Nomor 1 Tahun 2023 juga bisa dijadikan acuan normatif oleh hakim dalam melakukan penyelidikan ilmiah.

Referensi:

Peraturan:
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup
Jurnal:
[1] W. Kisworo, “Aplikasi Prinsip-Prinsip Terkait Bukti Ilmiah (scientific evidence) di Amerika Serikat dalam pembuktian Perkara Perdata Lingkungan di Indonesia,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, vol. 5, no. 1, pp. 24–59, Oct. 2018. doi:10.38011/jhli.v5i1.74 
[2] R. G. Sembiring, Peran Hakim dalam Mewujudkan Keadilan Lingkungan: Studi Putusan Penting (Landmark Decision) Perkara Lingkungan Hidup. (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2024).