Ekosida: Gelombang Baru Gerakan Perlindungan Lingkungan Hidup.

ekosida (ecocide) adalah kejahatan serius yang didefinisikan secara luas mencakup tindakan, kelalaian, atau pengetahuan tentang tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang ekstrem
Banjir di wilayah Sumatera Bagian Utara. dok. BNPB
Banjir di wilayah Sumatera Bagian Utara. dok. BNPB

Sambil menunggu investigasi atau audit resmi pemerintah, tidak bisa dipungkiri banjir ekstrem di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat turut membuka tabir penggundulan hutan (deforestasi) yang selama bertahun-tahun berlangsung. 

Anomali cuaca akibat perubahan iklim membongkar fungsi lahan yang rusak dan berubah. Akhirnya alam meronta dengan mengirim banjir atau longsor karena sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan dengan intensitas tinggi. Kita berduka, tetapi siapa bertanggung-jawab?

Tulisan ini, tidak bermaksud untuk menyalahkan siapa pun, tetapi berusaha mengajak agar kejadian luar biasa seperti bencana hidrologi di Sumatera yang berkelindan dengan fakta kerusakan lingkungan yang parah, wajib dijadikan momentum untuk mendorong upaya perbaikan hukum lingkungan ke depan. 

Lewat kejadian seekstrem itu, kita tidak berbenah dan berubah, maka bencana yang lebih dasyhat dan mematikan, akan sering terjadi. Namun, para ahli telah memperingatkan fenomena banjir dan longsor itu bukanlah murni bencana alam, melainkan simptom dari krisis ekologis yang diakibatkan oleh campur tangan manusia.
 
Di tengah ancaman ini, data global menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia termasuk yang terparah di dunia. 

Data yang dirilis oleh World Population Review selama dua tahun terakhir, konsisten menunjukkan Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Brasil dalam daftar negara dengan tingkat deforestasi terparah secara global. 

Menghadapi bahaya deforestasi dimaksud, atau jenis ancaman kerusakan lingkungan lain, muncul gagasan penerapan undang-undang ekosida di Brasil (Busse & Rogers, 2023: 16), sebagai alternatif hukum untuk memperkuat perlindungan hutan hujan Amazon dan ekosistem penting lainnya. 

Ekosida Sebagai Kejahatan Lingkungan Yang Luar Biasa.

Kerusakan lingkungan, akan mempengaruhi kelangsungan peradaban manusia. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), seluruh dunia saat ini sedang menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crises) yang saling terkait, yang saat ini dihadapi oleh seluruh umat manusia, yaitu perubahan iklim, hilangnya alam (keanekaragaman hayati), serta polusi dan limbah. 

Ketiga krisis ini, mengancam keberlangsungan hidup di bumi dan membutuhkan tindakan kolektif yang terpadu. Kerusakan lingkungan yang ekstrem tidak kalah seriusnya dengan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan genosida atau agresi. 

Jika dalam hukum humaniter dikenal istilah genosida (genocide) yakni kejahatan internasional yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, baik sebagian atau seluruhnya, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. 

Maka, ekosida (ecocide) adalah kejahatan serius yang didefinisikan secara luas mencakup tindakan, kelalaian, atau pengetahuan tentang tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang ekstrem atau tidak dapat dipulihkan. 

Sejumlah pihak mendorong agar defenisinya diperluas, meliputi tindakan terlarang yang mencakup siapa pun yang terbukti membantu, bersekongkol, menasihati, atau melakukan pelanggaran yang dapat ditindak, selain siapa pun yang tidak bertindak untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Gerakan dan kampanye ekosida (ecoside) didasarkan pada keyakinan bahwa kerangka hukum baru diperlukan, karena hukum yang ada telah gagal menghentikan percepatan keadaan darurat lingkungan seperti perubahan iklim dan kepunahan massal spesies. 

Artinya, seiring semakin nyata dampak kerusakan lingkungan, orang-orang menyadari hukum kita perlu lebih tegas untuk melindungi lingkungan, dengan langkah tersebut eksistensi kehidupan umat manusia masih akan terus berlangsung ke depan. 

Bumi yang kita huni sedang tidak baik-baik saja, sedang berada di ambang batas daya dukung. Tidak ada ruang lagi untuk mengulang kesalahan sejarah.

Akar sejarah istilah ekosida berasal dari dekade tahun 70-an, dikaitkan dengan keprihatinan global mengenai meluasnya penggunaan bahan kimia dan perusakan hutan serta lahan pertanian lokal oleh Amerika Serikat selama Perang Vietnam. 

Kemudian pada 1990, Vietnam menjadi negara pertama yang secara hukum melarang ekosida, dan mendefinisikan ekosida sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yakni dengan sengaja merusak lingkungan. 

Sebelumnya, beberapa negara yang terdampak radiasi nuklir dari bencana Chernobyl 1986, antara lain Ukraina, Belarusia, dan Rusia, menerapkan undang-undang nasional mereka sendiri yang menentang ekosida. 

Kampanye global ekosida sejauh ini berhasil mendorong hukum nasional sejumlah negara untuk mengadopsinya, antara lain Ekuador, Cile, Prancis, dan Belgia. 

Baru-baru ini, Parlemen Uni Eropa mengesahkan Amandemen Direktif Kejahatan Lingkungan (EU Directive on Environmental Crime) yang memperkenalkan delik baru yang memenuhi syarat sebagai kejahatan yang sebanding dengan ekosida. 

Konsekuensinya, semua negara anggota Uni Eropa (UE) diwajibkan untuk memasukkan hukum ekosida ke dalam undang-undang domestik mereka pada 2026. 

Di panggung global, Republik Vanuatu memimpin diskusi dan diplomasi, mengumpulkan koalisi negara-negara pendukung untuk mendorong ekosida diakui sebagai satu dari empat jenis pelanggaran hak asasi manusia berat yang menjadi yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).  

Bilamana diadopsi negara-negara yang setuju dengan amandemen Statuta Roma, ekosida akan menjadi hukum pidana internasional pertama yang melindungi lingkungan secara langsung. 

Hal ini memungkinkan jaksa untuk menindak mereka yang dengan sengaja menyebabkan kerusakan yang sangat serius terhadap hutan, tanah, atau sungai, selama melakukannya secara melawan hukum atau dengan sengaja.

Ekosida ditujukan untuk kasus-kasus ekstrem di bidang lingkungan hidup, maka pendekatan hukum pidana sebagai ultimum remedium yakni upaya terakhir, setelah upaya penyelesaian lain melalui pendekatan hukum perdata, atau hukum administrasi, sudah tidak memadai atau gagal.

Hukum pidana memiliki kekuatan untuk membantu mengubah sikap dan pola pikir dalam masyarakat. Jika diadopsi, apalagi di tingkat supranasional oleh Mahkamah Pidana Internasional, hukum ekosida dapat mengirimkan pesan yang kuat ke seluruh penjuru dunia, yakni anggota masyarakat sipil, akademisi, pembuat kebijakan, eksekutif perusahaan, pegawai negeri, ahli hukum, hakim, jaksa, dll. 

Terlepas negara penyumbang emisi terbesar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, termasuk Indonesia, belum meratifikasi statuta Roma, namun apabila berhasil pelembagaan hukum ekosida di tingkat global, maka cara pandang komunitas internasional akan berubah secara radikal dalam memandang interelasi mereka dengan lingkungan dan kebutuhan untuk melestarikan alam. 

Jalan Terjal Penormaan Ekosida

Pertobatan ekologis yang kerap diserukan di berbagai kesempatan dan forum sangatlah menuntut perubahan paradigma, dari melihat alam sebagai objek eksploitasi menjadi subjek setara dalam komunitas kehidupan. 

Artinya, alam tidak sekadar menjadi objek, tetapi subyek yang sederajat dengan manusia. Manusia tidak diposisikan melulu sebagai penguasa alam, tetapi justru bagian yang tidak terpisahkan dari alam. 

Alam tidak lagi semata objek eksploitasi melainkan menjadi subjek setara dalam komunitas kehidupan. Dengan cara pandang seperti inilah keadilan ekologis akan dapat diwujudkan secara konsisten dan substantif. 

Tetapi keadilan ekologis, bukan sekadar isu lingkungan, melainkan perjuangan sosial, politik, dan ekonomi. Paradigma antroposentrisme dan globalisasi yang dikuasai korporasi, yang kerap merusak lingkungan, adalah alasan utama mengapa diskursus ekosida masih sangat terbatas (M. Ridha Saleh, 2021). 

Ekosida adalah bentuk kejahatan kapitalisme yang berorientasi pada eksploitasi tanah dan kekayaan alam, dilandasi filosofi bahwa kekayaan alam hendaknya digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan hidup manusia, ini identik dengan polarisasi kubu welfarism dengan kubu preservationism.

Gerakan dan kampanye ekosida menyebabkan gesekan dengan apa yang dianggap sebagai hak-hak fundamental dalam sistem hukum Barat, seperti kebebasan individu dan hak milik pribadi. 

Jika alam memiliki hak, maka manusia memiliki tanggung jawab baru dan harus membatasi aktivitas tertentu yang secara tidak adil merusak hak tersebut. 

Pertukaran antara nilai dan tanggung jawab ini bukanlah hal baru di Amerika, baik dalam bidang perlindungan lingkungan maupun bidang lainnya, tetapi seperti yang ditunjukkan oleh pandemi Covid-19, beberapa warga Amerika menolak penerapan kewajiban baru, meskipun kewajiban tersebut demi kebaikan bersama dan kesejahteraan generasi mendatang. 

Di sisi lain, cakupan tanggung jawab yang luas yang diusulkan oleh diskursus ekosida, yang kemungkinan akan berdampak besar bagi pemerintah, bisnis, dan individu, menambah kompleksitas baru pada uji tuntas dan manajemen rantai pasok, tata kelola bisnis, dan metode produksi. 

Resistensi dan oposisi dari negara-negara dengan emisi karbon tinggi dan ikatan erat dengan pembangunan industri, akan selalu menjadi faktor bagi penyebaran ide-ide ekosida ini.

Namun, terlepas sejumlah negara telah mengadopsi ekosida dalam hukum nasional masing-masing, namun dalam konteks hukum nasional kita, ekosida merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). 

Diskursus hukum lingkungan nasional harus terus memperkaya konsepsi ekosida, dalam rangka mencegah dan merehabilitasi kerusakan lingkungan yang berulang dan sekaligus menjerat pelaku kerusakan lingkungan serius.

Sebagai suatu konsep hukum yang masih baru, ruang lingkup dan defenisi operasional dari ekosida harus dibangun untuk mengindari tumpang tindih dengan cabang hukum lain, namun sekaligus harus dipahami irisannya dengan cabang hukum lain dalam skema integrasi hukum yang padu dan utuh. 

Kelak, seandainya hukum nasional mengakui ekosida sebagai suatu kejahatan lingkungan yang sui generis, maka kita akan memiliki instrumen hukum yang tegas untuk menjerat pelaku kejahatan lingkungan yang serius.

Jalan menuju legalisasi ekosida nasional masih panjang, bisa saja membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuahkan hasil. Tetapi, harapannya perdebatan penerapan ekosida dalam sistem hukum kita jangan sampai menunggu deforestasi hutan di Indonesia mencapai titik paling kritis, baru muncul kesadaran pentingnya ekosida, karena ketika sampai pada titik kritis, hutan hujan Indonesia sudah akan kehilangan kemampuannya untuk pulih dari periode kekeringan yang disebabkan oleh penebangan hutan, yang menyebabkan kerusakan parah pada bioma, dan akhirnya hutan mulai mati.

Penulis: Enrico Simanjuntak
Editor: Tim MariNews