Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Pembaruan Hukum Acara Pidana Indonesia: Antara Kebutuhan Pengawasan dan Problematika Praperadilam

Hakim Pemeriksa Pendahuluan hadir untuk memastikan bahwa proses hukum yang dijalankan sejak awal tidak melanggar hak-hak dasar
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com

Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah seorang hakim yang diberi kewenangan khusus untuk melakukan pengawasan awal (judicial control) terhadap tindakan atau keputusan aparat penegak hukum, terutama pada tahap penyidikan dan penuntutan, sebelum perkara masuk ke tahap pemeriksaan pokok di pengadilan. 

Dengan kata lain, Hakim Pemeriksa Pendahuluan hadir untuk memastikan bahwa proses hukum yang dijalankan sejak awal tidak melanggar hak-hak dasar tersangka, sehingga penegakan hukum dilaksanakan dalam koridor hukum dan keadilan. 

Hakim Pemeriksa Pendahuluan bukanlah hakim yang mengadili pokok perkara (apakah terdakwa bersalah atau tidak). Perannya lebih sebagai penjaga gerbang keadilan (gate keeper of justice). Ia memastikan bahwa sebelum perkara benar-benar diperiksa di persidangan semua proses awal sudah sesuai dengan prinsip hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. 

Adapun tugas dan fungsi Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah Menilai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, memeriksa keabsahan penyitaan dan penggeledahan dan memberikan izin atau menolak permintaan aparat penegak hukum jika berpotensi melanggar hak individu.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini belum memaksimalkan mekanisme pengawasan lintas instansi sebagai checks and balances dalam pelaksanaan upaya paksa, hal tersebut yang menjadi salah satu faktor adanya kegagapan dalam penegakan hukum pidana yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prinsip Habeas Corpus, lembaga praperadilan sebagai mekanisme kontrol terhadap upaya paksa yang terdapat dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini masih jauh dari harapan masyarakat. 

Lembaga praperadilan yang sebelumnya digadang-gadang sebagai senjata pamungkas melawan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan upaya paksa belum bisa menyelesaikan berbagai macam problematika yang ada.

Hal ini disebabkan karena masih terdapat banyak kekurangan dalam proses praperadilan. Misalnya, proses praperadilan yang hanya dibatasi oleh waktu selama 7 (tujuh) hari. Keterbatasan waktu tersebut tidak cukup untuk membuktikan apakah prinsip Due Process Of Law benar-benar ditegakkan.

Selanjutnya, “Hakim praperadilan masih bersifat pasif post factum” (Lovina & Dirga, 2022, hal. 17), artinya Hakim praperadilan tidak bisa secara aktif betindak untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. 

Hal ini dikarenakan pemeriksaan praperadilan menunggu adanya permohonan dari pihak yang berkepentingan. Di sisi lain praperadilan dianggap hanya bisa dijangkau oleh pihak-pihak yang mempunyai finansial dan akses hukum yang baik. 

Hal inilah yang mendorong Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai balance prinsip penegakan hukum pidana sangat diperlukan.

Kontroversi terhadap konsep pengawasan melalui mekanisme Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), menurut beberapa pandangan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan hanya akan memperlamban jalannya proses penegakan hukum dan akan menghilangkan independensi lembaga.

Oleh karenanya langkah yang efektif dalam menyikapi problematika tersebut adalah dengan penguatan sistem, yakni dengan menambah kriteria-kriteria dan syarat yang lebih ketat agar upaya paksa benar-benar dilakukan dengan obyektif.

Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta dalam tulisannya pada Tribunnews Rabu 7 Mei 2025 menyatakan bahwa “Hakim Komisaris ini berfungsi membantu agar proses peradilan dapat dilakukan secara efektif dan efisien untuk mencapai keadilan.” 

Terminologi Hakim komisaris yang sebelumnya ada dalam draft RKUHAP 2007 hingga 2011 diubah menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP 2012 (Lovina & Dirga, op.cit, Hlm 21). 

Namun sayangnya dalam draft RKUHAP versi 18 Februari 2025 konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan dihilangkan. D

alam draft RKUHAP tersebut lebih fokus untuk mempertahankan lembaga praperadilan dengan menambah beberapa ketentuan yang tidak ada dalam hukum acara pidana sebelumnya. Misalnya, dalam waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak permintaan diterima Hakim yang ditunjuk harus menetapkan hari sidang dan selama pemeriksaan praperadilan belum selesai,maka pemeriksaan pokok perkara tidak dapat diselenggarakan (Vide Pasal 154 ayat (1) huruf a dan huruf d, Draft RKUHAP versi 18 Februari 2025). 

Mesikpun demikian, lembaga praperadilan tersebut masih bersifat post factum yang dirasa belum cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan hukum yang diharapkan masyarakat.

Revolusi hukum acara pidana tidak boleh menyimpang dari filosofi hukum acara pidana itu sendiri, yakni untuk membatasi kewenangan aparat penegak hukum (Exces De Pouvoir) yang notabene mempunyai kekuasaan yang begitu besar.

Sehingga, tanpa adanya pengawasan yang serius kekuasaan tersebut cenderung di salahgunakan sebagaimana prinsip “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". 

Penegakan hukum pidana harus memperhatikan aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi yang sudah mengakar dalam budaya bangsa Indonesia (Adhari, Dkk, 2023, hal. 104).

Gagasan pembentukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan langkah penting dalam pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia. 

Selama ini, tahap penyidikan dan penuntutan sering menjadi ruang rawan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, seperti penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas, penahanan sewenang-wenang, atau penggunaan alat bukti yang tidak sah. 

Absennya mekanisme pengawasan yudisial sejak dini membuat warga negara sering berada dalam posisi yang lemah ketika berhadapan dengan kekuasaan negara. 

Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. (Efendi, Dkk, 2023, hal. 79)

Dalam konteks inilah, Hakim Pemeriksa Pendahuluan menjadi relevan dihadirkan, Ia hadir sebagai penjaga awal (gate keeper) yang memastikan bahwa aparat penegak hukum tidak bertindak melampaui kewenangannya. 

Kehadiran Hakim Pemeriksa Pendahuluan bukan semata-mata untuk melemahkan kinerja penyidik atau penuntut, tetapi justru memperkuat legitimasi proses hukum itu sendiri. 

Setiap tindakan paksa yang dilakukan penyidik akan memperoleh “stempel legalitas” dari pengadilan, sehingga tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki legitimasi moral di mata publik. 

Urgensi lain dari keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah untuk menjembatani prinsip due process of law dengan realitas praktik penegakan hukum di Indonesia. 

Selama ini, peradilan kita sering dituduh lebih menekankan pada aspek formalitas undang-undang daripada perlindungan hak asasi. Hakim Pemeriksa Pendahuluan menawarkan keseimbangan baru, yakni hukum tetap ditegakkan, namun dengan tetap memperhatikan martabat manusia. 

Idealnya memang demikian, “Hukum untuk Manusia. Maka apapun yang dilakukan olehnya, hukum tidak boleh memposisikan diri sebagai hukum untuk hukum, yang akan memunculkan paradigma Manusia untuk Hukum” (Raharjo, 2006, hal. 154).

Perangkat hukum hendaknya dapat bersifat aktif dalam menyelesaikan segala problematika hukum. Di sisi lain profesi Hakim itu sendiri telah memiliki pengawas baik secara internal oleh Badan Pengawasan maupun secara eksternal oleh Komisi Yudisial.

Sangat disayangkan apabila momentum pembangunan hukum acara pidana yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hukum dalam melindungi hak-hak warga negara melalui mekanisme kontrol Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini dikesampingkan. 

Dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP, tersangka atau terdakwa tidak perlu mengajukan upaya hukum terhadap upaya paksa, karena dalam hal ini Hakim Pemeriksa Pendahuluan mewakili negara dapat berperan aktif menjamin prinsip Due process of law telah dilaksanakan.

Hal ini dinilai lebih progresif daripada lembaga praperadilan. Maka dengan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak diperlukan lagi adanya lembaga praperadilan. 

Meskipun tidak bisa dipungkiri Konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini nantinya akan menambah tugas Hakim di tengah beban kerja dan keterbatasan jumlah Hakim yang ada saat ini, namun hal tersebut bukanlah suatu kendala yang signifikan apabila sarana dan sumber daya Hakim ke depannya terus ditingkatkan demi terwujudnya penegakan hukum yang diharapkan bersama.

Referensi

  • Adhari, Dkk, A. (2023). Muladi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
  • Efendi, Dkk, R. (2023). Pembaruan Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Deepublish Digital.
  • Lovina & Dirga, S. (2022). Judicial Scrutiny melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP. Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform (ICJR).
  • Raharjo, S. (2006). Hukum Dalam Jagat Ketertiban (Cetakan Ke-1 ed.). Jakarta: Uki Pres.

Website

  • Tribunnews.2025.https://m.tribunnews.com/tribunners/2025/05/07/diskursus-modernisasi-hukum-acara-pidana-isu-krusial-dalam-ruu-kuhap?page=all#goog_rewarded Diakses pada Tanggal 17 Mei 2025 pukul 22.25 Wib.
  • Draft RKUHAP versi 18 Februari 2025, diakes melalui laman https://www.dpr.go.id/kegiatan-dpr/fungsi-dpr/fungsi-legislasi/prolegnas-periodik/detail/632 pada Tanggal 21 Mei 2025 Pukul 17.43 Wib.