Ordonansi Ambtenaar 1910: Diskriminasi Jadi PNS dan Dibentuknya Sekolah PNS Bumiputera

Untuk mempersiapkan calon pegawai bumiputera, pemerintah kolonial mendirikan sekolah khusus bernama Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di berbagai kota di Pulau Jawa dan Sumatera.
Gedung OSVIA (sekolah PNS Bumiputera). Dokumentasi Wikipedia
Gedung OSVIA (sekolah PNS Bumiputera). Dokumentasi Wikipedia

Hak untuk terlibat dalam pemerintahan, baik melalui sumbangsih pemikiran maupun kontribusi nyata, merupakan bagian dari perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28D Ayat 3 UUD NRI 1945.

Kesempatan yang setara bagi setiap warga negara untuk berperan dalam pemerintahan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Salah satunya adalah hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 43 Ayat 1 UU HAM).

Selain hak ikut serta dalam pemilu, Pasal 43 Ayat 3 UU HAM juga menjamin hak warga negara untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Salah satu bentuk jabatan tersebut adalah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), dengan memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.

Bagi ASN, khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah lulus seleksi, diwajibkan mengikuti masa prajabatan. Tahapan ini mencakup proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PNS. Pelaksanaan pendidikan CPNS secara terpadu berada di bawah koordinasi Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan teknisnya diatur dalam Peraturan Kepala LAN (Pasal 34 Ayat 6 dan 7).

Sejarah ASN di Era Kolonial Hindia Belanda

Pada masa kolonial, rekrutmen dan pendidikan aparatur pemerintahan atau ambtenaar juga diatur secara ketat dalam peraturan perundang-undangan. Profesi ini tergolong prestisius, dengan gaji tinggi berkisar antara 100 hingga 150 gulden.

Berdasarkan Ordonansi Ambtenaar 1910, awalnya jabatan pegawai pemerintah hanya diperuntukkan bagi orang Belanda atau keturunan Belanda (Indo). Namun, kebijakan politik etis membuka peluang bagi warga bumiputera untuk menjadi pegawai negeri.

Untuk mempersiapkan calon pegawai bumiputera, pemerintah kolonial mendirikan sekolah khusus bernama Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di berbagai kota di Pulau Jawa dan Sumatera. Bahasa pengantar di OSVIA adalah bahasa Belanda, dengan kurikulum berstandar Eropa, dan lama pendidikan selama 5 tahun.

Salah satu tokoh nasional yang pernah mengenyam pendidikan di OSVIA adalah Ki Hadjar Dewantara. Namanya mencuat setelah menulis artikel berjudul Als ik een Nederlander was (Andai Aku Seorang Belanda) di surat kabar De Express pada 13 Juni 1913, yang mengkritik perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis, sementara masih menjajah Hindia Belanda. Kritik tersebut membuatnya dipecat dari sekolah.

OSVIA: Cikal Bakal IPDN

Kini, OSVIA menjadi cikal bakal Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri. Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa hak untuk terlibat dalam pemerintahan, baik di masa lalu maupun kini, selalu menjadi bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews