Salah satu dilema peradilan modern Indonesia terletak pada benturan antara kewajiban diam dan tuntutan transparansi. Hakim terikat kode etik, guna menjaga jarak dari opini publik, sementara masyarakat demokratis menuntut akuntabilitas dan penjelasan atas putusan yang menyentuh hajat hidup bersama.
Dalam perkara besar, korupsi pejabat, lingkungan hidup, sengketa pilkada, hingga judicial review, jurang ini tampak jelas. Reasoning yang sahih secara yuridis, namun tidak populis sering dipersepsi publik sebagai ganjil atau tidak adil.
Ruang kosong pemahaman segera diisi spekulasi, narasi menyimpang, hingga distorsi media. Ironinya, justru ketika putusan paling berdampak, kebutuhan akan penjelasan semakin besar, tetapi hakim dibatasi untuk bicara.
Kode Etik Hakim: Benteng Kehormatan atau Penghalang Transparansi ?
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, pada Kode Berperilaku Arif dan Bijaksana khususnya poin 3.2. Pemberian Pendapat atau Keterangan kepada Publik, dengan tegas melarang hakim memberikan opini, komentar atau pernyataan kepada media massa mengenai perkara yang sedang atau telah diputus.
Larangan ini bukan tanpa alasan. Tujuan utamanya adalah menjaga independensi peradilan, memelihara martabat hakim, dan mempertahankan wibawa lembaga peradilan. Hakim yang berbicara terlalu bebas kepada publik, berpotensi terpengaruh tekanan politik, menciptakan prejudgment, atau bahkan merusak prinsip keadilan prosedural yang menjadi fondasi rule of law.
Dari perspektif filosofis, diam hakim mencerminkan kebijaksanaan klasik "Let the judgment speaks for itself." Putusan yang baik, seharusnya mampu menjelaskan dirinya sendiri melalui pertimbangan hukum yang lengkap, logis, dan sistematis.
Hakim yang bijak tidak perlu turun ke arena perdebatan publik, karena kekuatan argumentasi hukumnya sudah tertuang dalam dokumen putusan.
Namun, idealisme ini berhadapan dengan realitas kompleks masyarakat modern. Tidak semua warga negara memiliki literasi hukum memadai, guna memahami konstruksi argumentasi yuridis yang sering kali teknis dan berlapis.
Bahasa hukum yang formal, rujukan pada pasal-pasal perundangan, dan logika silogisme hukum bisa menjadi tembok bahasa, yang memisahkan pengadilan dari rakyat yang seharusnya dilayani. (Satjipto Rahardjo, 2006)
Lebih problematis lagi, larangan absolut dalam kode etik menciptakan vakum komunikasi. Ketika media menginterpretasikan putusan secara keliru, saat politisi memanfaatkan putusan untuk kepentingan elektoral, atau masyarakat membangun narasi konspirasi, pengadilan tidak memiliki mekanisme respons yang memadai.
Diam yang seharusnya melambangkan kemuliaan, berubah menjadi diam yang memisahkan institusi peradilan dari masyarakat yang menghidupinya.
Tantangan Era Demokrasi dan Keterbukaan Informasi
Konteks demokratisasi dan revolusi informasi menghadirkan tantangan baru bagi institusi peradilan. Demokrasi deliberatif, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Jürgen Habermas, menghendaki ruang publik yang memungkinkan diskusi rasional dan terbuka tentang isu-isu kepentingan bersama (Jürgen Habermas,1996).
Dalam kerangka ini, putusan pengadilan, terutama yang menarik perhatian publik, bukan hanya urusan internal lembaga peradilan, melainkan bagian dari diskursus demokratis yang perlu dipahami dan diperdebatkan secara rasional.
Era keterbukaan informasi semakin memperkuat tuntutan akuntabilitas. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan transparansi lembaga negara, termasuk lembaga peradilan.
Masyarakat tidak lagi puas dengan sekadar mengetahui hasil putusan, mereka ingin memahami proses, pertimbangan, dan rasionalitas di balik keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Media sosial mempercepat dan memperluas dampak kesalahpahaman. Sebuah putusan kontroversial bisa menjadi viral dalam hitungan jam, disertai interpretasi yang beragam dan tidak jarang misleading.
Fenomena echo chamber dan filter bubble membuat narasi yang salah, bisa menguat dan mengkristal menjadi kebenaran publik yang sulit dikoreksi kemudian.
Beberapa negara demokratis telah mengembangkan mekanisme judicial outreach untuk menjembatani kesenjangan ini. Supreme Court of Canada menerbitkan Case in Brief yang menjelaskan putusan-putusan penting dalam bahasa yang mudah dipahami publik.
Courts and Tribunals Judiciary Inggris memiliki kanal komunikasi resmi yang secara proaktif memberikan ringkasan dan konteks putusan-putusan signifikan. Indonesia, dengan sistem peradilan yang semakin terbuka, masih relatif kaku dalam mengadopsi pendekatan serupa.
Ketergantungan pada komunikasi satu arah dari pengadilan ke publik, melalui siaran pers yang terbatas belum memadai untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat demokratis yang semakin kritis.
Membaca Ulang Kode Etik: Larangan Pribadi, Bukan Larangan Institusional
Membaca kembali kode etik hakim dengan kacamata kontemporer, perlu dibedakan antara larangan pada level personal dan kemungkinan komunikasi pada level institusional.
Kode etik dengan jelas melarang hakim secara pribadi memberikan komentar atau pernyataan kepada media tentang perkara. Namun, larangan ini tidak serta-merta menutup kemungkinan komunikasi kelembagaan yang terstruktur dan terkendali.
Reinterpretasi ini penting untuk mempertahankan esensi kode etik, sambil membuka ruang responsivitas institusional.
Larangannya adalah hakim individual bertindak sebagai "juru bicara putusan", yang bisa menciptakan kesan subjektif atau mempengaruhi persepsi tentang independensi peradilan.
Poin tidak terlarang, adalah lembaga peradilan mengomunikasikan reasoning yang sudah termaktub dalam putusan melalui mekanisme kelembagaan yang objektif dan sistematis.
Pembedaan ini sejalan dengan prinsip judicial restraint, yang tidak menghendaki hakim terjun ke arena politik atau perdebatan publik. Namun tidak melarang institusi peradilan menjalankan fungsi edukasi dan transparansi yang merupakan bagian dari good governance (Aharon Barak,2006).
Hakim tetap menjaga jarak personal dari hiruk-pikuk opini, sementara institusi peradilan memenuhi kewajibannya kepada publik.
Pendekatan ini juga konsisten dengan teori pemisahan peran. Hakim berperan sebagai decision maker yang harus menjaga objektivitas dan independensi. Institusi peradilan, melalui organ komunikasi yang tepat, berperan sebagai pendidik dan komunikator yang membantu publik memahami produk-produk peradilan, tanpa mengganggu fungsi adjudikatif.
Forum Deliberatif Pengadilan: Jalan Tengah
Konsep forum deliberatif pengadilan menawarkan jalan tengah yang mengakomodasi kebutuhan transparansi, tanpa mengorbankan independensi hakim. Forum ini dapat dikonseptualisasikan sebagai program rutin yang dikelola oleh Humas atau juru bicara pengadilan, dengan karakteristik yang jelas berbeda dari komentar personal hakim.
Pertama, forum ini bersifat penjelasan resmi, bukan komentar. Yang dikomunikasikan adalah reasoning yang sudah tertuang dalam putusan, bukan opini tambahan atau interpretasi baru. Tim komunikasi pengadilan bertugas menerjemahkan bahasa hukum ke dalam bahasa publik, tanpa mengubah substansi atau menambahkan elemen yang tidak ada dalam putusan.
Kedua, sifatnya edukatif, bukan argumentatif. Tujuannya adalah membantu publik memahami logika hukum, proses pertimbangan, dan konteks yuridis putusan. Ini berbeda dengan debat atau pembelaan, yang berpotensi menarik pengadilan ke dalam arena politik atau kontroversi publik.
Ketiga, tidak membuka ruang intervensi, melainkan memperkuat legitimasi hukum. Forum ini dirancang untuk meningkatkan pemahaman publik tentang cara kerja sistem peradilan, sehingga memperkuat kepercayaan pada rule of law. Partisipasi publik dibatasi pada pertanyaan klarifikatif, bukan kritik atau tekanan untuk mengubah putusan.
Format forum ini bisa beragam, diskusi publik terbatas dengan akademisi dan praktisi hukum, kanal digital resmi yang menyediakan infografis dan video penjelasan, atau sesi khusus di media massa dengan protokol yang jelas. Yang penting, semua komunikasi ini dilakukan oleh petugas yang ditunjuk khusus, bukan hakim yang memutus perkara.
Forum deliberatif ini sejalan dengan teori demokrasi deliberatif yang menekankan pentingnya ruang publik untuk diskusi rasional tentang keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan bersama.
Namun, karakter khusus lembaga peradilan tetap dihormati melalui pembatasan-pembatasan yang menjaga independensi dan objektivitas.
Penutup: Membuka Wajah Peradilan Tanpa Mengorbankan Wibawa
Ketegangan antara kebutuhan transparansi dan imperatif independensi, tidak harus diselesaikan dengan memilih salah satu. Jalan tengah melalui forum deliberatif pengadilan menawarkan kemungkinan untuk membuka wajah peradilan kepada publik tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental, yang menjaga wibawa dan kehormatan institusi.
Ketika hakim menjaga diamnya, sesuai dengan tuntutan kode etik dan tradisi kemuliaan yudisial, pengadilan sebagai institusi tidak kehilangan suaranya.
Melalui mekanisme komunikasi yang terstruktur dan bertanggung jawab, reasoning hukum dapat disampaikan kepada publik, tanpa mengurangi kehormatan hakim, justru memperkuat kepercayaan masyarakat kepada sistem peradilan.
Pada akhirnya, peradilan yang legitimat, bukan hanya peradilan yang memutus dengan benar, tetapi juga peradilan yang dipahami dan diterima oleh masyarakat yang dilayaninya.
Forum deliberatif pengadilan menjadi jembatan antara keunggulan teknis putusan hukum dan kebutuhan demokratis akan pemahaman, serta partisipasi publik dalam discourse tentang keadilan.
Daftar Bacaan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009.
Satjipto Rahardjo, "Hukum dalam Jagat Ketertiban," (Jakarta: UKI Press, 2006), hal. 156-158, menekankan pentingnya komunikasi hukum yang dapat dipahami masyarakat.
Jürgen Habermas, "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy," (Cambridge: MIT Press, 1996), hal. 296-302.
Supreme Court of Canada, "Case in Brief" tersedia di https://www.scc-csc.ca/case-dossier/info/dock-regi-eng.aspx, diakses berbagai tahun untuk melihat praktik komunikasi putusan kepada publik.
Aharon Barak, "The Judge in a Democracy," (Princeton: Princeton University Press, 2006)