Indonesia kini berada di persimpangan sejarah hukum dengan hadirnya sejumlah regulasi yang mengukuhkan Keadilan Restoratif sebagai salah satu pilar utama penyelesaian perkara tindak pidana.
Berbeda dari pendekatan konvensional yang berfokus pada hukuman dan balas dendam, Keadilan Restoratif menempatkan pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, dan rekonsiliasi sosial sebagai tujuan utama.
Dalam beberapa tahun terakhir, PERJA 15/2020, PERPOL 8/2021, UU 1/2023 (KUHP), PERMA 1/2024, dan terakhir RKUHAP (draft Maret 2025), telah dirancang untuk mengintegrasikan Keadilan Restoratif ke dalam setiap tahap proses hukum, dari penyelidikan hingga persidangan.
Bagaimana sistem ini bekerja, dan apakah ia mampu menjawab kritik atas keadilan yang selama ini terasa kaku dan represif?
Restoratif Justice dalam Filosofi Pemidanaan didalam KUHP Tahun 2023
KUHP Tahun 2023 membawa revolusi filosofis dengan menempatkan keadilan restoratif sebagai bagian dari tujuan pemidanaan.
Pasal 51 KUHP Tahun 2023 menyatakan bahwa hukuman harus "menyelesaikan konflik, memulihkan rasa aman, dan menumbuhkan penyesalan"—bukan sekadar menghukum.
Didalam memeriksa dan memutus suatu perkara, Hakim wajib mempertimbangkan pemaafan korban sebagai alasan meringankan, Pidana penjara sedapat mungkin dihindari jika terdakwa telah membayar ganti rugi, atau kasusnya melibatkan anak dan/atau lansia.
Bahkan terhadap tindak pidana yang diancam dengan ancaman alternatif (denda atau penjara), hakim diminta sedapat mungkin memilih opsi yang lebih ringan dengan berbagai pertimbangan mengenai tujuan pemidanaan yang proporsional diterapkan terhadap Terdakwa.
Hal tersebut merupakan langkah maju untuk mengurangi over-incarceration dan mengalihkan sumber daya penjara bagi pelaku kejahatan non-serius.
Restoratif Justice di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan (PERJA 15/2020 & PERPOL 8/2021)
Kedua peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan strategis kepada penyidik, dan Penuntut Umum untuk menghentikan proses hukum melalui mekanisme keadilan restoratif, dengan beberapa perbedaan di masing-masing tingkatan.
1. PERJA 15/2020:
Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutan apabila tercapai kesepakatan damai antara tersangka dan korban, dan kesepakatan tersebut telah dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 hari, dan didukung oleh respons positif dari masyarakat. dengan kata lain apabila kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari maka perkara dilanjutkan ke pengadilan.
Mekanisme keadilan restorative hanya dapat dilaksanakan terhadap perkara yang diancam pidana denda atau penjara maksimal 5 tahun, nilai barang bukti/kerugian tidak lebih dari 2,5 juta, dan Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Pengecualian: Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden/wapres, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; Tindak pidana yang diancam dengan minimum khusus, narkotika, lingkungan hidup, tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
2. PERPOL 8/2021:
Peraturan tersebut memberikan kewenangan strategis kepada Penyidik untuk dapat menghentikan penyidikan seketika jika ada kesepakatan damai antara Pelaku dan korban.
Pengecualian penerapan restorative justice ditahap penyidikan juga memiliki sedikit perbedaan dengan ketentuan didalam PERJA 15/2020, yaitu: Tidak menimbulkan keresahan dan penolakan masyarakat, Tidak berdampak konflik social, Tidak berpotensi memecah belah bangsa, Tidak bersifat radikalisme dan separatism, Bukan pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan dan Bukan tindak pidana terrorism, keamanan negara, korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Didalam PERPOL 8/2021 masih memungkinkan menerapkan mekanisme keadilan restorative terhadap kejahatan narkotika dan kejahatan asusila.
Peran Hakim dalam Mendorong Rekonsiliasi (PERMA 1/2024)
PERMA 1/2024 menegaskan bahwa Keadilan Restoratif bukan sekadar alat penghentian proses, tetapi bagian dari proses peradilan itu sendiri. Hakim diminta memandu korban dan terdakwa mencapai kesepakatan damai, terutama untuk kasus dengan kerugian ≤Rp2,5 juta atau ancaman hukuman maksimal 5 tahun, tidak ada relasi kuasa antara korban dan pelaku (misal: atasan-bawahan), bukan merupakan pengulangan tindak pidana pidana dalam 3 tahun terakhir, atau perkara kejahatan lalulintas.
Jika kesepakatan tercapai, hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat atau pengawasan, dengan tujuan untuk menghindarkan terdakwa dari penjara sekaligus memastikan tanggung jawabnya terpenuhi.
Restorative justice sebagai Jembatan Penghentian Proses Hukum (RKUHAP (draft Maret 2025):
RKUHAP pada draft naskah Maret 2025 memperlihatkan landasan structural penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia.
Dalam Pasal 25 ayat (2), penghentian penyidikan dapat dilakukan jika tercapai "penyelesaian perkara di luar pengadilan" melalui Keadilan Restoratif, sebuah terobosan yang mengalihkan fokus dari penuntutan ke pemulihan.
Tiga Tahap Kritis Penerapan Keadilan Restoratif didalam draft tersebut berada disetiap tingkatan proses peradilan pidana yaitu:
1. Penyelidikan/Penyidikan: Jika korban dan pelaku mencapai kesepakatan damai, penyidik dapat menghentikan proses berdasarkan surat kesepakatan yang ditandatangani bersama.
Namun, penghentian ini harus diketahui hakim dalam 3 hari untuk memastikan transparansi.
Hal baru yang dapat ditemui didalam draft naskah RKUHAP Maret 2025, adalah bahwa mekanisme Keadilan Restoratif dapat dilakukan bahkan pada tahap penyelidikan. Hal tersebut menampakan kontradiksi antara definisi keadilan restorasi dan definisi penyelidikan yang tersurat didalam satu naskah draft RUU yang sama.
Di dalam RKUHAP tersebut penyelidikan didefinisikan sebagai tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, yang artinya bahkah peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana saja belum dapat dipastikan adanya, kemudian mekanisme keadilan restorative didefinisikan sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, tersangka, keluarga tersangka, terdakwa, keluarga terdakwa, dan/atau pihak lain yang terkait, yang bertujuan mengupayakan pemulihan keadaan semula, yang artinya keadilan restorative diterapkan terhadap suatu peristiwa pidana yang telah diketahui tersangka, dan korbannya.
Berdasar definisi mekanisme keadilan restorative tersebut tentu akan menemui berbagai kendala didalam penerapannya apabila dilakukan pada tahap penyelidikan.
2. Penuntutan: didalam RUU KUHAP, Penuntut Umum (PU) berwenang menghentikan penuntutan jika ada kesepakatan antara tersangka dan korban, tetapi tetap memerlukan penetapan hakim, sebagai legitimasi dan bentuk transparansi.
3. Berbeda dengan pada tahapan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, didalam Persiangan, mekanisme kekadilan restorative tetap bisa diterapkan tetapi tidak menghentikan proses pemeriksaan didalam persidangan—hanya menjadi pertimbangan Hakim didalam menjatuhkan vonis terhadap Terdakwa.
3. Pengecualian: Ketentuan didalam Draft Naskah RKUHAP secara tegas mengecualikan penerapan mekanisme keadilan restoratif untuk tindak pidana berat seperti korupsi, terorisme, narkoba (kecuali pengguna), dan ancaman pidana di atas 5 tahun.
Ini menegaskan bahwa mekanisme keadilan restorative bukan jalan pintas bagi pelaku kejahatan sistemik, melainkan solusi untuk kasus ringan yang berpotensi memicu overkriminalisasi.
Tantangan: Antara Idealis dan Realitas
Meski regulasi mekanisme keadilan Restoratif telah ditentukan didalam beberapa norma di peraturan perundang-undangan, yang tentu telah dikonstruksikan seideal mungkin, terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian, terlebih didalam RKUHP yang diharapkan mampu menjadi peraturan yang mengintegrasikan Lembaga sub system peradilan pidana didalam menerapkan mekanisme keadilan restorative, melalui harmonisasi peraturan perundang-undangan yang saat ini telah ada dan diberlakukan, sebagai berikut:
1. Konsistensi Kriteria: Ketentuan mekanisme keadilan restorative di setiap tingkapan proses peradilan pidana telah menentukan kriteria syaratnya masing-masing, tetapi didalam Draft RKUHAP tidak menyebut kriteria spesifik. hal Ini berpotensi memicu inkonsistensi penanganan kasus.
Terlebih, apabila nanti RKUHP telah ditetapkan dan diberlakukan, akan terdapat benturan penerapan peraturan yang sudah ada dan KUHAP itu sendiri, sehingga menjadi penting ketentuan peralihan didalam KUHAP nantinya membentengi pemberlakuan peraturan-peraturan yang saling terkait.
Hal lain yang dapat ditemui adalah penggunaan nomenklatur “Pelaku” didalam definisi keadilan restorative pada tingkatan penyidikan dan penuntutan (PERPOL 8/2021 dan PERJA 15/2020), yang mustinya menggunakan nomenklatur “tersangka” karena biar bagaimanapun didalam tahapan penyidikan dan penuntutan belum ada pelaku melainkan hanya sebatas orang yang diduga sebagai pelaku.
2. Eksklusi Kasus Sensitif: Dalam kasus dengan relasi kuasa (misal: pelecehan seksual atasan-bawahan), korban mungkin dipaksa berdamai karena tekanan sosial—sesuatu yang diakui PERMA 1/2024 sebagai pengecualian tetapi tidak dikecualikan didalam mekanisme keadilan restorative ditingakatan penyidikan dan penuntutan.
Kemudian tindak pidana yang mengandung sensifitas social, terlebih di era gencarnya negara menggaungkan kesetaraan non diskriminasi antar gender, apakah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerugiannya kecil patut untuk ditutup perkaranya ditingkat penyidikan atau penuntutan ? beberapa ketentuan tersebut diatas belum secara spesifik mengaturnya.
Menuju Sistem Peradilan yang humanis
Kehadiran regulasi yang mengatur mengenai mekanisme restorative justice, serta harapan yang digantungkan di RKUHAP mendatang, menandai transformasi historis dari sistem peradilan pidana yang represif menjadi system yang berorientasi pada pemulihan.
Melalui pendekatan restorasi, Indonesia berupaya menghindarkan ratusan ribu kasus ringan dari proses pengadilan yang panjang, sekaligus memberi korban kesempatan untuk pulih secara utuh—fisik, mental, dan ekonomi.
Pencapaian harapan besar tersebut sangat bergantung keberhasilannya pada kesadaran aparat penegak hukum untuk tidak memaksakan Restoratif Justice secara gegabah (agar lebih menekankan kualitas, bukan sekedar kuantitas), Perlindungan korban dari tekanan eksternal dalam proses perdamaian, dan harmonisasi regulasi agar kriteria penerapan seragam di semua tingkat.
Sebagaimana paradigma yang terkandung didalam PERMA 1/2024, Keadilan Restoratif bukan menghapus pertanggungjawaban pidana, tetapi mengubah makna keadilan dari sekedar "siapa yang salah" menjadi "bagaimana memperbaiki yang rusak".
Hanya jika dijalankan dengan integritas, mekanisme keadilan restoratif bisa menjadi jembatan menuju masyarakat yang lebih adil—di mana hukum tidak lagi ditakuti karena penghukumannya tetapi dipercaya sebagai penyelesaian masalah dengan pendekatan moral dan social justice.