Publik tentu masih ingat nama Alimin Ribut Sujono, hakim yang berani menjatuhkan hukuman mati pada kasus besar Ferdy Sambo dan sejumlah perkara narkotika.
Putusan itu memang mengundang kontroversi, tetapi justru di situlah letak pentingnya: seorang hakim tidak boleh bersembunyi di balik popularitas, ia harus tegak berdiri di atas fakta hukum.
Kita perlu menegaskan sekali lagi, putusan pengadilan tidak pernah lahir dari keramaian jalanan atau riuh rendah media sosial. Putusan lahir dari bukti di persidangan, saksi yang dihadirkan, ahli yang diminta pendapat keahliannya, dokumen yang dianalisis, serta norma hukum yang berlaku. Jika opini publik dijadikan dasar putusan, maka keadilan berubah menjadi panggung popularitas.
Masyarakat tentu boleh berbeda pendapat. Sebagian mungkin menolak hukuman mati, sebagian mungkin mendukung, sebagian mungkin mengkritik hakim, dan sebagian mungkin memuji hakim.
Itu semua adalah opini yang terbentuk dari dinamika kehidupan masyarakat dengan latar belakang yang majemuk. Namun, hakim berbeda: hakim terikat sumpah jabatan, hakim terikat aturan hukum, dan hakim terikat pada asas peradilan.
Di sinilah Pasal 183 KUHAP memberikan pagar yang jelas: hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tanpa sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan yang bersumber dari alat bukti itu.
Pasal 184 KUHAP menegaskan lima jenis alat bukti sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Artinya, keyakinan hakim tidak boleh lahir dari desakan publik, melainkan dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Proses itu pun tidak sekadar menghitung jumlah alat bukti, melainkan juga melalui konstatering, yaitu penentuan fakta yang benar-benar terbukti di persidangan, kemudian ditimbang dengan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Sistem pembuktian kita menganut sistem Negatief Wettelijke, yaitu perpaduan antara aturan hukum dan keyakinan hakim. Dengan kata lain, hakim baru bisa menjatuhkan pidana jika minimum dua alat bukti dan keyakinan hati nuraninya (conviction in time) bertemu dalam kerangka bukti yang sah di persidangan.
Hakim bukan jabatan politik dan bukan selebritas. Hakim tidak menjatuhkan putusan untuk popularitas karena hakim adalah pengawal keadilan, penegak hukum, penjaga konstitusi, benteng terakhir keadilan, penentu kepastian hukum, sekaligus pelindung hak masyarakat.
Keadilan adalah kehendak yang tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia Est Constans Et Perpetua Voluntas Jus Suum Cuique Tribuendi).
Adagium klasik ini menegaskan konsistensi dan imparsialitas hakim. Untuk bisa adil secara konstan, seorang hakim harus mampu mengesampingkan emosi, simpati, bahkan hubungan pribadi. Tidak jarang, hal ini menuntut isolasi, sebuah kesunyian yang harus dipilih demi menjaga murninya pertimbangan hukum.
“Menjadi hakim adalah memilih jalan sunyi” bukan sekadar adagium, melainkan refleksi filosofis. Ia menggambarkan realitas profesi hakim yang menuntut pengorbanan personal demi menjaga kehormatan hukum dan memastikan keadilan.
Hakim memang berjalan di jalan sepi, jauh dari gemerlap panggung opini publik, sebab setiap putusannya tidak boleh tunduk pada tekanan, melainkan hanya pada hukum dan hati nuraninya.
Hakim, termasuk Alimin Ribut, sejatinya mengemban mandat konstitusi: menegakkan hukum secara independen, bebas dari intervensi politik, tekanan lembaga lain, ataupun intimidasi publik. Hanya dengan cara itulah kepastian hukum dan rasa keadilan bisa terjaga.
Keberanian seperti ini justru patut diapresiasi. Karena di tengah derasnya tekanan opini publik, tidak mudah bagi seorang hakim untuk tetap berpijak pada hukum. Keadilan bukanlah hasil voting, melainkan buah dari integritas, aturan, dan keberanian menegakkan hukum.