Konvergensi Hukum Nasional dan Fiqih: Analisis Normatif atas Living Law dalam KUHP 2023

Bahasa sederhananya, living law adalah hukum yang tumbuh dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik

Hukum Dimasyarakat (Living Law) Bernapas Lagi

Sejak KUHP Nasional disahkan tahun 2023, banyak orang mulai berbicara tentang satu pasal yang cukup unik, yakni Pasal 2 tentang living law atau hukum yang hidup di tengah masyarakat.

Pasal ini, seperti ingin mengatakan “wahai saudaraku sebangsa dan setanah air, hukum itu, bukan hanya yang tertulis di buku tebal, tapi juga yang hidup di hati masyarakat.”

Artinya, hukum nasional sekarang mengakui nilai-nilai sosial, adat, bahkan keyakinan moral yang masih dijalankan masyarakat sebagai bagian dari sumber hukum juga.

Jadi, bilamana dikaji, ketentuan ini merupakan langkah maju dan hukum menjadi tidak kaku lagi.

Wujudnya bisa mengikuti perubahan zaman, namun tetap berpijak pada rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

Memahami Living Law

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHAP, mengatur hukum yang hidup dalam Masyarakat dan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui perserikatan bangsa-bangsa.

Pasal 2 KUHP menyebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.”

Bahasa sederhananya, living law adalah hukum yang tumbuh dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Selama ini KUHP kita, merupakan warisan kolonial dan masih berpegang pada asas formal, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya, tidak ada perbuatan bisa dihukum kalau belum ada aturannya lebih dulu.

Asas ini sebenarnya penting sekali, karena menjadi pagar supaya orang tidak bisa dipidana seenaknya tanpa dasar hukum.  

Namun sisi lain, asas ini juga membuat hukum terasa formal, seolah keadilan cuma bisa lahir dari pasal-pasal yang tertulis.

Padahal di tengah masyarakat, ada banyak nilai, adat, dan norma yang juga hidup dan ditaati, di mana terkadang lebih ditaati dari undang-undang. Hal ini, disebut living law atau hukum yang hidup di tengah masyarakat.

Dalam fiqih, adat atau kebiasaan punya tempat penting. Ulama mengatakan, “Adat adalah segala hal yang sudah dikenal manusia, lalu menjadi kebiasaan dalam hidup mereka, baik berupa ucapan maupun perbuatan.”

Maka, bilamana sesuatu sudah dilakukan terus-menerus oleh banyak orang dan diterima secara sosial, itu bisa menjadi dasar hukum juga, sebagaimana disebutkan dalam qaidah fiqh, yang menerangkan “patokan hukum adalah yang banyak dilakukan dan berlaku umum di masyarakat,.”

Hal ini, sejalan dengan konsep living law dalam Pasal 2 KUHP Nasional.

Menurut penulis, makna dari ketentuan Pasal 2 KUHP Nasional, yakni negara mengakui bahwa hukum itu tidak selalu persoalan yang tertulis di undang-undang, melainkan juga norma yang hidup, dijalankan, dan diterima oleh masyarakat luas.

Bilamana ditarik ke logika kaidah fiqih tadi, living law pada dasarnya bentuk modern dari “adat mu‘tamad” atau kebiasaan mayoritas yang diakui, karena membawa kemaslahatan, sehingga hukum yang hidup bukan sekadar tradisi, melainkan cerminan nilai sosial dan moral yang mengatur kehidupan bersama.

Fiqih Lebih Dulu Mengenal Konsep Ini

Bilamana, dilihat dari sisi fiqih, konsep living law bukan hal baru. Dalam hukum Islam, ada dua konsep yang sangat mirip, yaitu urf (kebiasaan masyarakat) dan maslahah mursalah (kemaslahatan umum).

  • ‘Urf (kebiasaan yang dianggap baik): Dalam fiqih, kalau suatu kebiasaan sudah lama dipraktikkan dan tidak bertentangan dengan syariat, maka kebiasaan itu bisa menjadi dasar hukum. Ada kaidah sangat terkenal, yakni al-‘adah muhakkamah atau kebiasaan bisa menjadi hukum. Jadi, bilamana masyarakat mempunyai kebiasaan yang menjaga ketertiban dan kebaikan, maka, bagian dari hukum yang hidup.
  • Maslahah Mursalah (hukum demi kemaslahatan): Fiqih juga mengajarkan, seandainya ada hal baru yang belum diatur dalam nash, tetapi membawa manfaat dan kebaikan bagi masyarakat, maka boleh dijadikan dasar hukum, sehingga living law di KUHP, semangatnya untuk menjaga ketertiban dan kemaslahatan manusia.

Titik Temu Antara KUHP dan Fiqih

Ketentuan Pasal 2 KUHP Nasional, sebenarnya mempertemukan dua dunia, yakni dunia hukum nasional dan dunia fiqih.

Keduanya punya tujuan yang sama, menegakkan keadilan dan menjaga kemaslahatan hidup manusia. Dalam fiqih, ada konsep maqāṣid al-syarī‘ah atau tujuan utama hukum Islam.

Intinya, hukum dibuat supaya lima hal pokok dalam hidup manusia tetap terjaga,yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.  

Sementara itu, hukum nasional juga punya semangat yang mirip berakar dari nilai-nilai Pancasila dan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.

Hukum nasional dan fiqih tidak saling berlawanan. Justru saling melengkapi. Fiqih menekankan agar hukum punya ruh keadilan dan nilai moral, sedangkan KUHP Nasional miliki makna agar hukum tetap hidup dan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat (living law).

Pasal 2 KUHP Nasional yang mengakui hukum yang hidup di masyarakat”, merupakan pengakuan negara terhadap kearifan lokal dan norma agama yang sudah lama jadi panduan hidup rakyat Indonesia.

Dalam istilah fiqih, ini sejalan dengan konsep urf kebiasaan baik, yang diakui selama tidak bertentangan dengan prinsip keadilan.

Jadi sebenarnya, living law dalam KUHP itu bukan hal baru dan diakui dalam hukum Islam.

Bilamana, ditarik lebih dalam, titik temu antara KUHP dan fiqih bukan cuma soal pasal atau istilah, namun tentang ruh dan tujuannya.

Hukum nasional dibentuk untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan fiqih bertujuan memastikan tidak ada kezaliman di muka bumi.

Tantangan di Lapangan: Hakim dan Ruang Tafsir

Tentu, penerapan living law ini tidak gampang, dikarenakan hakim harus paham nilai yang hidup dalam Masyarakat, pada daerah tempat ia bertugas.

Hakim harus hati-hati, memastikan apakah suatu kebiasaan benar-benar hidup dan diterima masyarakat luas, atau hanya pandangan segelintir orang saja.

Dalam fiqih, juga begitu yakni tidak semua kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum. Hanya kebiasaan yang berulang, diterima masyarakat, dan tidak bertentangan dengan syariat yang bisa diakui sebagai ‘urf shahih.

Artinya, hakim wajib mempunyai kepekaan sosial dan kebijaksanaan spiritual. Ia tidak hanya menegakkan pasal, tapi juga menegakkan nurani.

Living Law Sebagai Ijtihad Zaman Modern

Bilamana dalam fiqih ada ijtihad (usaha memahami hukum sesuai konteks zaman), maka living law dalam KUHP Nasional dapat dikatakan sebagai ijtihad negara.

Negara berusaha agar hukum tetap hidup, menyesuaikan dengan budaya dan nilai masyarakat, namun tetap menjaga keadilan dan kepastian hukum. 

Dengan demikian, hukum tidak hanya alat mekanis, namun mengedepankan sisi kemanusiaan dan keadilan. Hal ini, sejalan dengan pesan Imam al-Ghazali, yakni “Tujuan hukum adalah menjaga kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun akhirat.”

Hukum yang Menyentuh Keadilan

Pasal 2 KUHP Nasional, dapat menjadi simbol bahwa hukum di Indonesia sedang bertransformasi dari hukum yang formalistis, menuju hukum yang hidup dan bernurani.

Dalam perspektif fiqih, inilah bentuk keadilan yang sesungguhnya keadilan dan tidak berhenti di teks, tapi mendengar suara masyarakat dan rasa kemanusiaan.

Sumber Referensi

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Sekretariat Negara.
  2. Al-Syathibi, I. (n.d.). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah, Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
  3. Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Kairo: Al-Maktabah al- Tijariyah al-Kubra.
  4. Kaidah Fiqhiyyah: “Al-‘adah muhakkamah,” “Al-‘ibrah lil-ghalib asy-sya’i‘ la lil-qalil an-nadir,” dan “Al-‘adah ma ta‘arafah an-nas wa a‘taduh.”
Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews