Setelah menyusuri jalan perjuangan yang panjang, para begawan, ahli hukum dengan berbagai elemen masyarakat memberikan sumbangsih pemikiran dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kolonial yang bernafaskan vergelding theory, sebagaimana diperkenalkan Williem Friedrich Hegel sampai dengan Julius Stahl yakni pidana bertujuan sebagai suatu arena pembalasan.
Lex talionis, mata dibayar dengan mata, sebagai perwujudan keadilan retributif sudah patut ditinggalkan dan diganti dengan paradigma hukum pidana yang bernafaskan Keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Namun, yang menjadi tantangan terbesar saat ini, selain penerapan KUHP Nasional pada 2026, adalah penyelarasan hukum pidana formil dan hukum pidana materiil, agar mempunyai gagasan mulia yang satu tujuan, satu rel perjuangan dan satu cita-cita.
Bagaimana kita dapat menerapkan KUHP Nasional, tanpa dibarengi cara penegakannya. Hukum pidana formil harus dirumuskan dengan sebaik mungkin, tidak tergesa-gesa dan membuka ruang bagi masyarakat untuk ikut andil dalam merumuskannya.
KUHAP sudah seharusnya diperbaharui, dikarenakan tahun 2026 nanti, bilamana KUHP Nasional diterapkan dan penegakan hukum pidana Indonesia masih menggunakan KUHAP yang lama, maka akan terjadi ketidaksesuaian, chaos dan tercipta ketidakadilan, ketidakpastian, serta ketidakmanfaatan hukum.
Kondisi kelebihan kapasitas atau overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu dari sekian banyak faktor dirumuskannya KUHP Nasional.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini terdapat 277.631 penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan), dengan demikian terjadi surplus penghuni sebanyak 128.945 jiwa dari total kapasitas 148.686 jiwa.
Melihat kondisi seperti ini, dapat disimpulkan dengan hati nurani yang jernih bahwa pidana penjara bukanlah satu-satunya solusi untuk menjawab permasalahan yang ada. KUHP Nasional hadir untuk mengentaskan permasalahan tersebut.
Selain pidana pokok berupa pidana pengawasan, kerja sosial, adanya suatu konsep bernama “Rechterlijk Pardon” atau pemaafan hakim, dimana hakim dengan segala kebijaksanaanya yang dapat digunakan, untuk tidak menjatuhkan suatu penghukuman berupa pidana/tindakan.
Paradigma yang diusung dalam merumuskan RUU KUHAP haruslah diharmonisasikan dengan paradigma yang terkandung di dalam KUHP Nasional, jika KUHP Nasional mengandung spirit pemulihan, penyembuhan, dan perbaikan, kepada pelaku, keluarga pelaku, korban, keluarga korban dan yang lebih penting adalah masyarakat, maka sudah sepatutnya KUHAP juga mengandung spirit due process of law, bukan crime control model.
RUU KUHAP haruslah beriorientasi pada paradigma hukum pidana yang menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity), maka permaslahan pada KUHAP existing seperti pengawasan terhadap aparat penegak hukum yang masih lemah, pemanfaatan judicial secrutinity masih sangat terbatas, perlindungan hak tersangka dan terdakwa belum optimal, belum mengatur hak-hak korban, saksi dan kelompok rentan, serta belum mengatur pendekatan keadilan restoratif haruslah segera terselesaikan.
Menurut Herbert L. Packer, doktrin yang digunakan sistem crime control model adalah apa yang disebut dengan presumption of guilt.
Presumption of guilt ini, berkaitan dengan sistem yang mengutamakan efisiensi. Pada hakekatnya, sistem due process of law menitikberatkan pada hak-hak individu dan berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Dalam menghindari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari seorang aparat penegak hukum, maka sistem due process of law mengedepankan adanya asas presumption of innocence.
Roscoe Pound, salah satu begawan hukum kondang menyatakan due process of law sebagai The requirement of due process is that the procedure by which laws are applied must be fair, and that the laws themselves must be fair and reasonable.
Dengan demikian, due process of law menurutnya tidak hanya sekedar mengatur aspek prosedural, tetapi juga aspek substansial daripada hukum itu sendiri.
Artinya, tidaklah cukup jika proses hukum dilakukan dengan benar, tetapi juga harus bertujuan untuk mencapai keadilan substantif. Jangan sampai terlalu mengejar kebenaran, namun penerapannya tidaklah tepat, sehingga keadilan pun tercampakkan.
Layaknya ungkapan di dalam bahasa Jawa, “Bener nanging ora pener”, yang berarti benar namun tidak tepat. Kebenaran pun haruslah proporsional, agar kebenaran itu sampai dan terejawantahkan dengan tepat.
Menurut Barda Nawawi Arief sistem due process of law merupakan sistem yang menjamin hak-hak terdakwa agar tidak menjadi objek kekuasaan negara yang represif dan sewenang-wenang, dengan menempatkan prosedur hukum sebagai alat kendali kekuasaan.
Prinsip due process of law, jangan hanya dimaknai sebagai prosedur hukum semata, lebih daripada itu, merupakan wujud penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity).
Immanuel kant pernah berkata, Manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Artinya, hukum pidana tidak boleh hanya mengejar efisiensi, penjeraan, dan pembalasan belaka, namun harus mewujudkan nilai-nilai keadilan substantif, sehingga filosofi dasar hukum acara pidana sebagai hukum formil yang adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dapat tercipta dengan sempurna.
Pasal 53 KUHP Nasional menjelaskan dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Dan jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Sudah barang tentu ketika membaca, memahami serta merenungkan dengan seksama makna dari pasal tersebut, bahwa KUHP Nasional mempunyai semangat Hukum Progresif seperti yang pernah disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, Seyogyanya penegak hukum harus berani keluar dan menjawab segala tantangan dari dogmatika usang penegakan hukum, yang hanya berlandaskan pada suatu aturan perundang-undangan saja.
Hukum tidak berada di ruang yang hampa, wujudnya selalu berbenturan dengan nilai-nilai lainnya, maka hakim sebagai entitas utama penegakan hukum jangan hanya membeo pada peraturan tertulis saja.
Adanya KUHP Nasional, telah menepis fungsi hakim sebagai La Bouche de La Loui, namun lebih daripada itu, hakim harus lebih mengedepankan hati nurani selain menggunakan akal pikirannya dalam membaca suatu teks aturan tertulis.
Penutup
Hadirnya KUHP Nasional mendobrak dan meruntuhkan stigma bahwa pengadilan hanya menjadi entitas hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan untuk rakyat, menghancurkan stigma judicial dictactorship dengan mau mendengar dan menyelami dinamika masyarakat.
RUU KUHAP diharapkan, tidak melihat manusia hanya sekedar alat atau objek semata, yang hanya mengedepankan efisiensi dan kecepatan proses peradilan pidana sehingga menanggalkan keadilan subtantif, jika KUHP Nasional telah merangkum segala prinsip Legal Justice, Social Justice, Moral Justice, Religious Justice, dan Divine Justice.
Maka untuk memadupadankan RUU KUHAP yang sedang dalam proses penyusunan ini, hendaknya mengedepankan sistem due process of law dan menanggalkan sistem crime control model, yang hanya melihat tersangka, terdakwa, maupun terpidana hanya sebatas berkas perkara saja.
Satjipto Rahardjo pernah berkata Hukum yang baik adalah hukum yang mampu membahagiakan rakyatnya, sudah barang tentu hukum yang pro rakyat akan memberi kebahagiaan kepada masyarakat.
Tidak kalah penting, adalah bagaimana aparat penegak hukum mengimplementasikan, membaca suatu aturan dengan kontekstual, menggunakan kesadaran hati nurani, sehingga akan terciptalah sebuah keadilan yang menaungi belantara kehidupan manusia.
Daftar Referensi :
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media, 2007.
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor. Cambridge University Press, 1996.
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law. New Haven: Yale University Press, 1922.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas, 2009.
Sukinta, Analisis Terhadap KUHAP Berdasarkan Crime Control Model Dan Due Process Model. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1997.


