“We need to confront the costs of convenience, and reclaim our consumer power, rather than let ourselves be served to distraction.” – Emily West (Buy Now, How Amazon Branded Convenience and Normalized Monopoly, 2022).
Sisi lukratif atau laba dalam hukum ekonomi bekerja berdasarkan satu prinsip dasar: asimetri. Semakin timpang persediaan dan permintaan antara penjual dan pembeli, semakin deras keuntungannya. Oleh karena itu, bukan kebetulan jika produsen menghendaki monopoli, entah dalam bentuk terselubung atau bahkan eksplisit terang-terangan untuk menjadi pemain tunggal di pasar.
Tugas hukum adalah memastikan bahwa monopoli atau oligopoli tidak menjadi preseden bagi praktik bisnis, karena menyangkut kesejahteraan warga negara secara keseluruhan. Menguasai distribusi beras dari Sabang hingga Merauke, misalnya, adalah sebuah praktik yang sangat berisiko bagi stabilitas negara. Pemonopoli dapat mendikte harga beras atau minyak goreng berapa pun dan kapan pun.
Bahan pokok memang mendapat perhatian khusus dan umumnya dikuasai secara mutlak oleh pemerintah. Namun demikian, seiring dengan bergantinya zaman, tantangan terhadap apa yang disebut “pokok” menjadi semakin kompleks.
Teknologi komputasi sekarang adalah versi baru mesin uap di masa Revolusi Industri. Meskipun secara biologis manusia tidak membutuhkan ponsel cerdas (smartphone), secara psikologis informasi tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan batin manusia modern. Mendapatkan berita tak ubahnya seperti asupan nasi atau roti: sifatnya vital dan tidak dapat ditunda.
Sebuah korporasi skala global, Apple Inc., mengetahui persis sisi asimetris dari kebutuhan dasar ini. Untuk menjaga pasarnya dalam mekanisme yang sulit disaingi perusahaan teknologi lain, Apple menerapkan prinsip eksklusivisme diversifikasi produk (Lahshinsky, 2012).
Apple mengungguli para pesaingnya dengan membuat konsumen enggan berpaling ke produsen lain dan sepenuhnya tergantung pada produk perusahaan tersebut. Ini adalah bentuk dominasi hegemonik, dan terhitung baru bagi dunia hukum.
Apple dan Persaingan Kompetitif
Sederhananya, Apple memastikan bahwa setiap produknya khas dan hanya berfungsi optimum dengan periferal dari label yang sama. Laptop, tablet, dan ponsel merek ini hanya bekerja maksimal bila pelanggan memiliki ketiganya, dan tidak mensubstitusinya dengan luaran pabrikan lain di pasar.
Adam Lahshinsky dalam Inside Apple: The Secrets Behind the Past and Future (2012) mencatat Apple sebagai sebuah korporasi yang bekerja secara mekanis dan tertutup, baik secara eksternal (pada pengembangan produk) maupun internal (yang berhubungan dengan tim pengembang).
Bagi Owen Linzmayer dalam Apple Confidential 2.0: The Definitive History of the World’s Most Colorful Company, titik sentral daya saing Apple ada pada reinvensi. Etos kerja perusahaan tersebut didasarkan pada tekanan untuk terus melakukan inovasi produk.
Strategi pemasaran agresif yang dijalani Apple membuat korporasi ini pernah bersinggungan dengan masalah hukum di Amerika Serikat (AS) terkait praktik kompetisi tidak sehat. Chris Sagers dalam United States v. Apple, Competition in America (2019) memaparkan bahwa Apple secara terbuka melakukan “price-fixing” dengan beberapa penerbit buku besar untuk produk iBookstore pada 2010.
Dalam dokumen Brief for the United States in Opposition: U.S. v. Apple, Inc., et al., No. 15-565 (2015), Departemen Kehakiman (Department of Justice/DOJ) menilai bahwa putusan bersalah yang dijatuhkan pada Apple sudah tepat. Jaksa Donald B. Verrilli, Jr. berargumen bahwa Apple memang melanggar Pasal 1 Sherman Act (15 U.S.C. § 1).
Menurut DOJ: “The court of appeals correctly held that petitioner had violated the Sherman Act by orchestrating a per se unlawful horizontal price-fixing conspiracy” (Pengadilan banding secara tepat menyatakan bahwa Pemohon telah melanggar Sherman Act dengan mengatur suatu konspirasi penetapan harga secara horizontal yang secara eksplisit dilarang oleh hukum) (U.S. v. Apple, Inc., et al., No. 15-565, hlm. 14).
Antara Monopoli dan Monopolisasi
Awal tahun 2025, Apple dikejutkan oleh beredarnya informasi sistem terbaru mereka, iOS 26, oleh seorang YouTuber, Jon Prosser. Prosser dan rekannya, Michael Ramacciotti, mendapatkan akses dari teman Ramacciotti, Ethan Lipnik, yang merupakan karyawan Apple. Tanpa sepengetahuan Lipnik, mereka merekam video iOS 26 tersebut.
Apple kemudian memecat Lipnik dan memberitakan akan menggugat Prosser dan Ramacciotti ke pengadilan (PCMag Australia, 18 Juli 2025). Kejadian ini dan kasus U.S. v. Apple, Inc., et al., No. 15-565 menunjukkan dua sisi Apple: sebagai kompetitor agresif, baik secara eksternal maupun internal.
Emily West (2022) mengatakan bahwa praktik bisnis di era teknologi digital berakar pada tiga elemen: kemampuan membentuk pasar, meninggikan pagar untuk mencegah masuknya kompetitor baru, dan mencegah kemungkinan terjadinya kompetisi berarti. Dengan kata lain, dunia masa kini adalah bentuk normalisasi dominasi tunggal.
West mempergunakan istilah kapitalisme digital sebagai gelagat baru yang belum dapat dijangkau oleh hukum. Konstruksi yuridis masih berkisar pada monopoli, bukan monopolisasi.
Christopher G. Pike (2001) menyebut monopoli ala raksasa teknologi saat ini sebagai “hub monopoly”, yakni praktik mengendalikan ekosistem berlisensi. Menurut Pike, monopoli telah beranjak dari riil ke virtual.
Asimetri ekonomi kini berada di ranah virtual yang berpotensi menjadi dominasi mutlak. Sebagai ilustrasi, selain Tiongkok, hampir semua pengguna komputer dan internet bergantung pada raksasa teknologi Amerika Serikat seperti Microsoft, Google, atau Meta. Konsekuensinya, AS dapat mendikte negara mana pun yang memiliki ketergantungan mutlak pada produk mereka.
Emily West (2022) menegaskan, dominasi hegemonik tidak dibangun di atas paksaan, melainkan kenyamanan (convenience). Konsumen dibuat senyaman mungkin, sehingga melepaskan diri dari ekosistem tertentu, seperti Apple, akan menimbulkan kegelisahan yang sulit diterima.
Di Tiongkok, raksasa teknologi seperti Xiaomi bahkan mengembangkan produk mulai dari ponsel cerdas hingga mobil listrik. Bukan tidak mungkin di masa depan, saat semua benda terhubung internet (IoT/Internet of Things), mulai dari sikat gigi, pakaian, hingga bahan makanan, berada dalam kendali korporasi semacam ini.
Monopolisasi dalam Intimasi Kenyamanan Teknologis
Apple hanya satu dari sekian perusahaan yang berusaha mendominasi sektor IoT. Amazon, raksasa teknologi AS lainnya, pun tidak luput dari upaya normalisasi monopoli virtual.
West mengatakan: “Fundamentally, Amazon offers to serve us by knowing us, including the domestic, private side of ourselves represented by our product searches, our purchases, the media we consume, and now with Alexa, what we say and how we say it” (Secara mendasar, Amazon menawarkan melayani kita dengan cara mengenal kita, termasuk sisi domestik dan privat dari diri kita yang tercermin melalui pencarian produk, pembelian, media yang kita konsumsi, dan kini dengan Alexa, apa yang kita katakan serta bagaimana kita mengatakannya) (West, 2022:128).
West berbicara tentang Alexa, produk Amazon yang terkoneksi dengan otomatisasi seluruh perangkat elektronik di rumah.
Dalam pusaran kapitalisme digital, monopolisasi mengambil wajah yang lebih halus namun lebih dalam. Bukan lagi sekadar dominasi pasar melalui harga atau distribusi, melainkan melalui integrasi menyeluruh terhadap gaya hidup, preferensi, bahkan dimensi psikologis konsumen.
Monopoli virtual bekerja secara diam-diam, membentuk ekosistem tertutup yang menawarkan efisiensi dan kenyamanan, namun menyembunyikan ketergantungan struktural yang sulit diputus.
Tantangan terbesar bagi hukum bukan hanya mendeteksi bentuk-bentuk monopoli baru, tetapi juga mengejar kecepatan transformasi teknologi yang selalu lebih cepat daripada legislasi. Pada akhirnya, perluasan kuasa korporasi dalam ranah privat dan domestik mengharuskan hukum tidak hanya mengatur pasar, tetapi juga memahami logika afeksi dan keintiman digital yang menjadi fondasi ekonomi hari ini.