Revisi Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) bukan hanya terbatas agenda legislasi, tetapi momentum moral menata ulang hubungan hukum antara manusia dan laut.
Laut bukan hanya sumber daya, melainkan amanat konstitusional yang mengandung tanggung jawab lintas generasi.
Di tengah fragmentasi regulasi dan lemahnya pengawasan, integrasi hukum melalui PKKPRL menjadi jalan guna menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan.
Laut Indonesia menyimpan paradoks, wujudnya adalah sumber kehidupan sekaligus ruang yang paling rentan terhadap ketidakteraturan hukum.
Dalam dua dekade terakhir, kebijakan kelautan nasional, seringkali berjalan dalam lorong sektoral yang berbeda.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatur izin pemanfaatan ruang laut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berwenang atas pengendalian pencemaran laut, sementara pemerintah daerah menyusun rencana tata ruang pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai kewenangannya.
Fragmentasi kewenangan dimaksud, menimbulkan disharmoni hukum yang menghambat efektivitas pengawasan.
Kegiatan reklamasi tanpa izin, pencemaran pesisir, dan tumpang tindih izin ruang laut menunjukkan bahwa sistem hukum belum benar-benar berlabuh pada prinsip integrasi.
Pada situasi tersebut, revisi UU No. 27 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014 tentang PWP3K yang kini dibahas menjadi sangat strategis.
Hasilnya diharapkan bukan sekadar menyesuaikan diri dengan UU Cipta Kerja, tetapi membangun kembali kesatuan hukum laut yang menjunjung keadilan ekologis dan antargenerasi.
Ruang Laut Sebagai Amanat Konstitusional (Trust of Law)
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Makna dikuasai tidak identik dengan dimiliki, melainkan mengandung fungsi penguasaan publik negara, untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan bersama.
Dalam konteks ini, laut adalah amanat hukum yang merupakan sebuah tanggung jawab konstitusional yang mengikat seluruh organ negara guna memastikan kelestariannya.
Revisi UU PWP3K harus meneguhkan pandangan, bahwa laut bukan semata objek ekonomi, tetapi entitas ekologis yang memiliki nilai moral dan hak untuk dijaga.
Pandangan ini, sejalan dengan teori environmental ethics, yang menempatkan manusia sebagai bagian dari komunitas biotik, bukan penguasa tunggal ekosistem.
Dari sinilah lahir gagasan generational justice, yakni setiap generasi memiliki kewajiban hukum untuk menyerahkan laut yang sehat kepada generasi berikutnya.
Prinsip ini menjadi landasan filosofis bagi pembentukan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), yang bukan sekedar syarat administratif belaka, tetapi menjadi simpul hukum pengelolaan ruang laut nasional.
PKKPRL Sebagai Titik Temu Regulasi (Normative Convergence)
PKKPRL adalah bentuk modernisasi perizinan yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja, yang implementasinya diatur dalam Permen KP Nomor 28/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut.
Bentuknya menggantikan izin lokasi dan izin pengelolaan yang sebelumnya diatur dalam UU PWP3K, dan menjadikannya satu instrumen terpadu dalam sistem perizinan berusaha berbasis risiko.
Secara normatif, PKKPRL berfungsi sebagai precautionary licensing, artinya izin yang diberikan hanya untuk kegiatan yang sesuai dengan rencana zonasi dan tidak mengancam keseimbangan ekologis.
PKKPRL bukan sekadar izin administratif, tetapi juga jaminan hukum (legal guarantee) atas integritas ekosistem laut.
Namun, dalam praktik, PKKPRL belum berjalan efektif. Kasus reklamasi di Kuppa Barru dan pemanfaatan ruang laut tanpa izin di Batam, serta Belitung memperlihatkan lemahnya koordinasi antar instansi, harusnya kerusakan lingkungan laut dapat dicegah melalui mekanisme PKKPRL.
Maka, tidak perlu ada pelanggaran. Selanjutnya, pelanggaran ruang laut sering kali ditindak dengan pasal pencemaran lingkungan, bukan pelanggaran izin ruang laut dan menunjukkan belum terintegrasinya kerangka hukum yang seharusnya saling menopang.
Gagasan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum) dalam revisi UU PWP3K perlu menyatukan kembali rezim hukum laut, kelautan, dan lingkungan hidup, sehingga tidak ada lagi ruang bagi tafsir sektoral.
Pasal 75A dan 75B tentang sanksi pidana dan administratif perlu disusun ulang, agar jelas garis demarkasinya, sehingga pelanggaran administratif ditangani melalui mekanisme paksaan pemerintah berupa tindakan nyata (feitelijke handeling) yang dilakukan oleh pejabat berwenang untuk memaksa pemenuhan kewajiban hukum oleh subjek hukum.
Sedangkan pelanggaran yang menimbulkan kerusakan ekologi berat baru masuk ranah pidana (pro justisia).
Menuju Integrasi Pengawasan dan Penertiban Ruang Laut
Salah satu langkah paling progresif dalam reformasi kelautan, adalah digitalisasi pengawasan.
Sistem e-SEA Map (https://eseamap.ruanglaut.id) yang dikembangkan oleh KKP, dapat menjadi embrio dari PKKPRL Digital System, yang terintegrasi dengan Environmental Quality Standard (EQS) dan Marine Spatial Data Infrastructure (MSDI).
Sistem ini memungkinkan pemantauan izin, zonasi, dan aktivitas ekonomi di laut secara real time.
Data digital seperti peta izin, laporan kegiatan, dan hasil pengawasan berbasis geo-tagged monitoring dapat menghubungkan pusat, provinsi, dan masyarakat pesisir dalam satu ekosistem hukum yang transparan.
Model ini tidak hanya memperkuat pengawasan, tetapi juga menjadi bentuk nyata partisipasi publik.
Dengan membuka data izin laut kepada masyarakat, negara menegakkan prinsip transparansi hukum dan akuntabilitas ekologis.
Bahkan, data digital dapat menjadi dasar bagi pemerintah dalam melakukan paksaan dan juga sebagai alat bukti elektronik yang sah dalam perkara lingkungan hidup di pengadilan.
Revisi UU PWP3K disarankan agar mencantumkan norma eksplisit tentang pengawasan berbasis sistem digital, sebagaimana diamanatkan Pasal 81 Angka 1 UU Cipta Kerja, yang menegaskan pelanggaran izin harus diselesaikan melalui sanksi administratif terlebih dahulu.
Dengan demikian, pengawasan digital bukan hanya efisiensi birokrasi, tetapi bentuk konkret penerapan asas ultimum remedium.
Dari Fragmentasi ke Integrasi Norma
Hukum laut Indonesia terlalu lama terpecah oleh ego sektoral. Revisi UU PWP3K adalah kesempatan emas untuk menjahit kembali serpihan hukum laut dalam satu rezim yang utuh dan progresif.
Integrasi tidak hanya dimaknai sebagai penyatuan regulasi, tetapi juga penyeragaman paradigma baru yaitu bahwa “laut harus dikelola berdasarkan asas keterpaduan, partisipasi, dan keadilan ekologis. Dalam tataran operasional, integrasi hukum ini dapat diwujudkan melalui:
- Harmonisasi pasal antar-Undang-Undang sektor kelautan, lingkungan, dan tata ruang serta perikanan;
- Penguatan koordinasi antar lembaga dalam penegakan hukum dan tata kelola ruang laut;
- Integrasi data digital lintas kementerian; dan
- Pemberdayaan masyarakat pesisir sebagai pengawas sosial.
Kesimpulan
Revisi UU PWP3K adalah tonggak penting dalam membangun hukum laut Indonesia yang berkeadilan, rasional, dan berwawasan ekologis.
Laut bukan sekadar ruang pembangunan, tetapi ruang moral yang menguji sejauh mana hukum mampu menjamin keberlanjutan kehidupan.
Melalui integrasi regulasi dan pengawasan digital, PKKPRL dapat menjadi fondasi hukum baru yang menyatukan seluruh rezim kelautan dalam satu nadi pengawasan.
Inilah jalan untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya menjaga kepastian, tetapi juga melindungi kehidupan di dalam laut dan kehidupan yang bergantung padanya.
Ketika hukum melihat laut bukan sekadar sumber daya, melainkan amanat untuk dijaga, maka setiap izin menjadi perwujudan janji, yaitu janji kepada alam, kepada masyarakat, dan kepada generasi mendatang.
Revisi UU PWP3K hendaknya tidak berhenti pada perubahan pasal, tetapi harus menjadi perubahan kesadaran hukum dari sekadar mengatur laut menjadi melindungi laut, sebab laut tidak menuntut banyak dari kita, hanya agar ia tetap eksis bagi generasi mendatang.





