Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan maraknya revisi undang-undang penting yang dilakukan secara cepat. Mulai dari UU Kesehatan, UU Cipta Kerja, hingga RKUHP yang sempat menuai kontroversi.
Masyarakat pun bertanya-tanya: apakah proses legislasi ini cukup transparan dan partisipatif?
Perubahan perundang-undangan sejatinya hal wajar dalam dinamika negara hukum. Namun, jika dilakukan tergesa-gesa tanpa pelibatan publik yang memadai, bisa menimbulkan kekhawatiran.
Terutama jika substansi perubahan berdampak pada hak-hak warga negara, seperti kebebasan berpendapat, hak atas pekerjaan, atau perlindungan sosial.
Konstitusi kita, UUD 1945, menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya, setiap kebijakan publik harus berpijak pada hukum yang adil, aspiratif, dan melindungi hak-hak dasar.
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung (MA) dan para hakim memegang peranan penting dalam mengawal implementasi hukum yang sudah disahkan.
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, MA bisa mengeluarkan pedoman teknis agar interpretasi undang-undang di pengadilan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hakim pun diharapkan mampu membaca semangat keadilan dari setiap regulasi, bukan sekadar pasal demi pasal yang kaku.
Namun tidak berhenti di sana. MA juga dapat memainkan peran strategis dengan memberi masukan atas naskah akademik atau draf RUU yang berkaitan dengan peradilan.
Kolaborasi lintas lembaga, termasuk dengan DPR dan pemerintah, sangat dibutuhkan untuk memastikan undang-undang yang lahir tidak menyisakan celah ketidakadilan.
Harapan ke depan, proses legislasi tidak hanya cepat, tapi juga cermat dan inklusif. Melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan aparat penegak hukum sejak awal perancangan bisa memperkaya perspektif.
Karena sejatinya, undang-undang bukan sekadar teks hukum. Ia adalah janji negara kepada rakyat bahwa keadilan akan ditegakkan dengan berpihak pada kepentingan bersama, bukan golongan tertentu saja.





