Paradigma Baru KUHP Nasional, Siapkah Masyarakat Indonesia Menerimanya?

Dengan perubahan tersebut, KUHP Nasional diharapkan dapat menjawab tantangan penegakan hukum pidana di Indonesia yang lebih berkeadilan, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila serta kearifan lokal.
Ilustrasi KUHP
Ilustrasi KUHP

Perbedaan Paradigma di dalam KUHP lama dan KUHP 2023

Terbitnya UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional merupakan era baru hukum pidana di Indonesia, yang mencerminkan bentuk demokratisasi dan modernisasi hukum.  Perubahan ini, upaya Indonesia guna memiliki sistem hukum pidana yang berdaulat dan tidak lagi bergantung pada hukum warisan kolonial.

Sebelum perubahan, KUHP Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berlaku sejak masa kolonial Belanda menerapkan paradigma monistis, yang berakar hukum pidana kolonial.  Paradigma tersebut, didasarkan prinsip konkordansi, yaitu diadopsi langsung dari hukum pidana Belanda dengan penyesuaian terbatas untuk konteks Hukum Indonesia pasca kemerdekaan.  

KUHP lama lebih berfokus keadilan retributif (pembalasan/punishment) sebagai inti sistem peradilan pidana, di mana penekanan utamanya sanksi hukuman bagi pelaku tanpa memprioritaskan pemulihan korban atau reintegrasi pelaku. Pendekatan ini sering disebut sebagai paradigma kuno, yang mirip dengan sistem Hammurabi (lex talionis), karena cenderung kaku dan berorientasi pada hukuman fisik. 

KUHP Nasional menandai perubahan paradigma mendasar dari sistem hukum pidana Indonesia, dengan mengalihkan fokus dari keadilan retributif (pembalasan) ke pendekatan yang lebih holistik. Terjadi pergeseran signifikan menuju keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif, yang menjadi penekanan utama dalam undang-undang ini. 

Perubahan dimaksud, mencerminkan transformasi dari pemidanaan yang berorientasi pembalasan, menjadi pemidanaan lebih utilitarian, yang menekankan manfaat daripada hukuman semata. 

Salah satu perubahan paling signifikan, adalah implementasi keadilan restoratif yang memberi perhatian khusus pada kepentingan korban dan upaya pemulihan.  KUHP Nasional mengakomodir penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian antara pelaku dan korban, terutama untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. 
Pendekatan ini memungkinkan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi, sehingga mengurangi beban system.

Paradigma baru yang diterapkan didalam KUHP Nasional, menghendaki Aparat Penegak Hukum memprioritaskan pemulihan korban, dan rehabilitasi pelaku, sehingga di dalam melakukan pemidanaan, aparat penegak hukum, khususnya hakim, harus benar-benar melihat bahwa pidana perampasan kemerdekaan (penjara), hanya diterapkan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), hal tersebut sebagaimana ditentukan pasal 70 KUHP Tahun 2023.

Dengan perubahan tersebut, KUHP Nasional diharapkan dapat menjawab tantangan penegakan hukum pidana di Indonesia yang lebih berkeadilan, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila serta kearifan lokal.  

Perubahan mendasar ini, memerlukan adaptasi dan transformasi oleh seluruh Aparat Penegak Hukum (APH), dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan paradigma baru

Harapan dan Tantangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang telah diundangkan pada 2 Januari 2023, dan akan diberlakukan pada 2 Januari 2026, memiliki konsekuensi logis yaitu kewajiban bagi pemerintah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat luas, khususnya terkait perubahan paradigma yang dianut KUHP Nasional. 

Masyarakat Indonesia yang hampir 80 tahun menggunakan paradigma lama di dalam KUHP beranggapan bahwa setiap kali melaporkan seseorang terkait perbuatan pidana, maka ujungnya adalah harus dipenjara apabila nyata terbukti perbuatannya. 

Pola pikir masyarakat yang terbentuk berpuluh-puluh tahun ini, bukan merupakan sesuatu yang mudah dirubah cara pandangnya, guna mengikuti paradigma baru dalam KUHP Tahun 2023 yang menghendaki pemulihan dan rehabilitasi dalam proses penegakan hukum pidana.

Keadaan tersebut diatas harus disikapi oleh pemerintah, salah satunya dengan cara menyelaraskan pemahaman para aparat penegak hukum di dalam subsistem peradilan pidana (penyidik, penuntut umum, hakim, dan lembaga pemasyarakatan) mengenai penerapan pemidanaan dalam KUHP Nasional. 

Kesepahaman tersebut, penting dilakukan untuk menghindari disparitas penerapan pemidanaan, khususnya oleh penuntut umum dan hakim, yang dapat berdampak pada berkurangnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum pidana, khususnya terhadap lembaga-lembaga tertentu. 

Dengan harmonisasi kesepahaman dan konsistensi penerapan yang selaras antaraparat penegak hukum, maka diharapkan dapat menjadi upaya pembelajaran kepada masyarakat, guna memahami bahwa paradigma hukum yang diterapkan didalam KUHP Nasional, adalah berbeda dengan KUHP lama yang selama ini dilihat dan dirasakan masyarakat.
 

Penulis: Restu Permadi
Editor: Tim MariNews