Pandangan Patriarki masih marak di Indonesia. Alfian Rokhmansyah dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Gender dan Feminisme” menyebutkan bahwa istilah “patriarki” berasal dari “patriarkat” yang memiliki arti peran laki-laki sebagai satu-satunya, pusat, penguasa, dan segala-galanya.
Jauh sebelum kemerdekaan, R.A. Kartini telah memperjuangkan konsep emansipasi. Konsep yang diusung oleh R.A. Kartini tersebut berawal dari maraknya konsep patriarki di budaya Indonesia pada saat itu.
Laki-laki diberikan kedudukan yang sangat tinggi dibandingkan dengan perempuan. Tidak hanya itu, laki-laki juga diberikan keleluasaan dibandingkan dengan perempuan baik dari sisi pendidikan, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Pandangan patriarki mempengaruhi pemikiran masyarakat Indonesia hingga saat ini, termasuk dalam hal perceraian.
Perkara cerai talak di Pengadilan Agama yang diajukan oleh suami seringkali diajukan dengan alasan istri tidak melayani suami, seperti tidak memasak, tidak mencuci dan pergi ke luar rumah dengan kurun waktu yang tidak lama tanpa izin suami.
Hal tersebut menjadi alasan perceraian karena menurut suami sebagai pihak pemohon cerai talak, istri tidak menjalankan kewajibannya.
Menurut para suami, pekerjaan wajib istri hanya pekerjaan-pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, maupun melayani apapun yang diinginkan oleh suami. Pemahaman tersebut tentu bertentangan dengan konsep kesetaraan gender.
Pemahaman yang menganggap bahwa istri memiliki kewajiban utama untuk mengurus pekerjaan domestik merupakan bentuk stereotip terhadap gender. Peletakan posisi tersebut sama halnya dengan memberikan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Pandangan yang menganggap kedudukan perempuan di bawah laki-laki tidak hanya dianut oleh masyarakat pencari keadilan, bahkan masih banyak aparat penegak hukum termasuk hakim yang memiliki pemahaman demikian.
Hal ini tentu bukan hal yang harus dipahami sebagai hal biasa. Fenomena ini sudah seharusnya dihindari guna memberikan keadilan baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Alasan ketidakhadiran perempuan dalam perannya pada pekerjaan domestik sudah seharusnya didalami tanpa memberikan pandangan buruk terhadap sikap seorang perempuan tersebut. Asas presumption of innocent tentu wajib diterapkan dalam hal ini.
Mengadili perkara cerai talak dengan alasan istri tidak patuh merupakan alasan yang masih terlalu sumir. Hal ini dikarenakan alasan tersebut merupakan alasan yang merujuk pada stereotip gender.
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak, baik pengakuan pemohon maupun pembuktian saksi, sering terungkap bahwa ketidakpatuhan perempuan yang dimaksud dalam permohonan cerai talak adalah alasan domestik yang sebenarnya dapat dijalankan baik oleh suami maupun isteri.
Lebih dari itu, terkadang saksi juga sering memojokkan perempuan meskipun saksi tersebut juga perempuan. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh kuat budaya patriarki pada masyarakat Indonesia.
Bahkan sebagian hakim juga masih berpandangan bahwa alasan domestik tersebut merupakan salah satu indikasi ketidakpatuhan seorang istri terhadap suami.
Dalam teori mubadalah yang dicetuskan oleh Faqihuddin Abdul Kodir pada 2019, melalui buku yang berjudul “Qiraah Mubadalah (Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam)”, dipahami bahwa adanya keseimbangan dan kesetaraan dalam ajaran Islam, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Konsep mubadalah pada dasarnya menekankan mengenai kesalingan atau timbal balik antara laki-laki maupun perempuan. Hal ini menjadi tanda bahwa Islam tidak meletakkan perempuan di bawah laki-laki maupun sebaliknya.
Islam melihat baik laki-laki maupun perempuan merupakan makhluk yang sejajar. Baik perempuan maupun laki-laki harus saling membantu dan saling bekerja sama. Hal ini pula yang seharusnya ada dalam suatu rumah tangga, dimana baik perempuan maupun laki-laki harus saling melengkapi, bukan menuntut satu sama lain.
Konsep “taat” terhadap suami bukan lagi berarti kewajiban perempuan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Pekerjaan domestik sudah seharusnya dikerjakan secara bersama-sama.
Hal ini yang harus dipahami baik oleh para pencari keadilan maupun bagi seorang hakim. Dengan demikian, sudah seharusnya hakim menakar suatu keadilan dalam putusan cerai talak atas dasar kesalingan bukan karena stereotip gender.
Pertimbangan hukum mengenai alasan perceraian yang dimasukkan ke dalam putusan sudah seharusnya memperlihatkan konsep mubadalah sebagai konsep yang dipahami oleh seorang hakim.
Pertimbangan yang adil dan tidak bias gender akan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai posisi perempuan dalam rumah tangga. Perempuan bukan lagi sebagai objek dan bukan pula memiliki tugas utama sebagai dapur, kasur dan sumur.
Alasan ketidaktaatan istri kepada suami harus ditinjau apakah benar terbukti melakukan nusyuz atau hanya sekedar tidak menjalankan salah satu tugas domestik yang bukan murni tugas utama seorang isteri.
Dengan demikian diharapkan konsep patriarki tidak lagi menjadi alasan yang digunakan untuk menceraikan seorang istri.


