Peran Penting Hakim dalam Komunikasi Efektif Kepada Korban dalam Penerapan Keadilan Restoratif

Kiprah seorang Hakim dalam membahasakan bahasa hukum kedalam bahasa yang mudah dipahami oleh korban menjadi sentra.
Ilustrasi komunikasi efektif. Foto : Ilustrasi dokumentasi penulis
Ilustrasi komunikasi efektif. Foto : Ilustrasi dokumentasi penulis

Hukuman tak lagi pembalasan. Dalam paradigma hukum modern di Indonesia, arah baru pemidanaan tak lagi berakar pada keadilan retributif, tapi sudah bergerser pada keadilan restoratif. 

Pendekatan ini menempatkan pemulihan sebagai inti dari penyelesaian perkara pidana, bukan sekadar pembalasan atas kesalahan. 

Pascaterbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, tidak sedikit perkara yang diselesaikan melalui pendekatan yang menyelaraskan kepentingan pemulihan korban dan pertanggung jawaban Terdakwa.

Jika dilihat dari pemberitaan dalam Marinews, terjadi trend positif dalam hal penerapan Keadilan Restoratif.

Penulis ingin menyoroti betapa pentingnya peran seorang Hakim dalam memberikan pemahaman kepada korban tentang arti penting penyelesaian melalui pendekatan keadilan restoratif. 

Karena pada praktiknya tidak sedikit perkara yang gagal diselesaikan secara restoratif karena korban belum sepenuhnya memahami konsep tersebut. 

Dalam pengalaman penulis, korban kerap berpikir “jika dimaafkan dan ada surat perdamaian, maka Terdakwa akan bebas”. Di sinilah letak pentingnya peran Hakim dalam mengomunikasikan secara efektif, sebagai jembatan atau penyambung lidah dari bahasa hukum yang termuat dalam PERMA No 1 Tahun 2024 kepada korban. 

Pentingnya Komunikasi Efektif Hakim dalam Keadilan Retoratif

Mahkamah Agung dalam Laporan Tahunan 2024 menegaskan beberapa pengaturan penting dalam Perma tersebut yang berkaitan dengan penerapan prinsip keadilan restoratif adalah sebagai berikut : 

  1. Keadilan restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak, baik korban, keluarga korban, terdakwa/ anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan dan bukan hanya pembalasan. 
  2. Penerapan prinsip keadilan restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana, tetapi bertujuan untuk memulihkan korban tindak pidana, memulihkan hubungan antara terdakwa, korban, dan/ atau masyarakat, menganjurkan pertanggungjawaban terdakwa, dan menghindarkan setiap orang, khususnya anak, dari perampasan kemerdekaan
  3. Hakim harus mencantumkan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 dalam putusannya apabila dalam mengadili perkara pidana menerapkan prinsip keadilan restoratif. 

Ketiga prinsip tersebut menegaskan bahwa keadilan restoratif tidak boleh dimaknai sebagai bentuk pengampunan tanpa tanggung jawab. Ia justru mengedepankan dialog, pemulihan, dan pertanggungjawaban. 

Dalam konteks inilah, kiprah seorang Hakim dalam membahasakan bahasa hukum kedalam bahasa yang mudah dipahami oleh korban menjadi sentra.  Cara Hakim berkomunikasi yang efektif menjadi elemen yang sangat menentukan. 
 
Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tindakan.

Komunikasi dikatakan efektif jika dalam proses penyampaian pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat diterima dengan baik atau memiliki kesamaan makna oleh komunikan. 

Salah satu indikasi komunikasi berjalan efektif adalah tidak terjadi mispersepsi. Mispersepsi adalah proses terjadinya kesalahan dalam diri komunikan saat menanggapi pesan yang disampaikan oleh komunikator. 

Mispersepsi dalam proses komunikasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya pengetahuan komunikan atas pesan yang disampaikan, kesalahan penafsiran yang disebabkan pengalaman yang berbeda dalam melihat sesuatu/pandangannya, hingga masalah fisik terkait kondisi alat pendengaran komunikan, suasana/lingkungan yang terjadi saat proses pesan diterima oleh komunikan. (Tri Wahyuti, 2025)

Tahapan umum terjadinya proses komunikasi (McPheat, 2010): 

  1. Source (sumber). Source disebut juga sender atau pihak yang mengirimkan pesan. Untuk mencapai komunikasi yang efektif, pengirim pesan harus memiliki kejelasan dalam penyampaian pesan dan memiliki tujuan tentang apa yang diharapkan dalam pesan tersebut. 
  2. Message (pesan). Pesan merupakan bagian utama dalam proses komunikasi. Pesan ini disampaikan oleh pengirim pesan/sender. Pengirim pesan harus dapat mengupayakan bagaimana pesan yang akan disampaikan dapat dipahami oleh penerima pesan. Misalnya kalimat yang efektif, tidak bertele- tele, tepat sasaran bisa menjadi panduan agar pesan dapat diterima dengan mudah oleh orang lain. 
  3. Encoding. Proses encoding atau kegiatan penyandian pesan merupakan proses dimana sumber/pengirim pesan melakukan penyandian atas pesannya kepada audience/penerima pesan. Hal sederhana misalnya, ketika seorang pengirim pesan menggunakan akronim tertentu, dia harus memastikan apakah penggunaan akronim ini sudah familiar atau belum saat diterima audience. 
  4. Channel. Channel dalam hal ini berkaitan dengan metode yang dapat digunakan dalam penyampaian pesan, dapat berupa tatap muka/face to face, secara lisan, menggunakan media tertulis dan menggunakan alat/media perantara seperti email, telepon, radio, televisi. 
  5. Decoding. Setelah pesan dilakukan encoding oleh sender, proses selanjutnya adalah decoding yaitu proses memahami pesan yang dilakukan oleh penerima pesan. Decoding dapat dikatakan efektif ketika penerima pesan dapat memahami pesan yang disampaikan. 
  6. Receiver (penerima). Penerima pesan adalah pihak yang melakukan interpretasi pada pesan yang telah dikirimkan oleh sender. 
  7. Feedback. Beberapa indikasi bahwa penerima pesan dapat menerima pesan dengan baik, misalnya dengan memperhatikan pesan, mendengarkan, memberikan respon atau tanggapan dan bertanya pada pengirim pesan. 
  8. Context. Context dalam hal ini mengacu pada situasi saat komunikasi terjadi antara komunikator dan komunikan, misalnya keadaan lingkungan, budaya organisasi, dan faktor budaya secara umum.

Hakim harus mampu berkomunikasi secara efektif untuk menjelaskan bahwa keadilan restoratif bukan sekadar “penghapusan perkara” atau “pembebasan”, melainkan upaya agar terdapat pemulihan terhadap hak-hak korban, termasuk juga terpulihkannya keseimbangan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Tak ada dendam lagi pasca kejadian.

Dalam penerapan Keadilan Restoratif, Hakim (source) yang menggunakan bahasa komunikasi yang efektif dapat membantu korban (receiver) untuk memahami bahwa pendekatan ini tidak mengabaikan rasa keadilan, melainkan mengubah bentuknya menjadi keadilan yang bersifat memulihkan (massage). 

Dengan demikian, proses hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya, Terdakwa tidak serta-merta dibebaskan, namun terdapat aspek-aspek yang dapat dipulihkan pasca terjadinya peristiwa tersebut (encoding). 

Pada akhirnya, Korban dapat memahami dan menyepakati penyelesaian melalui pendekatan keadilan restoratif (decoding).

Selain itu, Hakim juga memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kesepakatan perdamaian benar-benar lahir dari kesadaran korban (feedback), bukan tekanan sosial atau negosiasi timpang.

Dalam hal ini, kemampuan Hakim untuk berempati, berkomunikasi secara humanis, dan membangun kepercayaan menjadi kunci keberhasilan penerapan keadilan restoratif (context).

Kesimpulan 

Penerapan keadilan restoratif tidak hanya menuntut pemahaman atas aspek hukumnya belaka, tetapi juga menuntut komunikasi yang efektif dari seorang Hakim. 

Hakim tidak sekedar berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai receiver yang mampu menyampaikan pesan Bahasa Perma 1 tahun 2024 menjadi Bahasa yang mudah dipahami oleh korban.

Melalui komunikasi yang efektif, hakim dapat menghapus kesalahpahaman bahwa keadilan restoratif berarti pembebasan Terdakwa, dan menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah pemulihan. 

Baik terhadap korban, terdakwa dan juga masyarakat yang terdampak terhadap perbuatan Terdakwa.  

Dengan demikian, keberhasilan keadilan restoratif tidak hanya bergantung pada aturan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2024, tetapi juga pada kemampuan seorang hakim dalam membangun komunikasi efektif.