MARINews, Kalianda — Pengadilan Negeri (PN) Kalianda kembali menunjukkan langkah progresif dalam sistem peradilan pidana dengan menyelesaikan perkara pengancaman dan penganiayaan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Kasus dengan nomor perkara 224/Pid.B/2025/PN Kla itu resmi diselesaikan pada Selasa, 7 Oktober 2025. Majelis hakim yang memimpin perkara ini terdiri atas Rizal Taufani, S.H., M.H. sebagai Ketua Majelis, serta Adella Sera Girsang, S.H., M.H. dan Nor Alfisyahr, S.H., M.H. sebagai hakim anggota.
Penyelesaian dilakukan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kasus ini bermula dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa atas dugaan pengancaman dan penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (1) dan Pasal 351 ayat (2) KUHP.
Namun, saat pemeriksaan di tingkat kepolisian dan kejaksaan, upaya penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif belum berhasil.
Pada tahap persidangan, Majelis Hakim PN Kalianda kemudian menjelaskan kepada kedua pihak, terdakwa dan korban, bahwa proses keadilan restoratif juga dapat dilaksanakan di tahap persidangan.
Pendekatan ini, menurut Majelis, bukan hanya menekankan pada penghukuman, tetapi juga pada pemulihan korban dan pertanggungjawaban moral terdakwa terhadap perbuatannya.
Penjelasan Ketua Majelis mengenai makna dan tujuan keadilan restoratif akhirnya membuka ruang kesadaran bagi terdakwa maupun korban.
Melalui proses mediasi yang difasilitasi Majelis Hakim dengan prinsip restorative justice, kedua pihak mencapai kesepakatan damai.
Hasil mediasi dituangkan dalam surat kesepakatan perdamaian tertanggal 7 Oktober 2025. Dalam kesepakatan itu, korban menyatakan memaafkan terdakwa, dengan syarat terdakwa bersedia mengganti biaya pengobatan korban sesuai kemampuannya sebagai bentuk tanggung jawab.
Terdakwa mengungkapkan rasa syukur karena kasusnya dapat diselesaikan secara damai di persidangan, setelah sebelumnya gagal mencapai perdamaian di tingkat penyidikan maupun penuntutan.
Majelis Hakim PN Kalianda menegaskan, pemulihan dalam konteks keadilan restoratif tidak hanya berarti penyembuhan luka fisik, tetapi juga pemulihan hubungan sosial dan harmoni di masyarakat.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat Perma Nomor 1 Tahun 2024, yang mendorong agar penegakan hukum pidana di Indonesia lebih menitikberatkan pada keadilan yang memulihkan (restorative) daripada sekadar menghukum.