Hubungan kerja antara pemberi kerja atau pengusaha dengan pekerja secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai hubungan kerja, tetapi juga mencakup hak dan kewajiban kedua belah pihak, baik pemberi kerja maupun pekerja.
Salah satu ketentuan penting tercantum dalam Pasal 77 Ayat (1) dan (2), yang mengatur batasan jam kerja dalam hitungan harian dan mingguan. Sementara itu, pekerja yang bekerja melebihi waktu kerja yang ditetapkan dan menyetujuinya, berhak menerima upah lembur sesuai dengan ketentuan Pasal 78 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Demikian juga hak lainnya yang dapat diperoleh pekerja yakni, hak atas upah dan pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum daerah, berdasarkan Pasal 88 dan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Teknis pengaturan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dengan pekerja, diatur dalam peraturan perusahaan dan tenggang waktu berlakunya peraturan perusahaan paling lama dua tahun, serta harus diperbarui setelah berakhirnya peraturan perusahaan, sebagaimana Pasal 111 Ayat 1 s.d. 3 UU Ketenagakerjaan.
Beberapa hal pembaharuan ketentuan ketenagakerjaan, juga diatur UU Cipta Kerja, seperti ada perjanjian kerja waktu tertentu, penggunaan tenaga kerja asing, dan beberapa hal lainnya.
Ketika tejadi sengketa pemberi kerja dan pekerja, baik sengketa hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, dimana penyelesaiannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pada era kolonialisme Hindia Belanda, pengaturan hubungan kerja pengusaha dan pekerja, diatur Ordonansi Koeli Tahun 1880, yang tercatat dalam Staatsblad No.133 Tahun 1880 dan diperbarui sebagaimana Staatsblad No.421 Tahun 1915.
Ketentuan hukum tersebut, lahir untuk berikan pedoman ikatan antara pengusaha dengan pekerja bumiputera era kolonial, terutama yang bekerja pada sektor perkebunan atau industri di Hindia Belanda.
Ordonansi Koeli dimaksud, mengatur kewajiban pekerja untuk bekerja dalam satu hari selama 10 jam, pekerja wajib membayar pajak, pekerja tidak dapat mangkir dari pekerjaan kecuali diizinkan oleh pengusaha dan pekerja dilarang melakukan aktivitas yang merugikan penguasaha.
Ordonansi Koeli dinilai lebih berpihak kepada pengusaha dibandingkan pekerja. Di mana, waktu kerja yang panjang tidak selaras dengan upah layak. Bagi buruh yang meninggalkan pekerjaannya, tidak lagi diselesaikan secara keperdataan dalam lingkungan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, melainkan diancam pidana.
Sanksi pidana yang diberikan akibat mangkir bekerja, berupa pidana denda sampai dengan penyiksaan. Selain itu, tidak jarang ditambahkan hukuman tambahan bekerja, tanpa dibayar upahnya. Bagi para pekerja yang buta huruf, dinilai juga menyetujui Ordonansi Koeli.
Pada 1930, akhirnya sanksi pidana terhadap buruh dicabut, setelah perjuangan Pahlawan Nasional Moh. Husni Thamrin, dalam sidang Volksraad. Semoga artikel ini dapat memberikan pengetahuan bagi para pembacanya, khususnya para penikmat sejarah hukum nasional.
Sumber Referensi
- https://www.historia.id/article/derita-kuli-di-tanah-deli
- https://idsejarah.net/2021/10/kebijakan-koeli-ordonantie
- https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/koeli-ordonantie-pengertian-sejarah-dan-isinya-yang-penting-dipahami
- https://tirto.id/poenale-sanctie-dan-penyiksaan-terhadap-buruh-perkebunan-deli
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenegakerjaan
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial