Penegakan Keseimbangan Ketertiban dan Keadilan dalam Perbuatan Pidana Unjuk Rasa oleh Pengadilan

Hukum pidana Indonesia sendiri memberikan kerangka atas perbuatan unjuk rasa yang memiliki unsur pidana, yaitu perbuatan pidana unjuk rasa yang mengganggu ketertiban
Ilustrasi demonstrasi. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi demonstrasi. Foto ; Freepik.com

Ketegangan sosial tidak menutup kemungkinan terjadinya penyampaian kegelisahan atau keresahan melalui saluran aspirasi di ruang terbuka, seperti unjuk rasa atau demonstrasi. 

Permasalahan timbul ketika penyampaian aspirasi tersebut, tidak menganut aturan yang ditujukan melindungi para pengunjuk rasa maupun penerima aspirasi.

Hukum pidana Indonesia sendiri memberikan kerangka atas perbuatan unjuk rasa yang memiliki unsur pidana, yaitu perbuatan pidana unjuk rasa yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 256 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional).

Selain itu, berikan ancaman pidana unjuk rasa yang mengandung perbuatan pengrusakan barang atau kekerasan terhadap orang, yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama atau Pasal 262 KUHP Nasional.

Sebelum mengkaji aspek yuridis, perlu dipahami secara sosiologis ada pemaknaan berkaitan dengan unjuk rasa yang sarat dengan kekerasan atau anarkis. 

Dalam buku No Justice, No Peace: The Ethics of Violent Protests (2025) yang ditulis oleh Avia Pasternak, perlu ada pembedaan antara protes dengan kekerasan perlawanan politis dengan kekerasan. 

Menurut Pasternak, protes dengan kekerasan memiliki ciri khas dilakukan oleh warga biasa dan bukan individu yang terlatih atas konflik kekerasan atau bersenjata, dipicu peristiwa spesifik seperti kekerasan polisi, bersifat spontan dan tidak terorganisir, tidak bertujuan menggulingkan pemerintah, tingkat kekerasan rendah dan tidak membahayakan, serta peserta merasakan euforia dari kekacauan sementara. 

Berbeda protes dengan kekerasan, perlawanan politis dengan kekerasan memiliki tujuan politis berjangka pendek dan panjang, serta identik dengan upaya menggulingkan pemerintahan.

Dari aspek yuridis, baik Pasal 256 KUHP Nasional, Pasal 170 KUHP Lama, ataupun Pasal 262 KUHP Nasional tidak ditujukan menganalisis aspek sosiologis dari peristiwa pidana yang diduga terjadi. Namun, ditujukan mengidentifikasi akibat nyata dari perbuatan pidana dalam pasal-pasal tersebut.

Pasternak berargumen, meskipun kerangka hukum perbuatan pidana demonstrasi kaku atau rigid, namun perlu keseimbangan analisis hukum aparatur penegak hukum atas keunikan fenomena unjuk rasa. 

Dari Pengadilan, pendekatan yang terlalu kaku dalam menerapkan Pasal 256, 170, atau 262 dapat mengabaikan akar permasalahan yang memicu protes. Sebaliknya, pendekatan terlalu permisif berpotensi menciptakan praktik hukum yang berbahaya bagi ketertiban umum.

Untuk itu, perlu adanya pertimbangan yang menyeimbangkan hukum dan keadilan restoratif. Pengadilan perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang sosial pelaku, proporsionalitas dakwaan dengan tingkat kekerasan yang dilakukan, dan potensi dampak putusan terhadap dialog demokratis. 

Pendekatan ini, tidak berarti membenarkan kekerasan, melainkan mengakui kompleksitas fenomena protes dalam masyarakat demokratis.

Pengadilan harus berhati-hati dan produk hukum seperti putusan wajib mencerminkan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial, sambil tetap menjaga supremasi hukum.