Dari Serambi Masjid ke Ruang Sidang Berwibawa (Refleksi Milad Peradilan Agama ke-143)

Kini, PA tidak lagi berada di teras serambi, tetapi berdiri tegak sebagai penjaga keadilan umat, dengan ruang sidang yang berwibawa dan sistem yang terpercaya.
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat. Foto pa-jakartabarat.go.id/
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat. Foto pa-jakartabarat.go.id/

Secara formal, Peradilan Agama (PA) di Indonesia lahir sejak Raja Willem III dari Belanda mengeluarkan keputusan yang membentuk peradilan agama di Jawa dan Madura dengan nama "Priesterraden". Keputusan ini dimuat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153 dan mulai berlaku pada 1 Agustus 1882.

Selanjutnya, setiap 1 Agustus itu pula, para aparatur dan masyarakat hukum Islam di Indonesia mengenang tonggak penting tersebut sebagai hari lahir PA.  Dan, pada 1 Agustus 2025 ini, PA genap berusia 143 tahun-usia yang sangat matang untuk sebuah lembaga yang telah menempuh perjalanan panjang, penuh dinamika, tantangan, dan pembaruan. 

Sekelumit prolog tersebut-dan sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 serta lahirnya Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 hasil amandemen ketiga-juga menjadi edukasi seluruh elemen bangsa, bahwa memasalahkan eksistensi PA, kini sudah sangat tidak relevan lagi.

Dari Serambi ke Sistem

Awalnya, PA hanyalah sebuah praktik sosial-keagamaan yang tumbuh dari masyarakat. Ia hidup di serambi-serambi masjid, di rumah-rumah penghulu, di antara petuah ulama dan adat setempat. Kehadirannya bersifat moral dan spiritual, menyelesaikan persoalan umat, terutama terkait dengan perkara domestik keluarga: nikah talak, rujuk, dan kewarisan.

Namun, dengan masuknya aturan kolonial, posisi peradilan agama mulai dilembagakan, meski tidak dalam kerangka kesetaraan. Kewenangan PA saat itu, lebih sebagai pengakuan administratif daripada penguatan substantif. Hanya persoalan-persoalan tertentu yang diperkenankan, itupun dengan campur tangan peradilan negeri dalam pelaksanaannya.

Baru setelah kemerdekaan, dan lebih signifikan lagi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, PA memperoleh legitimasi konstitusional dan menjadi salah satu dari empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Ini menandai transformasi besar: dari institusi tradisional ke lembaga negara modern.

Modernisasi Peradilan

Modernisasi PA bukan sekadar pembaruan fisik dan struktur. Ia mencakup aspek kelembagaan, kewenangan, integrasi teknologi, hingga profesionalitas aparaturnya. Digitalisasi sistem peradilan, seperti SIPP, e-Court, e-Litigation, hingga pengembangan SIWAS MA dan SIMPEG, menjadi tonggak penting dalam menjadikan Peradilan Agama setara dengan peradilan lainnya.

Kewenangan peradilan agama juga meluas seiring dinamika sosial. Dari hanya menyelesaikan perkara perceraian, sengketa harta bersama, dan waris, kini meliputi perkara, penyitaan, eksekusi, pembatalan perkawinan, bahkan ekonomi syariah dengan segenap kompleksitasnya. Ini bukan sekadar penambahan beban, tetapi pengakuan terhadap kapasitas PA  dalam menjawab kompleksitas masyarakat muslim modern.

Tantangan Aparatur

Namun di balik semua kemajuan, tak bisa disangkal bahwa tantangan internal masih menyertai. Hakim dan aparatur peradilan dituntut bukan hanya menguasai hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, integritas, dan kompetensi digital.

Modernisasi teknologi tak selalu sejalan dengan kesiapan sumber daya manusia. Beban perkara yang tinggi, tuntutan transparansi publik, ekspektasi moral yang besar, serta sorotan media, menjadi medan ujian mental dan profesionalitas.

Di sisi lain, akibat kemajuan teknologi dan informasi masyarakat mulai mempunyai kebiasaan baru. Kebiasaan baru itu antara lain ketika  caranya sendiri masyarakat menyerap informasi yang berseliweran di sekitar mereka, baik melalui media langsung atau jagat maya. Dari informasi tersebut masyarakat sering mempunyai persepsi atau pandangannya sendiri tentang nilai-nilai. 

Dalam konteks ini, di satu sisi, kemajuan teknologi memang dapat menjadi pendukung bagi kemajuan PA. Di sisi lain, dinamika masyarakat akibat kemajuan teknologi tersebut juga menjadi tantangan PA dan aparatnya. Kemampuan menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat yang relevan, bagi seluruh para aparat PA, menjadi tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi.

Menyambut Masa Depan dengan Tekat

Akhirnya, milad PA tampaknya memang bukan sekadar perayaan usia, tetapi yang lebih penting adalah sebagai sebuah momentum refleksi. Sejauh mana aparat PA telah menjaga amanah sejarah para pendahulu? Sudahkah para insan PA mewarisi semangat keilmuan sekaligus pengabdian mereka?

Kini, PA tidak lagi berada di teras serambi, tetapi berdiri tegak sebagai penjaga keadilan umat, dengan ruang sidang yang berwibawa dan sistem yang terpercaya. Namun, muruah itu hanya akan terus hidup jika dijaga dengan kejujuran, keikhlasan, dan komitmen moral dari setiap insan PA.

Bagi seluruh insan PA, milad ke-143 ini harus selalu dijadikan pemantik semangat untuk terus memperbaiki diri. Menuju peradilan yang tidak hanya modern berkelas dunia secara sistem, tetapi juga benar-benar menjadi peradilan yang  “rahmatan lil alamin” dalam ruh dan layanannya.