Ruh Etika Sebagai Pilar Budaya Hukum Nasional

Hukum yang terlepas dari dimensi etika pada dasarnya hanya merupakan kerangka formal tanpa ruh, sedangkan etika yang tidak ditopang oleh hukum positif kehilangan arah serta daya ikat normatifnya.
Ilustrasi etika. Foto freepik.com
Ilustrasi etika. Foto freepik.com

Internalisasi Etika dalam Budaya Hukum

Budaya hukum tidak dapat dipahami semata-mata sebagai kumpulan norma tertulis dalam peraturan perundang-undangan, melainkan harus dimaknai sebagai denyut nadi sistem hukum secara keseluruhan yang memberikan legitimasi moral, makna substantif, serta daya tahan normatif terhadap dinamika sosial masyarakat. Tanpa internalisasi etika yang mengakar, hukum berpotensi tereduksi menjadi konstruksi formalistik yang kering dari nilai, ibarat tubuh tanpa ruh.

Internalisasi etika merupakan landasan fundamental dalam pembentukan budaya hukum, khususnya dalam praktik peradilan Indonesia (Sasmito, 2017:187). Konsepsi ini sejalan dengan kerangka teoritis Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum ke dalam tiga elemen utama: struktur, substansi, dan kultur.

Struktur dipahami sebagai kelembagaan hukum, substansi sebagai norma atau produk hukum, sedangkan kultur hukum merepresentasikan seperangkat nilai, keyakinan, dan orientasi masyarakat yang menjadi motor penggerak berfungsinya hukum (Friedman, 1975). Dengan demikian, internalisasi etika pada hakikatnya merupakan proses penguatan kultur hukum yang berperan sebagai ruh atau jiwa bagi keberlangsungan sistem hukum itu sendiri.

Relasi Etika dan Hukum

Etika pada hakikatnya merupakan seperangkat norma moral yang bersifat internal, berfungsi sebagai pedoman perilaku manusia agar senantiasa sejalan dengan prinsip kebenaran, keadilan, dan keadaban. Sementara itu, hukum dipahami sebagai seperangkat aturan eksternal yang mengatur tindakan manusia melalui mekanisme sanksi formal. Meskipun memiliki karakteristik berbeda, keduanya bersifat komplementer dan tidak dapat dipisahkan dalam rangka mewujudkan ketertiban sosial.

Dalam tataran praksis, hukum pada umumnya dibangun di atas nilai-nilai etika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya, hukum juga berfungsi memperkuat nilai-nilai etika tersebut melalui pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran norma yang disepakati bersama (Ulum, 2025). Oleh karena itu, hukum yang terlepas dari fondasi etika berpotensi mengalami degradasi menjadi instrumen kekuasaan yang mekanistik, kaku, dan kehilangan legitimasi moral. Sebaliknya, etika yang tidak ditopang oleh kelembagaan hukum yang kokoh berisiko terjebak dalam relativisme dan kehilangan daya ikat normatif.

Sejalan dengan itu, adagium klasik Taverne menegaskan: “Berikan saya polisi, jaksa, dan hakim yang baik; meskipun hukum yang berlaku buruk, hukum tetap dapat ditegakkan.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa inti dari penegakan hukum tidak hanya bergantung pada teks peraturan perundang-undangan, melainkan terutama pada integritas moral aparat penegak hukum sebagai aktor utama dalam mewujudkan keadilan (Sasmito, 2017:188).

Pancasila sebagai Etika Dasar Negara Hukum

Secara konstitusional, Indonesia ditegaskan sebagai Negara Hukum Pancasila, di mana nilai-nilai fundamental Pancasila—meliputi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—berfungsi sebagai prinsip etis yang wajib diinternalisasi dalam setiap proses pembentukan hukum maupun dalam penguatan budaya hukum nasional.

Dengan demikian, pembangunan budaya hukum diarahkan agar baik warga negara maupun penyelenggara negara senantiasa berperilaku selaras dengan norma-norma Pancasila, sehingga tercipta kesadaran hukum, kepatuhan hukum yang berkelanjutan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia (Kemenkumham, 2023). Dari perspektif tersebut, etika hukum tidak dapat diposisikan sekadar sebagai elemen tambahan yang bersifat opsional, melainkan harus dipahami sebagai komponen inheren dan integral dari substansi hukum itu sendiri.

Etika Penegak Hukum sebagai Pilar Keadilan

Internalisasi etika dalam sistem hukum idealnya dimulai dari aparatur penegak hukum—hakim, jaksa, advokat, dan kepolisian—sebagai garda terdepan dalam mewujudkan keadilan. Nilai-nilai mendasar seperti kejujuran, integritas, profesionalitas, dan tanggung jawab moral harus tertanam secara inheren dalam kepribadian setiap penegak hukum.

Dalam kerangka tersebut, keberadaan kode etik profesi—seperti Kode Etik Advokat Indonesia—memiliki arti yang sangat vital dalam menjaga integritas kelembagaan dan memastikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Pelanggaran kode etik bukan sekadar persoalan individual, melainkan sebuah dosa institusional yang berimplikasi pada menurunnya legitimasi institusi dan terhambatnya akses masyarakat terhadap keadilan. (Farnesty dkk., 2024:99).

Oleh karena itu, etika profesi hukum harus dipahami sebagai bagian integral dari budaya hukum; tidak hanya menyangkut aspek perilaku formal, melainkan juga mencerminkan akhlak batin dan kepekaan nurani aparat penegak hukum (Afrizal, 2023).

Secara khusus, bagi profesi hakim, internalisasi etika terejawantah secara konkret melalui Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sepuluh prinsip utama dalam KEPPH—mulai dari kewajiban berperilaku adil, jujur, arif, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung harga diri, disiplin, rendah hati, hingga profesional—merupakan kerangka etik yang harus dijadikan pedoman normatif dalam pelaksanaan tugas kehakiman.

Konsistensi penerapan KEPPH menegaskan kedudukan hakim sebagai officium nobile, yakni profesi mulia yang memikul tanggung jawab menjaga martabat peradilan sekaligus menegakkan keadilan substantif bagi masyarakat.

Krisis Etika dan Rapuhnya Budaya Hukum

Ketiadaan internalisasi etika berimplikasi langsung pada rapuhnya bangunan budaya hukum, yang termanifestasi dalam berbagai fenomena konkret. Misalnya, maraknya praktik law enforcement yang diskriminatif—di mana suatu aturan diterapkan secara berbeda untuk kelompok yang berbeda—atau munculnya putusan-putusan hukum yang secara prosedural benar namun dinilai publik tidak adil. Fenomena ini memperlihatkan retaknya kultur hukum sebagai fondasi.

Jimly Asshiddiqie (2024) menegaskan bahwa degradasi etika berpotensi menimbulkan moral collapse yang membuka jalan bagi otoritarianisme. Senada dengan itu, H.J. Rambe (2024) menekankan bahwa krisis moralitas merupakan ancaman serius bagi supremasi hukum.

Retaknya kultur hukum ini, dalam kerangka teori Soekanto (1986), berdampak sistemik pada tiga faktor penegak hukum lainnya. Pertama, pada faktor aparat, kultur yang rusak melahirkan oknum penegak hukum yang memanfaatkan celah substansi hukum yang ambigu untuk kepentingan tertentu. Kedua, lemahnya kultur juga membuat sarana dan prasarana (seperti teknologi dan anggaran) tidak dimanfaatkan untuk menegakkan keadilan, melainkan justru dimanipulasi untuk menyuburkan praktik ketidakadilan. Dengan demikian, krisis etika bukan hanya merusak satu elemen, tetapi melumpuhkan keseluruhan sistem penegakan hukum, menjauhkannya dari cita-cita keadilan substantif.

Harmonisasi Etika, Budaya, dan Realitas Hukum

Diskursus hukum senantiasa terkait erat dengan konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang melingkupinya, karena hukum harus hadir dan berfungsi dalam realitas masyarakat yang konkret. Dalam konfigurasi masyarakat multikultural, pendekatan kontekstual semacam ini semakin urgen agar hukum tidak sekadar dipandang sah secara formal, melainkan juga inklusif serta memiliki legitimasi sosial yang kuat.

Nilai-nilai filosofis hukum seperti keadilan, kebenaran, dan kesetaraan menjadi fondasi etis yang menopang keberlangsungan hukum, terutama pada era transformasi digital yang menghadirkan tantangan sekaligus peluang baru. Nilai-nilai tersebut berfungsi menjaga integritas proses hukum yang semakin terdigitalisasi, sehingga tetap selaras dengan prinsip moralitas publik (Nugraha dkk., 2024).

Sejalan dengan itu, Jimly Asshiddiqie (2015) menegaskan urgensi pengembangan peradilan etik yang bersifat terbuka sebagai mekanisme kontrol moral terhadap pejabat publik sebelum suatu perkara memasuki ranah hukum formal. Dengan demikian, etika tidak dapat diposisikan sekadar sebagai pelengkap hukum, melainkan harus dipahami sebagai filter normatif yang mendahului hukum positif sekaligus pilar legitimasi bagi keberlangsungan lembaga peradilan.

Etika dan Reformasi Hukum

Upaya internalisasi etika sebagai pilar penguatan budaya hukum meniscayakan penerapan strategi yang terstruktur, sistematis, dan berkesinambungan. Keteladanan moral para elit hukum maupun figur publik memiliki signifikansi fundamental, sebab internalisasi nilai etis lebih efektif dibangun melalui praksis konkret dan contoh perilaku langsung daripada sekadar sosialisasi normatif. Integritas, kejujuran, dan tanggung jawab moral yang diwujudkan oleh para pemimpin hukum berfungsi sebagai sumber inspirasi sekaligus tolok ukur perilaku bagi masyarakat pada umumnya.

Di samping itu, reformasi kelembagaan merupakan conditio sine qua non yang tidak dapat diabaikan. Rekrutmen aparatur hukum berbasis integritas, penerapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) secara konsisten, serta pembudayaan nilai-nilai etika melalui pendekatan teori perubahan perilaku, merupakan langkah strategis yang harus ditempuh untuk menjamin agar hukum tidak berhenti pada tataran prosedural, melainkan berfungsi secara substantif dalam mewujudkan keadilan yang beradab dan berkelanjutan.

Etika sebagai Roh Hukum

Hukum yang terlepas dari dimensi etika pada dasarnya hanya merupakan kerangka formal tanpa ruh, sedangkan etika yang tidak ditopang oleh hukum positif kehilangan arah serta daya ikat normatifnya. Oleh karena itu, internalisasi etika menjadi faktor kunci agar hukum tidak berhenti pada aspek prosedural, melainkan memiliki energi moral, dimaknai secara substantif, serta mampu beradaptasi menghadapi kompleksitas tantangan zaman.

Penanaman nilai-nilai etis pada seluruh tingkatan—mulai dari masyarakat, aparatur penegak hukum, hingga sistem hukum yang tengah bertransformasi ke ranah digital—merupakan syarat esensial untuk menjamin keberlanjutan budaya hukum. Indonesia hanya akan mampu membangun sistem hukum yang adil, humanis, dan berdaya tahan apabila roh etika benar-benar diinternalisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan maupun penegakan hukum.

Dengan demikian, integrasi nilai etika dalam sistem hukum nasional bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan untuk menyelamatkan martabat bangsa dan mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai Negara Hukum yang berlandaskan Pancasila yang sesungguhnya. Internalisasi etika adalah tugas kita bersama untuk “merohkan” kembali hukum Indonesia.
 

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews