Saat Hukum Diuji Oleh Suara Jalanan dan Tuntutan Demokrasi

Salah satu HAM yang paling fundamental adalah hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum,
Ilustrasi demonstrasi. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi demonstrasi. Foto ; Freepik.com

Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum, di mana salah satu tanggung jawab utamanya adalah menjamin dan melindungi hak asasi manusia (HAM) bagi seluruh warga negara. 

Salah satu HAM yang paling fundamental adalah hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Namun, kebebasan ini bukan bersifat absolut. Konstitusi juga mengatur batasan atas pelaksanaan hak ini melalui Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.” 

Pembatasan ini bukanlah suatu bentuk represi, melainkan mekanisme perlindungan HAM yang adil dan proporsional untuk menjaga ketertiban umum dan hak warga negara lainnya.

Salah satu bentuk nyata dari kebebasan berpendapat adalah demonstrasi, yang merupakan wujud partisipasi rakyat dalam kehidupan demokratis. 

Namun, pelaksanaannya tetap harus tunduk pada hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 

Aturan ini mengatur tata cara, syarat, serta batasan dalam menyampaikan pendapat secara terbuka di ruang publik.

Demonstrasi Nasional Dan Eskalasi Kekerasan

Demonstrasi nasional yang terjadi antara 25 Agustus hingga 2 September 2025, yang dipicu oleh kenaikan gaji anggota DPR RI dan merosotnya integritas para penegak hukum, menjadi salah satu ujian serius bagi bangsa Indonesia. 

Aksi yang awalnya damai, bertransformasi menjadi gelombang anarkisme yang menyebabkan kerusakan besar, korban jiwa, dan kerugian materiil. 

Beberapa kejadian anarksime terjadi pada demonstrasi ini antara lain sebagai berikut :

  1. Di Jakarta, seorang pengemudi ojek online tewas terlindas mobil rantis Brimob.
  2. Di Makassar, Gedung DPRD Sulawesi Selatan dibakar, menyebabkan tiga staf DPRD tewas.
  3. Di Mataram, Gedung DPRD Nusa Tenggara Barat dibakar demonstran 
  4. Di Surabaya, Gedung Grahadi merupakan cagar budaya dibakar oleh demonstran.
  5. Di Kediri, Museum Bagawanta tidak luput dari aksi penjarahan oleh demonstran dan museum dirusak.
  6. Terjadi penjarahan rumah beberapa anggota DPR RI dan seorang menteri.

Insiden-insiden ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga merusak esensi demokrasi dan menodai perjuangan konstitusional masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya. 

Kebebasan berekspresi tidak boleh digunakan sebagai dalih untuk melakukan pengerusakan fasilitas umum serta kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa.

Tindakan anarkisme adalah bentuk pelanggaran serius terhadap HAM orang lain, serta menciptakan stigma negatif terhadap demonstrasi sebagai sarana aspirasi publik. 

Dampaknya juga tidak kecil dalam kancah internasional. Situasi ini mengurangi kepercayaan negara lain terhadap stabilitas Indonesia, yang berdampak pada penurunan minat investasi dari luar negeri, penurunan kunjungan wisatawan luar negeri, dan merosotnya pendapatan negara dari sektor ekonomi strategi.

Peran Strategis Hakim Sebagai Benteng Terakhir Keadilan

Untuk mengatasi krisis kepercayaan dan mengembalikan kondusifitas keamanan dalam negeri, negara wajib menindak semua pelaku pelanggaran hukum secara adil dan transparan baik itu dari oknum aparat kepolisian, maupun dari masyarakat sipil. 

Tindakan tegas harus diambil terhadap oknum aparat kepolisian yang menyebabkan kematian pengemudi ojol. oknum aparat kepolisian harus diproses dalam persidangan kode etik profesi dan diproses dalam persidangan pidana untuk mempertanggungjawabkan tindakannya yang menyebabkan salah satu pengendara ojek online meninggal dunia. 

Selain oknum aparat kepolisian, masyarakat sipil yang menjadi pelaku pembakaran hingga menimbulkan korban jiwa, pengerusakan,dan penjarahan harus  ditangkap dan diproses hukum.

Namun demikian dalam proses hukum, penegak hukum tidak boleh menjadikan hukum sebagai instrumen untuk melakukan pembungkaman terhadap suara masyarakat sipil. 

Penangkapan massal tanpa identifikasi perbuatan pidana yang jelas, serta penggiringan opini yang menyudutkan demonstran sebagai bagian dari kelompok perusuh justru berpotensi mencederai prinsip keadilan dan perlindungan HAM. 

Dalam proses hukum di peradilan, Hakim memegang peran sentral dalam menjamin tegaknya keadilan bagi semua pihak. 

Oleh karena itu tidak boleh ada disparitas hukuman antara masyarakat sipil dan oknum aparat kepolisian, 

Persidangan harus dilakukan dengan transparan serta akuntabel, agar publik bisa menilai jika proses hukum berjalan secara objektif, dan Hakim wajib menjaga netralitas dan tidak tunduk pada tekanan penguasa ataupun opini publik.

Hakim merupakan interpreter (penafsir) atas norma-norma hukum, norma-norma sosial, termasuk ketika harus menafsirkan batasan kebebasan berpendapat. 

Dalam kasus pelanggaran hukum yang berkaitan dengan tindakan anarkisme saat aksi demonstrasi, 

Hakim harus mempertimbangkan secara mendalam apakah suatu pendapat benar-benar melanggar hukum atau masih dalam batas kebebasan berekspresi

Hakim harus menunjukan sikap imparsial saat menghadapi tindakan penyalahguanaan kewenangan oknum aparat kepolisian saat mengamankan aksi demostrasi dan juga tindakan anarkisme yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat sipil saat melakukan demonstrasi. 

Jika tidak dilakukan maka kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, khususnya terhadap Hakim akan menurun. 

Hakim merupakan benteng terakhir keadilan dimana menjadi harapan terakhir dalam memperoleh keadilan ditengah krisis kepercayaan publik terhadap jalannya roda pemerintahan saat ini. 

Hakim merupakan sosok yang bijaksana dan dianggap sebagai penengah antara masyarakat sipil dan oknum aparat jika terdapat perselisihan. 

Olehnya jika kepercayaan dan harapan publik terhadap Hakim di rusak tentunya akan berdampak kepada stabilitas keamanan dalam negeri yang bisa berujung kepada tindakan anarkisme.

Supremasi hukum bukan hanya tentang jaminan kebebasan berbicara, melainkan tentang tanggung jawab moral, sosial, dan kepatuhan terhadap hukum  oleh masyarakat sipil dan pemerintah. 

Hakim harus mampu menjamin perlindungan terhadap hak berekspresi dan menyatakan pendapat oleh masyarakat sipil didepan umum, tetapi tidak melupakan kewajibannya untuk menindak tegas pelaku kriminalitas, tanpa tebang pilih, dan mencegah penggunaan dalih kebebasan berekspresi untuk melindungi pelaku tindakan anarkisme. 

Negara hukum yang sehat hanya akan tumbuh jika supremasi hukum, kebebasan sipil berjalan seiring dengan penegakan hukum yang berkeadilan, tanpa adanya perbedaan.

Kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional, namun hak tersebut harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan tidak melanggar hukum. 

Negara wajib menjamin kebebasan ini, sekaligus menindak setiap pelanggaran hukum secara proporsional. Hakim sebagai benteng terakhir keadilan, harus menjaga integritas, netralitas, dan objektivitas dalam setiap putusan agar rasa keadilan masyarakat tetap terjaga dan supremasi hukum tetap ditegakkan.

Penulis: Arga Febrian
Editor: Tim MariNews