Singularitas Hukum: Memprediksi Arah dan Wajah Masa Depan Hukum

Ilmu Hukum, yang selama ini mempelajari norma-norma untuk mengatur perilaku manusia dalam masyarakat tidak bisa terlepas dari dampak berkembangnya ilmu
Ilustrasi integritas hukum. Foto: lawoffice.org.il/
Ilustrasi integritas hukum. Foto: lawoffice.org.il/

“Sebuah hipotesis di masa depan, bahwa teknologi akan menjadi pengambil keputusan (hukum) utama dan manusia sebagai faktor pengawasnya”

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan yang begitu cepat. Perubahan tersebut tidak hanya merubah cara manusia untuk hidup dan berkembang, melainkan juga cara pandang manusia terhadap dunia, khususnya dunia di masa depan.

Ilmu Hukum, yang selama ini mempelajari norma-norma untuk mengatur perilaku manusia dalam masyarakat tidak bisa terlepas dari dampak berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Munculnya beberapa fenomena seperti kecerdasan buatan/artificial intelegence (AI), algoritma dalam dunia virtual, perkembangan bioteknologi, ancaman bencana ekologis dan senjata pemusnah massal, secara tidak langsung bersinggungan langsung dengan hukum, baik dari segi regulasi maupun tataran penegakkan hukumnya.

Kompleksitas dan kemunculan beberapa fenomena yang tadi disebutkan, menjadi pertanyaan bagi masyarakat luas, apakah hukum benar-benar hadir dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang paling aktual.

Beberapa diskursus yang berkembang kemudian meluas sifatnya menjadi interdisipliner, sehingga langsung melibatkan disiplin ilmu lain seperti fisika, ahli etika, dan peneliti AI yang memunculkan suatu tema yang disebut dengan singularitas hukum.

Singularitas Hukum, Sebuah Hipotesis Masa Mepan

Singularitas hukum membahas mengenai sebuah titik waktu hipotetis di masa depan di mana hukum akan ditentukan secara lebih lengkap dengan para pembuat hukum yaitu manusia dan pelaku hukum lainnya didukung oleh kemajuan teknologi yang begitu pesat dan kecerdasan buatan (AI) sehingga mengarah pada pengurangan ketidakpastian hukum yang selama ini terjadi (Aidid, Abdi; Alarie, Benjamin: 2023).

Singularitas hukum tersebut didasarkan pada gagasan bahwa seiring dengan semakin majunya sistem AI, sistem tersebut akan mampu memproses, menganalisis dan menyajikan sejumlah besar data hukum dan kasus hukum dengan lebih cepat dan akurat dibandingkan manusia (Alarie, Benjamin: 2016), sehingga kemudian mengarah pada situasi sistem tersebut yang menjadi pengambil keputusan utama dan faktor manusia menjadi pengawasnya.

Hal ini tentu menimbulkan suatu pertanyaan dan diskursus besar di kalangan akademisi dan praktisi hukum yang selama ini menganggap bahwa ilmu hukum bukanlah suatu ilmu hitung-hitungan semata, melainkan suatu ilmu yang berdiri sendiri dengan manusia sebagai faktor utama dari penentu hukum itu sendiri. 

Selain itu juga selama ini kita telah mengenal doktrin Gustav Radbruch bahwa hukum memiliki 3 (tiga) pilar utama yaitu antara Keadilan (Gerechtigkeit); Kemanfaatan (Zweckmassigkeit); dan Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) (Satjipto Rahardjo, 2012) yang masing-masing memiliki sifat Spannungsverhältnis (hubungan ketegangan) oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan. 

Artinya bahwa jika singularitas hukum akan mengedepankan kepastian hukum saja, maka akan banyak pertanyaan ke arah mana keadilan dan kemanfaatan akan ditempatkan (Sudikno Mertokusumo, 1992).

Hukum dan Algoritma, Apakah Hukum Dapat Dihitung?

Jika kita melihat pola penggunaan algoritma yang sekarang sering terjadi, terdapat beberapa pola yang hampir mirip. 

Algoritma dapat menghitung dan mengkalkulasi segala bentuk aktivitas, kecenderungan, sampai dengan pola kehidupan kita sehari-hari. 

Bisa dibayangkan di masa depan, algoritma dapat membaca dan memprediksi suatu Putusan Hakim yang akan diputus oleh seorang Hakim tersebut dengan hanya berdasar kepada penghitungan dan membaca kecenderungan dari putusan-putusan Hakim tersebut sebelumnya dalam perkara yang sama atau paling tidak mirip.

Hal tersebut tentunya akan ‘meruntuhkan’ sifat dari litigasi formal yang selama ini dilaksanakan dalam tataran praktek, serta prinsip-prinsip dasar dari pelaksanakan praktik yudisial itu sendiri.

Selain itu, suatu pembuat kebijakan-kebijakan (hukum) dalam ranah legislatif ataupun eksekutif, dapat terprediksi terlebih dahulu ke arah mana kira-kira kebijakan yang akan diambil dengan menganalisis latar belakang (background), prinsip, preferensi, rekam jejak (track record), dan kecenderungan dalam menghadapi konflik dari si pembuat kebijakan dengan menggunakan algoritma.

Sebuah kajian yang menarik dimunculkan oleh Christopher Markou dan Simon Deakin dari University of Cambridge pada 2020 dengan judul “Is Law Computable? From Rule of Law to Legal Singularity” (Apakah hukum dapat dihitung? Dari Rule of Law ke Singularitas Hukum), menjadi sebuah pemicu dan pertanyaan sekaligus refleksi bagi kita semua, apakah hukum dapat dihitung? Apakah rule of law bisa bergeser kepada rule of technology, sudah siapkah kita terhadap suatu tatanan hukum yang seluruhnya baru?

Seluruh pertanyaan menarik tadi, tidak perlu dijawab secara terburu-buru. Perlu pengkajian yang cermat, mendalam, hati-hati dan serius untuk memahami segala pola baru yang akan menjadi arah dan wajah hukum di masa depan.

Wajah Masa Depan Hukum, Sebuah Prediksi

Wajah masa depan hukum sudah jelas akan bersinggungan langsung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, mau atau tidak mau, suka ataupun tidak suka. Yang menjadi persoalan dan perlu pembahasan adalah bagaimana respon faktor manusia, sebagai titik sentral dari hukum itu sendiri menanggapi berbagai persoalan yang menyangkut dengan teknologi.

Persoalan hukum tidak lagi hanya sekedar menjawab persoalan-persoalan normatif hitam di atas putih, tetapi juga diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan lain seperti kecerdasan buatan/artificial intelegence (AI), algoritma dalam dunia virtual, perkembangan bioteknologi, ancaman bencana ekologis dan senjata pemusnah massal yang menyangkut kelangsungan hidup dan perjalanan peradaban manusia itu sendiri.

Hukum yang adaptif dan responsif diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan di atas, jika tidak, maka krisis multidimensi akan segera menimpa peradaban dikarenakan hukum tidak lagi dapat menjawab persoalan-persoalan yang sifatnya kontemporer yang membutuhkan respon cepat.

Referensi:

Aidid, Abdi; Alarie, Benjamin (2023). The Legal Singularity: How artificial intelligence can make law radically better. Toronto: University of Toronto Press ISBN 978-1-4875-2941-3. OCLC 1348635469
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung. 2012
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1993
Markou, Christopher; Deakin, Simon F. (2020). "Is Law Computable? From Rule of Law to Legal Singularity" SSRN 3589184

Penulis: Heri Setiawan
Editor: Tim MariNews