Pembahasan mengenai kohabitasi, atau yang sering disebut kumpul kebo, kerap menjadi perdebatan di masyarakat. Selama ini praktik tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan sah sering dianggap sebagai ranah pribadi, meskipun menimbulkan pro dan kontra dari sisi norma sosial maupun agama.
KUHP baru yang mulai berlaku menegaskan bahwa perbuatan ini tidak lagi hanya dilihat sebagai persoalan moral, tetapi sudah masuk dalam ranah hukum pidana.
Dalam KUHP Nasional, kohabitasi diatur sebagai tindak pidana apabila dilakukan tanpa perkawinan yang sah. Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma: hukum hadir bukan sekadar untuk mengatur hubungan antarindividu, tetapi juga menjaga ketertiban sosial berdasarkan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia. Secara hukum, aturan ini dilandaskan pada tujuan KUHP untuk melindungi harkat martabat keluarga sebagai unit terkecil bangsa.
Namun, penerapan aturan ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana aparat penegak hukum menilai kasus-kasus kohabitasi? Apakah setiap pasangan yang tinggal bersama bisa serta-merta dipidana?
Di sinilah peran Mahkamah Agung dan hakim menjadi krusial. Hakim dituntut menafsirkan pasal dengan bijak, menyeimbangkan kepastian hukum dengan rasa keadilan. Selain itu, asas ultimum remedium dalam hukum pidana harus tetap dipertimbangkan, agar hukum pidana tidak digunakan secara berlebihan pada ranah privat.
Mahkamah Agung juga berpeluang mengeluarkan peraturan atau pedoman teknis yang memberi arah kepada hakim dalam menangani perkara-perkara kohabitasi. Tanpa pedoman yang jelas, penerapan aturan ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan perbedaan tafsir di lapangan.
Di satu sisi, ada keinginan melindungi nilai sosial dan moral; di sisi lain, hak asasi individu juga harus dihormati.
Ke depan, harapannya adalah adanya sinkronisasi antara aturan pidana dengan kebijakan sosial dan perlindungan hak warga negara. Pemerintah dan lembaga peradilan perlu membuka ruang diskusi lebih luas agar masyarakat memahami maksud dari pengaturan ini. Dengan begitu, hukum tidak sekadar hadir sebagai alat penghukum, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan pencegahan.
Kohabitasi dalam KUHP baru bukan hanya soal aturan, melainkan cermin bagaimana negara berusaha menjaga keseimbangan antara norma, hukum, dan kehidupan modern.