Pergeseran Paradigma Pemidanaan dari Tinjauan Filosofis dan Historis

Hukum pidana sering kali dianggap sebagai instrumen yang kaku, dingin, dan statis.
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto  Unsplash
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto Unsplash

Hukum pidana sering kali dianggap sebagai instrumen yang kaku, dingin, dan statis. Namun, jika kita menelisik sejarah panjang peradaban manusia, hukum pidana sejatinya adalah organisme yang hidup. 

Wujudnya tumbuh dan berubah seiring dengan evolusi moralitas dan pemahaman manusia tentang apa itu keadilan. 

Dinamika pemidanaan, bukan sekedar perubahan pasal-pasal kitab undang-undang, melainkan cerminan dari pergeseran fundamental dalam cara kita memandang hubungan antara manusia, negara, dan moralitas.

Maka, perlu bagi kita untuk memahami pergeseran paradigma pemidanaan dari aspek historisnya, mulai dari masa ketika keadilan diukur dari pembalasan (retributif), bergerak menuju era di mana manusia dianggap objek yang perlu diperbaiki (rehabilitasi), hingga tiba di masa kini, di mana keadilan dimaknai sebagai upaya memulihkan luka (restoratif). 

Pertanyaan besarnya bukan hanya apa yang berubah, melainkan mengapa perubahan itu harus terjadi?

Bagian I: Paradigma Retributif – Keadilan Sebagai Pembalasan Mutlak

Guna memahami masa kini, kita harus menengok ke masa lalu. Sejarah pemidanaan dimulai dengan paradigma Retributif atau teori absolut. Ini adalah bentuk pemidanaan tertua yang berakar pada insting dasar manusia, ketika disakiti, di mana ada hasrat untuk membalas.

Dalam sejarah kuno, hal ini terpatri dalam Code of Hammurabi (Hukum Babilonia) sekitar tahun 1750 SM. 

Prinsip yang terkenal adalah Lex Talionis atau hukum talion. Mata diganti mata, gigi diganti gigi. Meskipun terdengar kejam bagi telinga manusia modern, pada zamannya, prinsip ini sebenarnya adalah sebuah kemajuan. 

Lex Talionis hadir untuk membatasi balas dendam yang membabi buta. Ia memastikan bahwa balasan tidak boleh melebihi kerugian yang diderita. Jika mata yang dirusak, maka hanya mata yang boleh diambil, bukan nyawa.

Secara filosofis, paradigma retributif mencapai puncaknya pada abad ke-18 dan 19, melalui pemikiran filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

Bagi Kant, pemidanaan adalah sebuah tuntutan moral yang mutlak (categorical imperative). Ia berpendapat bahwa jika seseorang melakukan kejahatan, maka keadilan menuntut ia harus dihukum. 

Hukuman itu tidak boleh didasarkan pada tujuan lain, seperti memperbaiki masyarakat atau membuat pelaku jera, karena jika demikian, manusia hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan lain. 

Kant menegaskan manusia tidak boleh dijadikan objek untuk mencapai keuntungan bagi orang lain.

Jadi, dalam pandangan retributif, seseorang dihukum semata-mata karena (quia peccatum est) ia telah berbuat salah.

Sementara itu, Hegel memberikan landasan yang lebih logis. Baginya, kejahatan adalah pengingkaran terhadap hukum. Untuk menegakkan kembali keberadaan hukum, maka pengingkaran itu harus diingkari kembali dengan pidana. 

Pidana adalah negasi terhadap negasi. Dalam paradigma ini, fokus utamanya adalah pada perbuatan (daad) dan masa lalu (backward-looking). 

Keadilan tercapai ketika neraca penderitaan seimbang, pelaku menderita setimpal dengan penderitaan korban.

Bagian II: Transisi Menuju Utilitarian – Mencari Manfaat dalam Hukuman

Memasuki era pencerahan (the age of enlightenmenti), dunia mulai mempertanyakan sistem retributif. Hukuman mati, penyiksaan fisik, dan pembalasan sadis ternyata tidak membuat angka kejahatan menurun.

Masyarakat Eropa saat itu mulai bertanya apa gunanya menghukum dengan kejam jika tidak membawa manfaat apa pun bagi masa depan?

Kritik ini, melahirkan teori relatif atau utilitarianisme, yang dipelopori oleh tokoh seperti Jeremy Bentham dan Cesare Beccaria. Paradigma bergeser dari menghukum karena kesalahan menjadi menghukum agar tidak terjadi lagi (ne peccetur).

Di sinilah lahir konsep Deterrence (pencegahan) dan rehabilitasi. Penjara, yang dulunya hanya tempat penahanan sementara sebelum eksekusi, berubah fungsi menjadi lembaga permasyarakatan. 

Pelaku kejahatan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai orang jahat yang harus dibalas, tetapi sebagai orang sakit secara sosial yang perlu diobati (treatment). Tujuannya mulia yakni memperbaiki perilaku pelaku agar bisa kembali diterima di masyarakat.

Namun, seiring berjalannya waktu, sistem peradilan pidana modern yang menggabungkan unsur retributif dan rehabilitatif mulai menunjukkan disintegrasi. 

Sistem ini menjadi sangat berpusat kepada negara (state-centered). Kejahatan didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap negara, dengan jaksa mewakili negara melawan Terdakwa, lalu menjadi pertanyaan, di mana posisi korban?

Bagian III: Krisis Sistem Peradilan

Pada pertengahan abad ke-20, kriminolog Nils Christie menulis sebuah esai terkenal berjudul conflicts as property. Ia mengkritik sistem hukum modern telah mencuri konflik dari pemilik aslinya, yaitu korban dan pelaku.

Dalam sistem peradilan konvensional (retributif dan rehabilitatif), korban hanya dijadikan saksi. Setelah melapor ke polisi, peran korban selesai. Korban tidak punya suara dalam menentukan bagaimana pelaku harus bertanggung jawab. 

Kebutuhan korban untuk didengar, untuk mendapatkan ganti rugi, dan untuk memulihkan trauma sering kali diabaikan demi prosedur hukum yang kaku.

Selain pengabaian terhadap korban (revictimization), sistem ini juga gagal dalam aspek rehabilitasi. Data menunjukkan angka residivisme (pengulangan kejahatan) yang tinggi. 

Penjara sering kali mengalami kelebihan kapasitas (overcrowding). Alih-alih menjadi tempat pertobatan, penjara justru menjadi tempat di mana pelaku belajar motif kejahatan baru dari narapidana lain. 

Pelaku keluar dari penjara dengan stigma mantan napi, tanpa rasa bertanggung jawab moral kepada korban, dan sering kali kembali berubah jahat karena ditolak masyarakat.

Perkembangan dewasa hukum, menyadari bahwa kita sedang mengalami krisis, membalas dendam tidak menyelesaikan masalah, dan sekedar memenjarakan badan (tanpa menyentuh hati nurani) juga terbukti gagal. Diperlukan sebuah paradigma baru yang lebih holistik.

Bagian IV: Paradigma Restoratif

Dari kegagalan-kegagalan tersebut munculnya keadilan restoratif (restorative justice) sebagai anti tesis dan solusi. 

Tokoh sentral dalam gerakan ini, Howard Zehr, dalam buktinya Changing Lenses, mengajak kita untuk mengganti “lensa” atau kecamatan yang kita gunakan dalam melihat kejahatan.

Jika paradigma lama bertanya:

  • Hukum apa yang dilanggar?
  • Siapa pelakunya?
  • Hukuman apa yang pantas?

Maka paradigma restorative mengajukan pertanyaa yang sama sekali berbeda:

  • Siapa yang telah disakiti atau dirugikan?
  • Apa kebutuhan mereka?
  • Siapa yang berkewajiban memperbaiki keadaan ini?

Makna filosofis restorative, dalam pandangan ini, kejahatan bukan sekedar pelanggaran terhadap aturan negara, melainkan pelanggaran terhadap hubungan antar manusia (violation of people and relationshipsi). 

Kejahatan menciptakan luka di tengah komunitas. Oleh karena itu, keadilan bukanlah tentang seberapa banyak rasa sakit yang bisa ditimpakan kepada pelaku, melainkan seberapa banyak kerusakan yang bisa dipulihkan.

Pergeseran ke arah restoratif ini bukan berarti kita menjadi lunak terhadap kejahatan. Justru, paradigma ini menuntut pertanggungjawaban yang lebih sulit daripada sekadar di penjara.

Kesimpulan: Menuju Keadilan yang Memanusiakan

Perjalanan dari retributif menuju restoratif adalah perjalanan pendewasaan peradaban manusia. Kita telah bergerak dari hasrat primitif untuk membalas dendam, melewati eksperimen sosial untuk merekayasa perilaku manusia di penjara, dan akhirnya tiba pada kesadaran bahwa esensi hukum adalah menjaga harmoni kemanusiaan.

Penerapan Keadilan Restoratif memang memiliki tantangan tersendiri dan tidak bisa diterapkan secara serampangan untuk semua jenis kejahatan (terutama kejahatan yang sangat berat atau tidak ada korban langsung). 

Namun, pergeseran paradigma ini menawarkan harapan baru. Wujudnya mengajarkan bahwa negara tidak boleh memonopoli keadilan. 

Keadilan harus dikembalikan kepada mereka yang paling berhak merasakannya: korban yang terluka, pelaku yang mencari penebusan, dan masyarakat yang merindukan kedamaian.

Hukum masa depan adalah hukum yang tidak hanya tajam ke bawah atau tajam ke atas, tetapi hukum yang merangkul ke dalam, memulihkan luka batin dan merajut kembali ikatan sosial yang terputus.

Referensi 

[1] Braithwaite, John. (1989). Crime, Shame and Reintegration. Cambridge University Press.
[2] Dzulqarnain, Iskandar. (2021). Keadilan Restoratif dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Rechtsvinding.
[3] Muladi & Barda Nawawi Arief. (1992). Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Penulis: Rafi Muhammad Ave
Editor: Tim MariNews