Hukum pidana bertujuan mencari kebenaran materiil (materialle waarheid). Proses ini sering dianggap abstrak, namun sejatinya merupakan algoritma logis yang ketat.
Artikel ini membedah sistem pembuktian Negatief Wettelijk dan Teori Kausalitas Adequate sebagai sebuah persamaan matematika.
Melalui studi kasus kecelakaan berantai, tulisan ini mendemonstrasikan bagaimana variabel alat bukti, keyakinan hakim, dan alasan pemaaf dihitung secara sistematis untuk menentukan apakah output putusan berupa Pemidanaan, Bebas (Vrijspraak), atau Lepas (Onslag).
I. Persamaan Dasar Vonis: Teori Pembuktian dan Variabel Hakim (Negatif Wettelijk)
A. Narasi Doktrinal (Original)
Dalam hukum acara pidana, pembuktian adalah titik sentral pemeriksaan perkara. Terdapat berbagai teori pembuktian, mulai dari Positive Wettelijk (hanya berdasar UU) hingga Conviction Intime (hanya keyakinan hakim).
Indonesia menganut sistem Negatief Wettelijk Bewijstheorie, yakni pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Sistem ini menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Artinya, kesalahan terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang tidak berdiri sendiri, melainkan harus didasarkan pada cara dan alat bukti yang sah menurut undang-undang (Hiariej, 2012: 19).
Hakim diwajibkan menggali kebenaran materiil guna mencapai keyakinan yang logis atau Conviction Raisonnée (Sasangka & Rosita, 2003: 15).
B. Rekonstruksi Logika Aritmatika
Jika Pasal 183 KUHAP diterjemahkan ke dalam logika proposisional, maka terbentuklah Persamaan Vonis ( V = (B ≥ 2) x (Kh) ) sebagai berikut:
Keterangan Variabel:
- V : Output Vonis Pemidanaan.
- B: Jumlah Alat Bukti ≥ 2 Himpunan Alat Bukti Sah (Pasal 184 KUHAP).
- Kh: Keyakinan Hakim (Konstanta Validasi).
- x : Operator Logika Konjugasi "DAN" dalam bentuk perkalian (Syarat kumulatif mutlak).
Logika ini bersifat biner artinya 0 atau 1. Jika hakim memiliki keyakinan penuh (Kh) tetapi alat bukti hanya satu (B) sehingga Jumlah Alat Bukti tidak 2, maka persamaan bernilai False (0).
Sebaliknya, jika alat bukti lengkap (E Jumlah Alat Bukti ≥ 2) namun hakim tidak yakin (Cj), hasil akhirnya tetap Nihil (0). Ini adalah pengaman sistematis untuk mencegah subjektivitas liar.
II. Algoritma Kausalitas: Memfilter Perbuatan dan Akibat
A. Narasi Doktrinal (Original)
Setelah alat bukti terkumpul, hakim harus menguji hubungan sebab-akibat. Teori yang digunakan di Indonesia adalah Teori Adekuat (Adequate Theorie) dari Von Kries.
Teori ini mengajarkan bahwa musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, atau berdasarkan pengalaman manusia pada umumnya, dianggap sepadan untuk menimbulkan akibat tersebut (Moeljatno, 2008: 81).
Hakim harus melakukan generalizing retrospective untuk menilai kepatutan hubungan tersebut (Lamintang, 2011: 67).
B. Rekonstruksi Logika Aritmatika
Teori Adekuat bukan sekadar hubungan linear , melainkan sebuah fungsi probabilitas kepatutan (Hubungan Kausal = (Perbuatan x Kepatutan) → Akibat).
Rumus Kausalitas Hukum:
Rumusan ini juga bersifat biner. Jika sebuah tindakan (Perbuatan) diikuti oleh variabel acak tak terduga (random variable) yang probabilitasnya sangat kecil dalam kondisi normal (misalnya bencana alam atau kegagalan mekanis mendadak) dalam segi (Kepatutan) bersifat tidak patut (0), maka nilai menjadi terputus atau tidak valid sebagai dasar pemidanaan penuh yang memiliki hubungan kausal dengan akibatnya.
III. Simulasi Kasus Logis: Variabel A, B, dan C
Kasus Posisi:
- A menabrak B (B terluka).
- C menolong B dengan mobilnya membawa ke rumah sakit.
- Di perjalanan, Mobil C terkena longsor (faktor cuaca alam/force majeure), sehingga terjadi kecelakaan kedua yang memperparah luka B.
Analisis Unsur dan Kesalahan
Dalam kasus ini, harus dibedakan antara pemenuhan unsur delik (wederrechtelijkheid) dan pertanggungjawaban pidana (schuld).
- Terhadap A: Unsur dan kesalahan terpenuhi.
- Terhadap C: Secara fisik C menyebabkan luka parah pada B. Namun, longsor yang tidak diketahui sebelumnya merupakan bentuk Daya Paksa (Overmacht) sesuai Pasal 48 KUHP atau Pasal 42 KUHP Baru. Maka Terhadap C unsur perbuatan pidana dapat terpenuhi sesuai namun terdapat alasan pemaaf dan pembenar.
Hukum membedakan antara perbuatan pidana dan orang yang dapat dipidana. Seseorang mungkin terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, namun tidak dapat dipidana karena terdapat alasan pemaaf (schulduit sluitingsgrond) (Saleh, 1983: 20).
B. Rekonstruksi Logika Aritmatika (Perhitungan Liabilitas)
Mari kita hitung nilai Pertanggungjawaban Total Nilai Kesalahan (Liabilitas) untuk Terdakwa C. Rumus Pertanggungjawaban biner: Liabilitas = Unsur Terbukti x (Niat/Kelalaian - Pemaaf)
Substitusi Nilai untuk C:
1. (Fakta)
- Fakta: A mengemudi, mobil A menabrak, B luka parah. Unsur objektif pasal (misal: menyebabkan orang luka) terpenuhi.
2. (Niat Jahat)
- Fakta: Niat C adalah menolong B, sehingga terjadi kecelakaan kedua yang memperparah luka B.
3. (Kelalaian)
- Fakta: longsor yang tidak diketahui (unforeseeable), diasumsikan perawatan rutin wajar.
4. (Alasan Pemaaf/Daya Paksa)
- Dasar: Pasal 48 KUHP / Pasal 42 KUHP Baru).
- Kalkulasi Akhir:
Secara matematis, Terhadap C meskipun unsur perbuatan bernilai positif (Unsur Terbukti), keberadaan faktor pengurang (alasan pemaaf) membuat nilai akhir pertanggungjawaban menjadi negatif atau nol.
Maka, C tidak memiliki "nilai kesalahan" yang cukup untuk dihukum. Artinya unsur terbukti, namun tidak dipidana. Dengan kata lain putusan lepas karena adanya alasan pemaaf.
IV. Output Vonis: Logika Percabangan Bebas vs Lepas
A. Narasi Doktrinal (Original)
Berdasarkan hasil pembuktian, hakim dihadapkan pada satu jenis pemidanaan dua jenis putusan non-pemidanaan:
- Pemidanaan (V = 1): Unsur Terbukti dan Terdapat Liabilitas .
- Bebas (Vrijspraak): Jika kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat 1 KUHAP).
- Lepas (Onslag van alle rechtsvervolging): Jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, karena adanya alasan pembenar atau pemaaf (Pasal 191 ayat 2 KUHAP) (Hamzah, 2008: 279).
Hakim harus jeli membedakan kedua ini agar "mahkota hakim" dalam pertimbangan putusannya tetap terjaga kemurniannya (Harahap, 2012: 290).
Kesimpulan dan Peran Hakim dalam Sistem Civil Law
Artikel ini menunjukkan bahwa proses pembuktian dan penentuan pertanggungjawaban dalam hukum pidana Indonesia, sebagai bagian dari tradisi Civil Law, bukanlah proses intuitif belaka, melainkan serangkaian algoritma logika yang ketat.
Dalam sistem Civil Law, di mana hakim adalah ahli hukum tunggal dan bukan perwakilan masyarakat (seperti juri dalam Common Law), kewajiban hakim adalah merumuskan pasal per pasal secara sistematis dan logis berdasarkan aturan tertulis.
Bersalah atau tidaknya seseorang mutlak ditentukan oleh terpenuhinya unsur delik yang tertulis dan dipertimbangkan melalui kerangka pikir yang valid.
Oleh karena itu, Hakim harus mampu menganalisis perkara secara sistematis dan logis, menyerupai fungsi Artificial Intelligence dengan rumusan pola pikir yang benar.
Tujuannya adalah untuk memastikan penilaian dan narasi putusan tidak didasarkan pada subjektivitas liar, kepentingan, apalagi pesanan.
Namun, yang membedakan Hakim Manusia dari algoritma AI adalah dimensi humanisnya. Hakim tidak hanya menjalankan rumus, tetapi harus:
- Memahami tujuan filosofis pembuatan aturan (the why).
- Mempertimbangkan alasan yang menyertai tindak pidana, termasuk keberadaan Alasan Pemaaf dan Pembenar.
- Menetapkan tujuan diberlakukannya hukum, serta siapa saja dan apa yang dilindungi oleh hukum (rechtsbescherming).
Karena Hukum lebih dari sekedar seni dan selera. Dengan mengkombinasikan ketelitian logis aritmatika dan kedalaman pemahaman humanis, hakim Civil Law dapat menghasilkan putusan yang tidak hanya legalistik, tetapi juga adil dan sesuai dengan tujuan hukum pidana untuk mencari kebenaran materiil.
Daftar Sumber Referensi
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hamzah, Andi. (2008). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. (2012). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
Hiariej, Eddy O.S. (2012). Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Lamintang, P.A.F. (2011). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Saleh, Roeslan. (1983). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru.
Sasangka, Hari & Rosita, Lily. (2003). Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Soesilo, R. (1996). KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.




